3. Away days

372 34 3
                                    

Hari ini saya tidak sedang berada di Bandung, namun saya juga tak begitu jauh dari Bandung. Hari ini saya dan Tim berada di kota Bogor, masih satu provinsi dengan Bandung. Bukan tanpa alasan saya dan tim ke Bogor, namun di dalam dunia sepak bola laga tandang adalah hal biasa, Kita bermain di kandang lawan dengan tekanan supporter lawan itu membuat tandang selalu dianggap lebih sulit oleh setiap pesepak bola.

Menurut saya laga tandang sangat berat karena saya harus meninggalkan adik saya sendiri. Namun jika saya tandang jauh dia selalu saya titipkan pada keluarga Om Wisnu. Om Wisnu dulu memang sangat terlihat marah pada saya namun kini ia nampak biasa saja, terlebih kini batang hidung Papah sudah tak muncul lagi setelah hari kematiaan Ibu.

Kini saya sudah berada di stadion megah home base dari Tim sepak bola kota Bogor. Gemuruh supporter lawan mengisi stadion ini. Namun nyali saya tak ciut, jika pelatih mempercayai saya bermain saya pasti akan berjuang sekuat tenaga untuk tampil baik tanpa tekanan.

Namun sayang di babak pertama pelatih masih menyimpan saya di bangku cadangan. Sepanjang babak pertama saya hanya menyaksikan teman-teman saya berjuang di atas lapangan hijau.

"Feb pemanasan."titah asisten pelatih yang tengah menulis sesuatu di kertas.

Saya yang mendengar itupun dengan semangat mengangguk, saya melakukan pemanasan di temani beberapa pemain cadangan lain. Papah saya pernah bilang, 'Jangan putus asa ketika menjadi pemain cadangan, para pemain hebat juga dulunya berasal dari bangku cadangan.' itu katanya saat saya masih kecil dan dia masih aktif jadi pesepak bola. Dulu dia memang panutan saya, namun itu berubah saat saya tau dia memiliki pengganti Ibu, dia menyakiti hati Ibu dan saya sangat membenci hal itu.

Babak pertama sudah selesai, dengan skor masih kacamata alias nol-nol. Kini babak kedua akan di mulai, asisten pelatih memberi saya secarik kertas yang tertulis nama saya akan masuk menggantikan salah satu pemain yang babak pertama tadi bermain. Saya berjalan ke arah meja officer Panpel, memberi kertas tadi. Seorang wasit mengganti angka di papan itu dengan nomor punggung saya, tiga belas dan  ia menyuruh saya mengikutinya.

Kini saya sudah berdiri di pinggir lapang, dada saya berdebar cepat. Saya tau saat nanti masuk akan banyak mata tertuju pada saya, semua harapan ada di pundak saya, semua taktik yang coach berikan juga ada di kepala saya, dan kini saya siap bertarung dan berjuang bersama teman setim saya di sana.

Pertandingan tak berjalan sesuai ekspetasi saya, Tim yang saya bela harus rela berbagi poin dengan tuan rumah. Menyesal? Pasti, tapi semua pemain sudah memberi yang terbaik. Kini kami sudah berada di dalam bus untuk kembali menuju hotel.

Saya meraih ponsel saya, saya mencari kontak adik saya di sana. Khawatir, hanya itu.

Suara telepon tersambung berbunyi lama, akhirnya diapun menjawab telepon saya.
"Assalamualaikum."salam saya ketika sambungan telepon di terima olehnya.

"Waalaikumsalam,"

Saya menyandarkan tubuh lelah saya kepada jok bus, "Seri de, Aa juga enggak main sembilan puluh menit."ucap saya mengadu.

Bukannya mengomel karena Tim kebanggaannya tak meraih kemenangan adik saya malah memberi saya semangat "Enggak apa-apa semoga pertandingan selanjutnya bisa lebih baik, berarti harus banyak latihan lagi biar bisa main sembilan puluh menit dan bisa bawa Tim A Bow menang, Semangat!"

Saya tersenyum sambil terus memegang ponsel yang terletak di telinga saya. "Hm...Kamu dimana De? Enggak nonton bareng di luar-luar gitukan?"tanya saya yang merasa khawatir, walau saya tau sebenarnya ia pasti berada di rumah.

"Bia di rumah kok,"benarkan, dia tak mungkin berani keluar malam. "tadi pulangnya sore enggak keburu deh nobar."lanjutnya membuat saya agak kesal dengan niatannya.

Menjaga Jantung HatiWhere stories live. Discover now