16. Maaf

208 25 0
                                    

Pagi ini saya terbangun di sebuah kesunyian, tak ada lagi kericuhan yang diakibatkan kecerobohan adik kesayangan saya. Dia pergi meninggalkan saya, memberi saya dunia baru yang hanya diisi kehampaan. Rasa hampa ini terasa lebih dalam dari pertengkaran kami kemarin. Jika pertengkaran pasti ada kata baikan, apakah kini kepergian akan bisa berbuah kembali atau sekedar kunjungan?

Hari ini rasanya sangat malas, namun saya harus bersiap untuk sebuah laga yang besar bersama Tim saya. Saya tak boleh larut dalam masalah pribadi jika sudah menyangkut pertandingan saya harus bisa menyembunyikan semuanya dari dunia dan selalu berkata "Saya baik-baik saja."

Kini saya mencoba mengambil tas ransel yang biasa saya bawa untuk sebuah pertandingan. Tas itu tergeletak saja di lantai. Saat saya ingin mengambilnya, saya kembali melihat kotak kayu yang kemarin, pantas saja Bia bisa menemukan foto itu. Saya kembali mengambilnya, dan merutuki kotak itu.

Isi kotak itu memang cukup penuh, saya kembali melihatnya lagi. Dan saya menemui satu hal yang aneh, sertifikat rumah. Di sertifikat itu tertulis rumah ini atas nama Papah, padahal yang ku tau ini adalah rumah peninggalan kakek atau Bapaknya Ibu. Saya makin bingung dengan semua ini, saya kembali memasukan sertifikat itu ke dalam kotak dan kembali menyimpannya di dalam lemari, tak lagi di kolong ranjang. Mungkin nanti akan saya dapatkan jawaban semuanya jika waktu sudah tiba.

Setelah selesai, saya berjalan keluar dari kamar melihat isi rumah yang sangat sepi tanpa adanya sedikit suara. Saya merasa dunia ini kini hanya tinggal saya, saya ditinggalkan semuanya di dasar kehampaan ini. Membuat Bia meninggalkan saya adalah kesalahan fatal yang saya buat, saya tak pernah memperkirakan hidup tanpanya akan sekosong ini. Padahal ini belum dua puluh empat jam tapi rasa penyesalan saya sudah sangat mendalam.

Saya berjalan ke sofa, melihat amplop biru yang tadinya adalah kado untuk Bia tergeletak di sana. Saya melihat amplop itu sudah di buka, meski kemarin saya sangat marah dengannya namun hari ini saya tetap mau ia menikmati hadiahnya. Dan satu-satunya cara adalah mengantarkan ini ke rumah Papah setidaknya sambil meminta maaf atas kejadian semalam kepada Bia, hanya kepada jantung hati saya.
-
Sebelum ke rumah Papah, saya menyempatkan diri ke makam Ibu. Rasanya masalah dunia ini sudah begitu penat saya pikul sendiri. Saya butuh waktu untuk menceritakannya pada Ibu meski kini hanya bisa melalui makamnya.

Salah satu pemakaman daerah Bandung ini memang sering saya kunjungi, entah itu sebelum saya melakukan pertandingan atau setelahnya. Hanya untuk sekedar mengirim doa dan menaburkan bunga setidaknya saya hanya ingin menyapa Ibu.

Sinar mentari mengiringi saya ke makam Ibu, rasa sepi di diri saya tergambar juga di makam ini. Rasanya sekarang semua orang seakan menjauhi saya entah kenapa dunia sedang tak bersahabat dengan saya saat ini.

Kini saya terduduk di samping makam Ibu. Saya tersenyum sambil membelai nisan batu bertulis nama Ibu, "Bu Aa salah. Aa selalu salah. Aa selalu sakitin Bia. Mungkin Ibu bener ngirim Papah buat Bia, tapi Aa enggak bisa hidup tanpa dia."

"Sekarang Aa bingung harus gimana minta maaf sama Bia. Aa takut tiba-tiba Bia dibawa pergi Papah. Ya Aa tau Papah itu Papahnya, enggak ada salahnya Bia ikut Papah, tapi Aa yang takut, Aa takut enggak bisa biasa- biasa aja tanpa Bia."

Tak ada siapapun yang menanggapi, hanya gemercik kicau burung yang terdengar.

Saya mencoba menarik nafas yang sudah membuat dada saya sesak,"Bu Aa lebih baik babak belur di tonjok Papah atau enggak ketemu Papah lagi kalau dia kembali cuman buat ngambil Bia dari hidup Aa. Bu bantu Aa biar Bia maafin Aa, kasih Aa cara biar anak bungsu Ibu itu luluh sama ucapan maaf Aa."

Saya segera menghapus air mata yang ingin menetes bebas dari mata. Sekelibat angin menghembus kearah rambut jambul saya seakan Ibu membelai rambut saya seperti saat ia masih ada.

Menjaga Jantung HatiWhere stories live. Discover now