17. Sudut pandang berbeda

213 23 0
                                    

Hari ini masih sama, rumah masih sunyi seperti tak lagi bernyawa. Diri saya makin terasa rapuh, Bia jantung hati saya dan karena itu rasanya hidup saya merasa kurang tanpa kehadirannya.

Sarapan yang biasanya terasa nikmat kini hanya makanan hambar. Angin di luar rumah seakan menertawakan keadaan saya. Belum lagi kekalahan Tim kemarin, semakin menambah daftar panjang penyiksaan pikiran sendiri.

Saya kira menjadi dewasa semenyenangkan kita bisa kemana saja tanpa merasa takut. Namun saya salah, saya lupa bahwa ada banyak hal tentang dewasa yang nyatanya tak seasik yang anak kecil lihat.

Saya tak terlalu ingat, namun Ibu pernah cerita  tentang  penerbangan panjang pertama yang saya lakukan. Saya diajak kedua orang tua saya untuk pindah menetap di Inggris, kami bertiga meninggalkan Indonesia dan memilih tinggal di negeri kelahiran Papah. Di sana kami merasakan bahagia, walau hanya sesaat. Dan di sana pula kami berpisah dan kami mendapatkann kerumitan hidup yang sampai saat ini masih menimbulkan banyak pertanyaan di benak saya.

Pertanyaan demi pertanyaan masih belum menemukan jawabannya, meski saya sudah sedikit bisa mengambil inti masalah namun pertanyaan itu tak bisa ditaklukan begitu saja. Mencari jawaban dari Papah bukanlah pilihan tepat, ia tak akan memberi jawaban begitu saja tanpa adanya kedatangan pertanyaan yang mengekori penjelasannya. Satu-satunya orang yang mungkin paham permasalahan ini adalah Om Wisnu, orang terdekat Papah juga Ibu. Namun apakah ia mau menjelaskannya pada saya? Saya harus mencoba itu agar setidaknya saya tau harus memposisikan diri saya seperti apa.

Tanpa pikir panjang saya segera bergegas ke rumah Om Wisnu, jaraknya memang dekat dengan rumah namun dengan memakai kendaraan roda dua setidaknya itu mempercepat waktu. Jalanan komplek ini semakin mengingatkan saya kepada Bia, jika kami punya waktu luang kami selalu menyusuri jalanan ini untuk bermain sepeda sambil bertukar canda tawa. Kini yang saya lakukan hanya memberinya tangis dan kecewa bukan lagi canda tawa, sebagai seorang kakak saya memang terlalu berengsek.

Sampailah saya di depan perkarangan rumah keluarga Om Wisnu, namun tak nampak mobil milik orang yang saya tuju itu. Tak berhenti di situ saya tetap mencoba mencarinya di rumah itu. Saya turun dari motor yang sudah saya parkirkan di depan rumah Om Wisnu.

Tok...Tok,

Lama saya menunggu pintu terbuka, namun saat pintu terbuka saya bukannya menemui pria paruh baya dengan rambut cepak melainkan bocah tengil yang jambulnya siap menyaingi jambul milik saya.

"Om Wisnu mana?"tanya saya to the poin.

Witan si bocah tengil itu menatap saya malas, "Waalaikumsalam."sindirnya karena saya tak mengucapkan salam.

"Iya Assalamualaikum, Om Wisnunya ada?"tanya saya mengulang dengan nada datar.

"Ayah kerjalah, ini juga masih jam kerjakan?"

"Masih lama?"

"Masihlah, istirahat makan siang aja belum."

Saya menghela nafas, "Hm...yaudahlah, Aa samperin ke kantornya aja. Kantornya masih daerah Ahmad yani kan?"

Witan mengangguk.

Saya kembali melanjutkan perjalanan, menuju tujuan lain yaitu kantor Om Wisnu. Saya sempat beberapa kali ke sana saat Ibu masih bekerja di sana. Iya untuk menghidupi keluarga kami dulu Ibu bekerja di perusahaan Om Wisnu.

Kantor Om Wisnu juga dekat dengan lokasi Mess Tim saya, saya melewati tempat itu, tempat pelarian yang selama pertengkaran saya dan Bia. Tapi untuk saat ini sepertinya lari bukan pilihan terbenar, di kala maaf harusnya saya usahakan.

Saya memarkir motor di parkiran perusahaan Om Wisnu, perusahaan di bidang konstruksi. Saya tak terlalu mengerti tentang mekanisme perusahaan, saya hanya mengerti apa saja strategi di lapangan.

Menjaga Jantung HatiWhere stories live. Discover now