12. Terlambat

234 24 0
                                    

Hari ini adalah jadwal Bia pulang dari rumah sakit, saya bersyukur dia sudah kembali sehat dan Papah juga sudah tak berani datang ke rumah sakit selama ada saya.

Saya tadi sempat berjalan ke resepsionis sebelum Bia keluar rumah sakit namun menurut rumah sakit semua tagihan atas nama Bia sudah terbayar lunas, dan tersangka utama pasti Papah. Tapi tenang saya pasti akan ganti, saya tak mau karena dia yang membayar biaya rumah sakit Bia dia jadi bisa dengan mudah mengambil Bia dari saya.

Kini saya dan Bia sudah berada di motor, jalan menuju pulang ke rumah. Bia melingkarkan tangannya di pinggang saya.

"Bia minta maaf ya udah selalu nyusahin A Bow." katanya terdengar pelan karena kami tengah berada di jalan raya yang cukup bising.

Saya melihatnya lewat kaca spion, "Aa enggak keberatan kok kamu nyusahin Aa. Asal kamu tau sampai kapanpun Aa enggak akan pernah bisa izinin kamu jadi pesepak bola."

Dia mengangguk membuat helm yang kita pakai masing-masing bertubrukan dan membuat kami berdua tertawa. "Iya, Bia enggakan lanjutin cita-cita Bia sebagai pesepak bola. Bia mau fokus sekolah dan Olimpiade."

Saya terdiam sejenak, sakit memang mendengar adik sendiri harus menguburkan cita-citanya namun ini juga demi kebaikannya yang saya lakukan hanya ingin menjaganya.

Setelah semua yang terjadi saya sedikit menurukan ego saya, lebih memberi perhatian pada adik saya, dan dia juga sedikit mengurangi keras kepalanya dengan lebih memilih mengikuti olimpiade di sekolah daripada mengikuti latihan lanjutan sebagai punggawa garuda pertiwi. Itu membuat saya tenang, setidaknya ia menuruti apa mau saya.
-

Beberapa hari setelahnya, dia meminta saya hadir di lomba cerdas cermatnya. Namun saya tak bisa menghadirinya dari awal, saya harus latihan bersama Tim terlebih dahulu. Dan sialnya hari ini ada acara dengan sponsor, itu membuat saya makin terlambat datang.

Acara sponsor yang di hadiri beberapa pemain tim saya dan beberapa supporter ini berjalan dengan lumayan seru namun saya terus menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri saya. Jam sudah menunjukan jam sebelas sedangkan lomba Bia di mulai dari jam sepuluh entah sampai jam berapa. Saya sudah memastikan diri telat, dan lagi-lagi nampaknya saya akan membuat ia kecewa.

"Kenapa?"tanya salah satu pemain senior yang duduk du sebelah saya.

"Mau ke lomba adik saya kang, tapi kayanya acara ini masih lama ya?"

"Baru juga mulai, paling sejam lagi. Kenapa enggak izin dari awal aja?"

"Enggak enak Kang,"

Pria yang berposisi sebagai gelandang dalam lapangan itu sedikit berbisik, "Kadang dengan rasa enggak enakan itu kita bisa berada di posisi yang enggak enak."

Saya menghela nafas, pasrah dengan keadaan. Saya mencoba bersikap biasa di tengah acara sponsor ini, walau sebenarnya pikiran saya selalu tertuju pada lomba adik saya. Prioritas saya memang adik saya, namun terkadang prioritas harus sedikit mengalah dengan kewajiban lain. Saya tau nantinya dia pasti akan marah pada saya, setidaknya jika dia marah saya tau bagaimana meluluhkannya walau saya tak yakin ia akan cepat memaafkannya.

Acara yang di adakan di graha Tim kebanggaan warga jawa barat ini selesai dan dilanjutkan dengan sesi makan siang namun saya harus segera pergi ke lomba cerdas cermatnya Bia, berharap saya tak terlalu telat. Saya pamit kepada para petinggi klub yang hadir dan ke beberapa pemain yang mengikuti acara ini. Saya berlari menuju motor saya, mengendarainya kearah tempat lomba Bia berlangsung.

Kantor Dinas pendidikan jawa barat, tempat yang saya tuju sekarang. Dari luar terlihat sangat ramai, banyak siswa seusia Bia di sini. Saya segera memarkirkan motor saya di parkiran. Tapi saat saya memarkirkan motor saya melihat pemandangan yang tak mengenakan.

Menjaga Jantung HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang