9. Surat apa?

242 29 0
                                    

Pagi ini adalah pagi yang paling saya tunggu sejak dua minggu terakhir, akhirnya saya akan kembali ke Bandung setelah tugas negara selesai terlaksana dengan baik. Dua pertandingan, satu kemenangan dan satu hasil seri, itu tidak terlalu buruk untuk laga uji coba.

Berpisah dengan para punggawa Tim nasional juga sulit, kita sudah bersama sama lebih dari dua minggu rasanya berat jika kembali berpisah ke Tim masing-masing di mana nanti jikapun kami bertemu itu akan menjadi sebuah lawan.

Saya percaya, keluarga bisa tercipta karena banyaknya waktu bersama. Dan itulah yang kami rasakan.

Siang ini perjalanan dari Jakarta menuju Bandung sudah padat, namun rasa senang saya tak lagi bisa terganggu hanya karena masalah macet. Saya ingin segera sampai ke rumah, melihat kondisi rumah yang bisa saja tak baik-baik sejak saya tinggalkan, dan tentunya melihat adik kecil saya Bia. Meski pertengkaran selalu terjadi antara kami, sebuah perpisahan tak pernah bisa kami lalui sendiri.

Saya mengingat setiap lengkungan indah senyumnya, celotehan-celotehannya yang selalu menghawatirkan diri saya tanpa pernah berpikir dirinya terlebih dahulu. Sejak Ibu tiada kita memang lebih dekat satu sama lain, mungkin karena sudah tak ada pelantara yang bisa kami tanyakan tentang keadaan satu sama lain membuat kami selalu memberanikan diri bertanya satu sama lain. Awalnya sulit untuk saya, apa lagi untuk Bia yang terkesan pendiam. Namun lambat laun dia mulai suka bercerita apapun kepada saya walau bagi saya itu tak penting namun bisa saja baginya penting.

Pikiran saya jadi bercabang tetang kembalinya sosok Papah ke tanah air, saya sempat tenang karena Papah katanya memilih kembali ke Inggris setelah Ibu meninggal, namun dengan kedatangannya ini saya takut semua ini hanya akal-akalan Papah untuk membawa Bia tinggal bersamanya di Inggris.

Saya tak pernah bisa jauh dari adik saya, ia yang hidup belasan tahun menemani setiap hari saya, jika Papah membawanya pergi lantas apa saya akan baik-baik saja di sini? Sekalipun saya bisa menyusul, saya tak akan bisa, saya masih punya kontrak panjang di Tim yang saya bela sekarang.

Saya segera menepis pikiran buruk itu, bagaimanapun saya tak akan pernah membiarkan Bia pergi sekalipun itu dengan Papah.

Akhirnya saya sampai di rumah minimalis yang sudah menemani tumbuh dan berkembangnya saya. Setiap sudut rumah punya kenangan, entah itu bersama Ibu atau adik saya. Rumah bercat biru langit itu terlihat tak lagi ramai, ia nampak redup bersamaan dengan cat yang mulai memudar, namun tempat ini selalu jadi pilihan kami pulang.

Saya melangkah masuk, mencari kunci yang biasa Bia simpan di bawah pot kaktus kecil yang berada di meja teras. Itu selalu ia simpan di sana, kami punya tiga kunci yang satu selalu terletak di sana, yang satu selalu Bia bawa, dan yang satu menyatu di kunci motor yang tak mungkin saya bawa ke manapun jika tak menggunakan motor. Saya tak pernah membawa kunci karena saya selalu lupa menyimpannya, sekalipun kunci motor.

Sebelum saya benar-benar masuk ke dalam. Langkah saya terhenti dengan suara klakson motor di depan gerbang. Saya menyimpan koper saya di ambang pintu dan segera menghampiri pengemudi motor yang ada di depan gerbang rumah.

"Kang, surat untuk Abia Hariyani."sahut pria yang ternyata adalah pak pos.

Saya mengambil surat yang Pak pos itu berikan, "Oh iya, terima kasih."

"Akang sama siapanya?"tanya Pak pos.

"Suaminya!"jawab saya asal, saya sudah cukup lelah dengan semua pertanyaan yang sebenarnya tak perlu di tanyakan.

Sayapun kembali melangkah ke rumah sambil memandangi surat dengan amplop panjang itu. Saya tak mau terlalu memikirkan apa isi surat di dalamnya, paling hanya sekedar undangan lomba cerdas cermat yang biasa adik saya itu ikuti. Saya letakan surat itu di meja ruang tamu, dan sayapun melangkah ke dalam kamar untuk beristirahat setelah melalui perjalanan panjang menuju pulang.

Menjaga Jantung HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang