8. Uji Coba

252 26 1
                                    

Angin bertiup namun ia tak bisa membuat jambul saya bergerak akibat gel rambut yang saya gunakan setiap saat. Malam ini adalah laga uji coba terakhir sebelum training camp bulan ini selesai. Rasanya tak sabar membela garuda di tanah air sendiri, ini laga pertama saya bermain untuk Tim nasional u-23 di Indonesia, walau ini hanya sekedar uji coba bukan laga resmi.

Kami sudah sampai di salah satu stadion megah yang Indonesia punya, yaitu Gelora Bung Karno. Ini bukan pertama kalinya saya bermain di tempat ini, mungkin ini kedua kalinya. Walau yang pertama adalah membela Tim kebanggan dan penuh dalam tekanan supporter lawan. Kini saya membela bangsa dengan banyaknya gemuruh orang yang mendukung. Kesempatan ini yang sudah sejak kecil saya impikan. Saat kecil mungkin saya memandang ini hanya sebuah mimpi namun kini saya telah meraihnya, tak sangka saya mendapat itu semua.

Sebelum memasuki ruang ganti, langkah Hanif terhenti karena bertemu Ibu dan salah satu adiknya. Hanif nampak tersenyum senang, saya juga ikut menghampiri keluarga Hanif. Saya menyalami Ibunya Hanif.

"Tante kabarnya baik?"tanya saya. Ini bukan pertama kali saya bertemu keluarga Hanif selain dulu saat diklat, kemarin selama TCpun saat mereka menemui Hanif kadang saya menemui mereka.

Ibu Hanif tersenyum pada saya, senyum hangat sama seperti senyum almarhumah Ibu saya. "Alhamdulillah, semangat ya."

Saya mengangguk, "Febri ke dalam dulu ya Tante, Sam"pamit saya memberi ruang untuk keluarga ini.

Saya dulu memang selalu bermimpi jika Ibu saya bisa menyaksikan saya bertanding membela negeri, namun semuanya telat diraih. Hanya ada penyesalan yang kini saya miliki.

Tibalah saya di ruang ganti, saya mencari bangku yang menggantungkan jersey dengan nomor punggung yang saya pilih sejak awal. Akhirnya saya menemukannya, nomor tiga belas itu tersimpan ditengah-tengah deretan bangku nomor yang berurutan, sayapun terduduk di kursi nyaman berbentuk seperti jok mobil balap F1.

Tak lama Hanif menyusul memasuki ruang ganti dengan senyum yang merekah di bibirnya. Saya tau bertemu keluarga akan menjadi hal paling membahagiakan dan akan menjadi pemantik semangat paling berarti sebelum bertanding namun saya tak mau jika adik saya harus menonton saya langsung di stadion. Saya tak mau ia digoda lelaki nakal, saya tak mau dia terluka dan terlebih saya tak mau dia bertemu Papah saat saya tau dari Om Wisnu Papah suka menonton pertandingan saya.

"Feb, starter siap?"tanya asisten coach yang tengah berdiri disamping Coach yang berkebangsaan Spanyol itu.

Saya mengangguk cepat, "Selalu siap, Coach."

"Okey anak-anak menurut coach Luis kita ganti pake strategi dua."

Setelah itu kita lebih banyak mengobrol serius tentang taktik bermain di lapangan nanti. Sebenarnya bermain di kandang akan lebih berat karena pendukung punya ekspetasi lebih terlebih melawan Thailand, tim negara tetangga yang rankingnya lebih tinggi dari pada kita. Namun sepak bola bukan tentang apa yang ada di atas kertas namun apa yang ada di atas lapangan hijau, siapapun lawannya, bagaimanapun kekuatannya kita tetap harus yakin bisa melawan bahkan mengalahkan mereka.

Kini kami sudah bersiap berjajar di lorong sebelum masuk ke lapangan, rasanya pundak ini berat menanggung segala ekspetasi untuk menang. Namun itu resiko dari salah satu wakil anak bangsa, ini memang pantas kita dapatkan karena tugas kita membawa garuda terus mengudara.

Sorak-sorak supporter sudah terdengar jelas, bahkan sejak di ruang ganti. Kini jantung saya sudah berdebar cepat, saya segera memegang dada saya merasakan setiap detak yang ada di dada saya. Saya memejamkan mata "Ini buat negara, harus maksimal."ujar saya dalam hati.

Terdengar suara memanggil kami masuk ke lapangan, lagu anthem telah terdengar rasanya begitu bangga keluar dengan seragam garuda dengan stadion yang bergemuruh kencang karena supporter yang semangat. Ini memacu saya agar bersemangat.

Menjaga Jantung HatiWhere stories live. Discover now