DUA PULUH

4.6K 558 42
                                    

"Jadi kamu itu lulusan teknik yang kemudian banting setir jadi fotografer?" tanya Arsyila lalu menyuapkan sesendok mie ayam ke dalam mulutnya. Sore itu ia kembali bertemu dengan Rinan dan mengajaknya untuk makan bersama sebagai ucapan terima kasih karena telah mengantarkan liontin kesayangannya. Awalnya Rinan menolak dan mengatakan hal tersebut memang sudah seharusnya ia lakukan. Apalagi ia salah satu pria penganut paham 'pantang dibayarin cewek'. Namun Syila tetap bersikeras dengan niatnya membuat lelaki itu mau tak mau menuruti keinginan gadis itu. Akhirnya Rinan memilih untuk menikmati mie ayam di sebuah warung tenda di pinggir jalan yang tak jauh dari Exquisito.

"Bukan banting setir. Dari awal kuliah kan juga udah seneng motret, jadi nggak ada salahnya juga kan untuk dijadikan profesi? Kalau kata Ridwan Kamil, pekerjaan yang paling menyenangkan itu adalah hobi yang dibayar," sahut Rinan setelah menyeruput es jeruknya.

"Orang tua kamu nggak protes? Kan biasanya banyak orang tua yang mikir udah cape-cape nyekolahin, eh anaknya malah kerjanya nggak sesuai sama ijazah,"

"Berarti orang tuaku bukan orang tua kayak biasanya," kata Rinan lantas tersenyum. "Btw, ini mie ayamnya enak banget."

Syila menengok ke arah Rinan yang sedang menikmati mie ayamnya dengan antusias. Ekspresi wajahnya persis sama ketika mereka menikmati gultik malam itu. Lucu. Lelaki ini memang kadang terlihat lucu karena ekspresinya.

"Kamu tuh kayaknya cocok jadi food blogger atau artis endorsement deh," komentar Syila ringan.

"Kok gitu?" tanya Rinan bingung.

"Ya abis kalau makan makanan yang enak ekspresi kamu lebay gitu," jelas Syila lantas tertawa.

"Oh ya?" Rinan jadi bertanya-tanya ekspresinya yang manakah yang menurut Syila berlebihan itu.

"Kalau beneran enak wajar donk kalau berekspresi sedikit lebay. Tapi kalau endorsement gitu kebanyakan fake juga, iya nggak sih?"

Syila hanya mengedikkan bahunya.

"Kamu suka travelling juga ya?" tanya Syila.

"Kok tau? Hayoo.. ketauan kepoin instagram aku nih," ledek Rinan dengan senyum jahil yang merekah. Kedua mata hitam kelamnya menatap Syila membuat pandangan mereka beradu sesaat. Syila buru-buru mengalihkan pandangannya dengan berpura-pura menyeruput air dari es batu yang mencair sisa es jeruknya tadi. Tuduhan Rinan yang tepat sasaran itu membuatnya semakin salah tingkah.

"Iseng aja kemaren liat-liat abis confirm instagram kamu itu. Foto-foto kamu bagus, tempat-tempatnya juga menarik."

"Thanks for your compliment," ucap Rinan senang. "Awalnya justru karena suka travelling makanya aku jadi suka fotografi. Apalagi travelling ke alam bebas sambil menikmati keindahan karya Tuhan. Tadinya cuma foto-foto pake hape doank sih. Lama-lama mulai tertarik buat beli kamera yang bagusan dikit. Ngumpulin duit, kebeli kameranya, keterusan deh. Kemana-mana bawa kamera, motret sampai ikut kelas-kelas fotografi sana sini and here I am," jelas Rinan.

"Eh mulai mendung nih, udah yuk," seru Rinan menyudahi pembicaraannya. Syila menengadahkan kepalanya menatap langit. Awan-awan kelabu mulai menutupi kanvas raksasa itu. Syila segera bergerak menuju meja kasir untuk membayar makanannya. Mereka harus cepat kembali ke Exquisito sebelum hujan turun mengingat tadi mereka ke warung mie ayam tersebut menggunakan motor saja karena jaraknya yang dekat.

***
Sesampainya di Exquisito langit mendung mulai mengeluarkan amunisinya. Hujan turun dengan cukup deras. Beberapa pengunjung di sana berdecak menyaksikan air yang jatuh dari langit turun semakin deras. Beberapa lainnya justru semakin menikmati suasana syahdu tersebut dengan memesan orderan tambahan. Bukti bahwa hujan turun membawa berkah.

"Aku pesenin kopi ya sambil nunggu hujannya reda," kata Syila pada Rinan yang kini sudah duduk di kursi bar. "Espresso, kan?" Rinan mengangguk. Syila pun memberi kode pada Iwan untuk membuatkan kopi hitam ala Italia itu untuk Rinan. Sejurus kemudian gadis itu berpamitan untuk ke toilet sebentar.

Ge yang baru muncul dari pantry menyapa dan mendekati Rinan yang tengah asyik memainkan ponselnya.

"Bro," sapa Ge pelan. Rinan mendongak mengarahkan pandangannya pada Ge.

"Hai, Ge," balas Rinan sedikit kikuk. Ia melihat sorot mata Ge yang kurang bersahabat.

"Gue liat belakangan lo sering pergi sama Syila," kata Ge tanpa pendahuluan. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengorek ada apa sebenarnya antara mereka berdua, pikirnya.

"Ya.. memangnya kenapa, bro?" jawab Rinan sekenanya. Ia masih belum menangkap arah tujuan pembicaraan lelaki berkacamata ini.

"Lo suka sama Syila?" tanya Ge langsung ke sasaran.

Rinan tertegun. Sedikit tak menyangka Ge menanyakan hal tersebut. Terlebih karena cara bertanya lelaki itu yang terkesan menginterogasi. Belum sempat Rinan menjawab Ge sudah mengeluarkan suaranya lagi.

"Gue minta lo jauh-jauh dari Syila," ucap Ge pelan tapi tegas. Rinan terdiam. Kepalanya mulai dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Sepertinya kecurigaan Rinan dengan sikap Ge yang semakin hari semakin tidak bersahabat padanya membuat Rinan yakin Ge menaruh rasa pada Syila, sahabatnya. Bukankah ia sudah punya pacar? Baru saja Rinan ingin bertanya mengapa, Syila tiba-tiba muncul, hingga ia mengurungkan niatnya.

"Hujannya awet nih," ucap Syila seraya meraih kursi di samping Rinan lalu duduk. Tidak ada yang merespon atas perkataannya barusan. Seketika gadis itu menyadari ada sesuatu yang aneh di antara Rinan dan Ge yang hanya terdiam tanpa suara. Syila menatap kedua lelaki itu bergantian.

"Ada apa sih? Kok pada diem?"

"Nggak kok," jawab Ge singkat. "Gue ke belakang dulu sebentar."

Belum sempat Ge bergerak suara Amanda tiba-tiba terdengar di ujung pintu.

"Aduhh, basah," ucap gadis itu sambil mengibas-ngibas roknya yang basah terciprat hujan.

"Manda, pake apa lo ke sini?" tanya Syila sambil celingukan ke arah jendela kaca besar di sisi depan kafe. Mengingat hujan masih deras dan gadis itu biasanya datang menggunakan ojek online.

"Pake taxol. Bete gue kalau kelamaan nunggu hujan di kantor." Amanda berjalan perlahan mendekati Syila dengan tangan yang masih sibuk membenahi rambutnya.

"Sukur deh, kirain lo pake ojek, hujan gini," ujar Syila.

"Kamu kenapa nggak langsung pulang aja? Biar bisa langsung istirahat di rumah," kata Ge sambil menghidangkan secangkir teh hangat untuk kekasihnya itu.

"Nggak apa-apa sayang, kan biar kita bisa ketemu dulu," jawab gadis itu lantas menyeruput minumannya.

"Eh," ujarnya saat melihat ada seseorang yang sedang asyik dengan ponselnya duduk di samping Syila. Syila yang menyadari maksud Amanda buru-buru mengenalkan Rinan padanya.

"Oh iya, kenalin ini Rinan, fotografer yang kemaren bantuin kita di sini. Rinan, ini Amanda, pacarnya Ge."

Mendengar namanya disebut sontak Rinan meletakkan ponselnya dan menoleh ke arah Amanda. Namun betapa terkejutnya lelaki itu saat melihat sosok gadis yang dikenalkan Syila sebagai pacar Ge tadi. Begitupun dengan Amanda. Lama keduanya hanya terdiam mematung tanpa suara membuat Syila dan Ge menatap mereka bingung.

"Hei, pada kenapa sih? Kok malah diem?" tegur Syila sambil menggoyang-goyangkan bahu Amanda.

"Eh, oh, nggak apa-apa, Syil," jawab Amanda terbata. "Hai," sapanya pada Rinan canggung.

Rinan hanya membalas sapaan Amanda dengan senyum tipis yang terkesan dipaksakan. Ia tak menyangka akan bertemu Amanda di sini. Memori masa lalu seketika berkelebat di benaknya. Setelah itu mereka hanya terdiam dalam suasana yang canggung. Hingga akhirnya Rinan berpamitan pulang dengan alasan masih ada kerjaan yang harus diselesaikannya.

"Hujannya masih lumayan deras loh," ucap Syila mengingatkan.

"Nggak apa-apa. Soalnya udah janji sama client buat nyerahin hasilnya besok. Aku pamit ya, makasih traktirannya tadi." Rinan pun segera meninggalkan Exquisito setelah sebelumnya hanya melambaikan tangan pada Ge dan Amanda.

***

Nah loh, ada apa nih sama Rinan dan Amanda?
Kok kayak ada sesuatu gitu?
Hmm..

Bittersweet Coffee Cake [COMPLETED]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon