44 | pesona mantan nggak pernah pudar

Start from the beginning
                                    

Kemudian Sabrina segera memimpin jalan, menuju tempat staf hotel sedang menunggu mereka.

Pertemuan mereka tidak lama. Bimo benar-benar menepati janjinya, tidak akan membuat pertemuannya lama, jika itu bisa membuat Sabrina merasa lebih nyaman. Bahkan dia menolak diajak melihat-lihat ballroom yang akan digunakan sebagai tempat resepsi, mumpung sedang kosong. Padahal mah, dalam hati Sabrina mulai selow lagi. Tidak ada gunanya merasa bersalah, apalagi menyalahkan Bimo. Skor mereka satu sama.

"Yakin segini aja, Bim? Mau langsung balik?" Sabrina bertanya saat Mas Indra sudah undur diri dan mempersilakan mereka ngobrol berdua. "Gue bisa ngalokasiin waktu lagi biar lo sama Mas Indra bisa ketemu lagi, tanpa gue, kalau perlu."

Bimo menggeleng, senyum.

Ih, sumpah, ya, itu manis banget. Bikin melting, kalau nggak inget udah jadi mantan.

"Nggak perlu, sih. Gue percaya elo."

Percaya. Hmm.

Sabrina masih nggak habis pikir untuk urusan satu ini. Kapan mantan sadar kalau manusia nggak perlu terlalu dipercaya? Setidaknya ini menyangkut duit milyaran dan momen seumur hidup sekali bagi Abang sepupunya, serta momen bergengsi bagi keluarga omnya yang pejabat itu!

"Abis ini lo ke mana?" tanya Bimo balik.

"Ke Maestro, ambil pesenan."

"Bawa kendaraan sendiri?"

"Enggak. Tadi naik taksi online."

Pertanyaan berikutnya, bisa ditebak.

Tapi gimana cara jawabnya, biar nggak terkesan munafik banget? Abis mutusin, terus sekarang sok baik-baikin lagi.

"Mau dianter?"

"Elo lagi free? Oh iya, sampe lupa nanya. Sekarang sibuk apa?"

Bimo belum sempat menyahut saat sebuah seruan memanggil nama lelaki itu terdengar jauh dibalik punggung Sabrina.

Sabrina menoleh.

Dan langsung bad mood.

Ini kenapa Zane jadi kayak jalangkung, sih?

"Eh, elo di sini juga, Sab?" tanya sang bos saat sudah dekat.

Sabrina memutar bola mata, enggan menjawab. Zane jelas tidak lupa bahwa venue untuk projectnya berada di hotel ini.

"Kok bisa pada ketemu di sini?" Zane masih saja berpura-pura.

"Ternyata gue kliennya Sabrina." Bimo menjawab dengan sabar, meski pandangannya lurus menatap Sabrina, menunggu kode.

Zane manggut-manggut. Kemudian tidak sengaja—atau sengaja—menoleh ke kaki Sabrina.

"Lo belum ke dokter?"

Sabrina otomatis ikut menoleh ke kakinya sendiri yang terbungkus pump shoes setinggi delapan sentimeter.

Memang bengkak sedikit, sih, bagian pergelangan kakinya, tapi nggak terlalu kerasa. Mungkin karena terbiasa nyeri kalau sedang pakai high heels, jadi tidak sadar kalau kakinya memang sedang sakit.

Bimo juga langsung memperhatikan kakinya.

"Itu bengkak kenapa, Sab?" tanyanya, kelihatan mulai cemas.

Sabrina mengibaskan tangan, cuek bebek. "Keseleo. Di kantor, kemarin sore." Sabrina segera menyahut, sebelum didahului Zane, meski dia ragu Zane akan mengungkit-ungkit dirinya yang semalam berada di apartemennya.

Zane balas menatapnya, tidak kooperatif.

Sabrina melotot.

Setelah membuatnya merasa diinjak-injak sejak semalam, jelas tidak akan dia biarkan siang ini si bos kampret ini mengganggunya lagi, apalagi di luar kantor.

"Ya udah, gue anter ke dokter dulu sekalian balik ke kantor." Zane nyeletuk seenak jidat.

Sebelum Sabrina menyahut, Bimo sudah mendahului.

"Elo kalo sibuk, duluan aja, Zane. Biar Sabrina sama gue. Gue free siang ini."

Sabrina mesem, jelas sekarang ini dia Tim Bimo, nggak pakai ragu.

"Iya, gue sama Bimo aja, Bos. Sungkan gue kalau minta anter lo ke dokter, ngerepotin aja. Lagian kan gue sama Bimo udah lama nggak ketemu, sekalian melepas rindu."

Sabrina menekankan intonasi pada kata terakhir, meski dalam hati tidak yakin.

Zane tersenyum masam.

"Terserah, sih. Gue duluan, Bim."


~


"Lo nangis, Sab?"

Pertanyaan Bimo ketika sudah berada di dalam mobilnya membuat Sabrina terkesiap, mengusap matanya yang basah.

Dia tidak benar-benar menangis. Hanya berkaca-kaca. Dan anehnya untuk hal yang tidak dia ketahui penyebabnya.

Yang jelas perasaannya tidak enak.

Sabrina menoleh.

"Laper, Bim. Makan yuk."

"Nggak ke dokter dulu?"

Sabrina menggeleng, segera mengeluarkan sandal jepit dari tas dan mengganti sepatunya. "Cuma keseleo doang."

Bimo tertawa geli. "Lucu banget sih lo, laper malah nangis. Nggak berubah-berubah dari dulu."

Sabrina cemberut. Fake.

"Mau makan apa?" tanya Bimo.

"Kepiting bumbu padang."

Sialnya itu menu yang tidak boleh di sebut.

Makin cringe-lah suasana di dalam mobil. Sabrina sampai harus memandang ke luar biar tidak canggung.

"Tempat biasa? Oke." Bimo menyahut santai, membuat Sabrina sukses tercengang.

Ini Bimo bener-bener lupa, atau berlagak bego, atau sudah memaafkannya?

"Emang masih buka?"

Bimo ketawa lagi. "Masih, lah." Lalu menoleh. "Abis kita putus, lo nggak pernah ke sana lagi?"

"Enggak. Males ketemu elo."

Tawa Bimo pecah. Sabrina berlagak mewek.

"Maafin gue, ya." Bimo menepuk-nepuk pelan bahunya. "Btw, itu mobilnya si Zane nggak jalan-jalan dari tadi."

Sabrina menoleh ke arah yang dimaksud, tersenyum miring, menyandarkan kepalanya ke bahu Bimo.

"Cuekin aja, emang suka merenung di parkiran itu orang." Sabrina tertawa jahat. "Btw lo udah punya cewek baru, belum?"

"Kenapa emang?"

"Nggak lucu aja kalau tiba-tiba cewek lo dateng dan ngedamprat gue, padahal kitanya nggak ada apa-apa."

"Oh. Nggak punya, kok."



... to be continued



Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now