2. Sepatu

392 38 0
                                    

Hari-hari saya sepeninggalan Ibu di lalui dengan sepak bola, setidaknya itu bisa membuat rasa sedih saya sedikit terlupakan. Saya setiap hari pergi berlatih dengan tim, kadang juga ikut bertanding keluar kota, itu mengharuskan saya meninggalkan adik saya sendiri di rumah. Kadang saya merasa bersalah, namun beginilah pekerjaan saya, untungnya Bia mengerti dengan pekerjaaan kakaknya ini.

Setelah selesai berlatih sore bersama tim, saya langsung bergegas keluar Mess untuk pulang ke rumah.

"Ke mana Feb?"tanya salah satu official Tim yang kebetulan tinggal di Mess.

"Pulang Kang,"

"Tos malem, naha teu didieu weh atu. Besok oge latihan pagikan?"tanyanya.
(Udah malam, kenapa enggak di sini aja. Besok juga latihan pagikan?")

Memang setiap pemain bola lokal yang membela Tim ini di beri fasilitas satu kamar mess untuk dua orang, dan sayapun punya. Namun saya hanya menggunakan itu untuk beristirahat sejenak setelah latihan atau sebelum pertandingan.

Saya tersenyum, "Adik saya di rumah sendiri Kang, kasian."jawab saya.

Memang bagaimanapun semalam atau secape apapun saya tetap berusaha untuk pulang karena saya tak mau Bia merasa kesepian sendiri di rumah. Sayapun segera mengendara motor kesayangan saya, karena motor ini adalah hasil kerja keras saya selama menjadi pemain bola.

Walau jarak rumah dari Mess cukup jauh, saya tak boleh mempermasalahkan itu, karena tanggung jawab saya sekarang adalah sebagai Kakak dan sebagai pemain bola. Jadi jika latihan atau pertandingan telah usai, berarti tugas saya sebagai Kakak untuk Bia harus kembali dimulai.

Sebenarnya Bia bukan anak yang banyak menuntut ia lebih menerima semuanya tanpa bantahan, walau tak jarang sikap keras kepalanya juga ada.

Saya rasa setelah kepergian Ibu dia banyak berubah, dia jadi lebih pendiam sehingga saya yang harus membuat suasana rumah lebih berwarna, dan merubah sikap saya jadi sedikit lebih hangat kepadanya, sifatnya yang dulu menyebalkan kini sudah sedikit menghilang jadi kami juga kini tak sering bertengkar. Mungkin jika Ibu tahu kini anak-anaknya sudah lebih akur ia akan bahagia.

Dulu setiap Ibu pulang bekerja pasti saja mendapati Bia yang menangis karena saya. Saya selalu tersenyum ketika mengingat masa kecil saya, walau tak ada sosok Papah setidaknya kami bahagia karena bisa bersama Ibu.

Setelah sampai di rumah sederhana milik kami, saya segera memarkirkan motor. Saya berjalan memasuki rumah dan yang pertama saya lakukan adalah mengecek kamar adik perempuan saya, Bia.

Pintu kamarnya terbuka, terlihat ia sedang duduk di hadapan meja belajarnya sambil membaca sebuah buku. Saya mendekat ke arahnya. Kakak mana yang tak bangga memiliki adik yang berprestasi di bidang akademik, setiap keringat saya bekerja jadi tak percuma jika hasilnya adalah prestasi yang membanggakan dari Bia.

"A Bow baru pulang?"tanyanya sambil menyalami saya.

Saya tersenyum dan mengelus kepalanya, "Kok adik Aa belum tidur sih, udah malem ini."

"Sebentar lagi tanggung."

"Yaudah kalau udah itu tidur, kalau kemalaman nanti telat lagi besok."

Ia tersenyum, "Iya monsterku...Eh, A Bow udah makan? Mau Bia buatin makan?"tanyanya dia selalu merhatikan saya meskipun perhatian saya kepadanya masih minim.

"Udah kok,"

"A Bow besok latihan pagikan? Berarti sore ada di rumah, Bia boleh minta anter enggak?"

Saya tersenyum, "Mau kemana?"

"Toko sepatu, Bia mau cari sepatu sekolah. Sepatu sekolah Bia udah sempit hehe."katanya sambil sedikit tertawa.

Menjaga Jantung Hatiजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें