15. Kesalahan fatal

208 25 0
                                    

Menghabiskan banyak waktu berdua dengan adik saya ditengah-tengah kesibukan itu adalah pilihan yang benar, sedikit bisa mengurangi stress dan sedikit mengembalikan kedekatan kami yang sempat merenggang.

Bia bukan tipe wanita muluk-muluk, terbukti saat saya ajak ia makan di warung angkringan malam dengan gaya lesehan ia masih bisa menikmati setiap moment dengan bahagianya. Senyumnya yang selalu asik dipandang membuat saya tak mau lengkungan indah di wajahnya itu menghilang lagi.

Kini hari sudah larut malam, besok saya akan bertanding dan mungkin besok kali pertamanya adik saya menyaksikan secara langsung. Kado yang ia minta berupa tiket stadion memang belum saya berikan, tapi itu akan segera saya berikan ketika sampai rumah nanti.

Angin malam menerjang laju motor, Bia yang duduk di belakang saya sedikit memeluk saya, memberi kehangatan di tengah dingin dan sunyinya malam kota Bandung.

Perjalanan selesai, saat sampai rumah saya mendapati sebuah mobil terpakir di depan gerbang rumah. Seorang pria paruh baya yang duduk di teras tersenyum menyambut kehadiran kami. Saya tak habis pikir dengan ia, saya sudah katakan beberapa kali untuk tak mencoba hadir di kehidupan kami tapi kenapa kini ia dengan beraninya datang ke rumah.

"Om..."sapa Bia sambil menghampirinya dan menyalaminya.

Mereka nampak begitu dekat, padahal saya tak mau melihat mereka dekat. Meski panggilan Bia masih "Om" kepadanya namun saya tak mau ia dekat dengannya. Saya takut rasa sakit yang ia beri ke Ibu akan diulang lagi dan membuat adik saya merasakan itu juga.

"Udah pada dari mana ini?" tanya Papah dengan senyum, seolah kami ini benar-benar keluarga harmonis.

Saya hanya terdiam di belakang Bia, mencoba bersikap biasa agar Bia tak curiga.

"Jalan-jalan Om, Om nunggu lama ya? Ada perlu apa sama Bia?"tanya Bia membuat saya yang berdiri di belakangnya mengerutkan kening menyadari kedekatan mereka berdua.

"Ada urusan sama Kakakmu,"jawab Pria itu membuat saya terkejut, dan berpikir kenapa harus menemui saya di sini.

Saya mencoba tetap membiasakan diri meski gemuruh di dada saya sudah sesak saat adik saya menatap saya seolah mencari jawaban lewat mata saya."Masuk, ambil kado kamu di kamar Aa. Udah gitu tidur."titah saya agar ia tak perlu tau apa yang sebenarnya pria itu inginkan.

Bia sempat menolak perintah saya namun akhirnya ia mau menuruti saya dan meninggalkan saya dan Papah berdua.

"Kenapa harus di sini?"tanya saya.

"Mau sampai kapan? Sekarang Bia udah tujuh belas tahun. Udah saatnya dia tau."

"Mau tujuh belas atau berapapun umur Bia, saya tak pernah mau dia tau luka yang anda beri kepada keluarga saya."

"Luka apa sih A? Ibu aja sebelum meninggal udah baik-baik aja kok sama Papah. Papah pernah beberapa kali ketemu Ibu demi nanyain perkembangan kalian."

"Hanya menemuikan, tidak menemani. Lagian anda enggak tau seberapa berjuangnya Ibu membesarkan kami tanpa anda, kerja siang malam di perusahaan Om Wisnu demi membesarkan kami. Anda yang lebih memilih karier anda di Inggris dari pada kami yang anda buang kembali ke sini, dan Wanita yang membuat anda berpaling apa itu semua bukan kesalahan?"

Pria itu mencoba memegang bahu saya namun saya menghindarinya. "Oke, masalah itu Papah sadari Papah lalai. Papah minta maaf, Dan yang kamu bilang kesalahan itu sebenarnya tak begitu. Tapi yasudah Papah minta maaf."

Saya tersenyum kecut ke arahnya. "Percuma, semuakan sudah terjadi. Kami sudah menderita karena anda tinggalkan."

"Enggak ada yang percuma A, semua bisa kita perbaiki kalau kamunya sedikit menurunkan ego."

Menjaga Jantung HatiWhere stories live. Discover now