DUA PULUH DELAPAN

4.6K 534 20
                                    

Cuaca pagi ini tampak sangat bersahabat. Semburat matahari memancarkan cahaya hangat lewat kisi-kisi jendela kamar Arsyila. Semilir angin berhembus membawa udara dingin menerobos tirai putih dan membuatnya bergerak berayunan. Arsyila menggeliat saat hawa dingin itu menyapu wajahnya. Matanya masih terpejam menyiratkan si empunya masih enggan untuk bergerak dan memulai aktivitas hari itu.

Seperti biasa, di hari Sabtu begini Ayah—yang rutin menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid komplek, baru akan pulang ke rumah sekitar pukul 8. Karena kata Ayah selepas shalat subuh di hari Sabtu selalu ada jadwal kajian ataupun ceramah. Jadi, Syila bisa sedikit bersantai tanpa perlu terburu-buru menyiapkan sarapan untuk ayahnya. Apalagi hari ini Syila sudah berencana untuk datang lebih siang ke kafenya, sehingga membuat jiwa kemalasannya semakin menjadi-jadi. Sekali-sekali, pikirnya.

Baru saja hendak kembali terbuai ke alam mimpi, Syila dikejutkan oleh suara panggilan dari ponselnya di atas nakas. Dengan malas gadis itu mengulurkan tangan untuk meraih ponsel tersebut untuk melihat siapa yang pagi-pagi sudah menelponnya. Syila beberapa kali mengerjapkan matanya untuk meyakinkan diri saat melihat nama penelpon yang muncul di layar ponselnya. Baru saja gadis itu hendak mengangkat panggilan tersebut, dering di ponselnya terhenti.

Rinan. Finally he calls me, ucap gadis itu dalam hati. Belum sempat memutuskan untuk menelpon balik atau tidak, suara ketukan terdengar dari balik pintu kamarnya.

"Syil, kamu udah bangun?" Terdengar suara Ayah memanggil.

"Udah, Yah. Ayah kok udah pulang?" kata Syila sambil melirik ke arah jam dindingnya yang berwarna merah marun. Masih jam tujuh kurang.

"Ayah boleh masuk?" tanya Ayahnya masih dari balik pintu.

"Iya, Yah," sahut Syila seraya bergerak untuk membukakan pintu.

"Ayah tumben jam segini udah pulang?" Syila mengulang pertanyaannya setelah melihat wajah sang Ayah. "Syila belom bikinin sarapan loh," sambungnya lagi.

"Tadi ustadznya mendadak harus cepat pulang, ada keluarganya yang meninggal dunia. Kamu tenang aja, Ayah udah beliin nasi uduk di depan komplek. Udah Ayah taroh di meja makan."

"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun."

"Udah sekarang kamu mandi dulu, ada temen kamu yang nungguin di depan tuh," kata Ayah Syila sambil berlalu menuruni tangga.

"Hah? Siapa, Yah?" tanya Syila kebingungan.

"Cowok," sahut Ayahnya singkat.

"Ge?" tebak Syila ragu. Apa mungkin Ge niat banget sampe dateng ke rumah? pikir gadis itu.

"Bukan. Udah kamu cepet mandi sana terus temuin temen kamu. Ajak sarapan sekalian, nasi uduknya banyak kok, bisa kita bagi tiga," kata Ayah Syila dari ujung tangga.

Syila pun bergegas menuju kamar mandi sambil masih mengira-ngira siapa temannya yang sepagi ini berkunjung ke rumah.

***

"Hai, Syil."

Syila menatap lelaki jangkung dengan setelan celana jeans biru gelap ditambah hoodie berwarna hitam yang saat ini berdiri di hadapannya. Dari wajahnya terlihat tampak sekali ia sedang kelelahan. Melihat backpack besar yang dibawanya, sepertinya ia baru saja pulang dari perjalanan jauh.

"Sorry, aku gangguin kamu ya pagi-pagi begini," kata lelaki itu melihat Syila yang hanya bergeming menatapnya.

Syila menggeleng cepat seraya tersenyum. "Nggak kok, aku kaget aja. Kamu dari mana?"

"Aku baru aja dari stasiun. Abis dari Jogja, ada kerjaan di sana," sahut Rinan—lelaki itu. Syila hanya mengangguk-angguk sambil membulatkan bibirnya.

"Semalem aku baca email kamu pas masih di kereta. Jadi begitu sampe aku mutusin untuk langsung ke sini. Maafin aku ya, Syil."

Syila tertawa kecil. "Maaf buat apa?"

"Maaf nyuekin kamu berhari-hari," balas Rinan. Mata kelamnya menatap Syila dengan sorot yang teduh.

"Syil, kok temennya nggak diajak masuk? Sini sarapan sama-sama," teriak Ayah Syila dari dalam rumah. Tak lama pria paruh baya itu sudah datang menghampiri Syila dan Rinan.

"Nggak usah, Om. Jadi ngerepotin," tolak Rinan halus saat Ayah Syila kembali mengajaknya untuk sarapan bersama.

"Nggak apa-apa. Yuk, Om sama Syila juga belum sarapan," kata Ayah Syila lagi membuat Rinan mau tak mau menerima tawaran tersebut. 

"Jadi Manda udah cerita semua sama kamu?" tanya Rinan saat mereka sudah selesai sarapan dan lalu duduk di teras depan rumah Syila.

Gadis itu hanya mengangguk. "Maaf ya, waktu itu aku malah gangguin kamu, nelpon-nelpon terus padahal kamunya lagi pengen sendiri," kata Syila lirih.

"Nggak kok. Aku yang minta maaf nggak nanggepin pesan dan telpon kamu. Bego banget deh, ada yang merhatiin malah aku cuekin," kata Rinan lantas tertawa kecil, membuat Syila sedikit tersipu.

"Aku juga nggak bisa mendefinisikan perasaan aku waktu itu. Jujur aku kaget waktu ketemu Manda. Lebih kaget lagi waktu tau ternyata.." Rinan tak meneruskan kalimatnya.

"Aku ngerti kok," sahut Syila.

"Waktu itu aku ngerasa kayak bego banget, dulu kok percaya aja waktu mereka bilang Sherin udah nggak ada. Mungkin karena ketidakmampuan aku waktu itu untuk bisa bener-bener nyari tau keberadaan Sherin. Tapi sekarang aku sadar, kalau aku tuh cuman kebawa perasaan aja sih. Padahal selama ini aku udah berjuang keras untuk ngelupain semuanya, mulai menata hidup lagi. Nggak ada gunanya aku bersikap kayak gitu. Apalagi Sherin udah punya keluarga, bahkan Manda bilang belum tentu juga dia inget sama aku." Rinan mendesah mengakhiri kalimatnya.

"Aku bersyukur bisa kenal sama kamu, Syil." Rinan lalu menolehkan pandangannya kepada Syila, membuat jantung gadis itu berdegup cepat. "Makasih kamu udah khawatir sama aku ya. Sebenarnya aku nggak bener-bener ngejauhin kamu juga sih. Kebetulan minggu lalu aku berangkat ke Jogja bareng Dimas karena kita ada kerjaan di sana. Dan sekarang baru pulang langsung ke sini. Pengen liat wajah orang yang nyari-nyariin aku terus." Rinan melebarkan senyumnya membuat Syila yakin wajahnya sekarang pasti sudah seperti kepiting rebus.

"A..aku tuh cuma khawatir aja kalau ada apa-apa sama kamu. Kan terakhir kamu makan mie ayam bareng aku. Siapa tau kamu kenapa-kenapa gara-gara mie ayam itu, iya kan?" ucap Syila beralasan. Dalam hati ia ingin menepuk jidatnya sendiri karena sudah mengeluarkan alasan mengada-ada itu.

Rinan terkekeh, lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu ngelawak ya? Mie ayam kemaren enak banget tau. Sekarang aku jadi kangen pengen makan lagi mie ayam di situ."

"Kamu kan baru aja makan nasi uduk. Lagian jam segini mie ayamnya belom buka tau. Mendingan sekarang kamu pulang dulu gih. Muka kamu capek banget tuh. Istirahatin badannya," ucap Syila.

"Jadi aku diusir nih?" tanya Rinan pura-pura ngambek. Tangannya lalu meraih ponsel untuk memesan ojol.

"Bukan ngusiiiirr, kamu ih. Mukanya udah kusut gitu, mana belom mandi lagi," sahut Syila seraya memencet hidungnya.

"Emangnya aku bau ya?" tanya Rinan sambil mencium-cium lengan bajunya membuat Syila tertawa-tawa.

"Iya.. iyaa deh, aku pulang. Nih ojolnya udah dipesen," ucap Rinan seraya memasukkan ponselnya ke saku celana. Beberapa saat keduanya hanya terdiam.

"Makasih ya, Syil."

"Makasih buat apa lagi?"

"Buat nasi uduknya," sahut Rinan dengan tawa renyah.

"Haha, kalau itu sih makasihnya sama Ayah, kan Ayah yang beli."

"Iya ih, padahal tadi aku pikir itu kamu loh yang masak."

Syila hanya tertawa. "Udah gih pulang, nggak beres-beres kalau ngobrol terus. Tuh kayanya Bang Ojol kamu udah sampe," Syila bergerak mendorong tubuh jangkung Rinan yang kini beranjak berdiri. Lelaki itu lalu mengelus-elus puncak kepala Syila dan berpamitan pulang, meninggalkan Syila dengan bunga-bunga di hatinya.

Bittersweet Coffee Cake [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang