TUJUH

6.1K 613 9
                                    

"Makasih ya, Ge. Lo bener-bener datang di saat yang tepat." Arsyila terduduk lemah di deretan kursi tunggu rumah sakit. Matanya tampak sayu menahan kantuk. Saat itu sudah pukul satu malam. Di depannya Ge sedang berdiri bersandar pada dinding sambil memperhatikan Syila. Rasa ibanya semakin menyeruak saat melihat wajah lelah gadis berambut lurus itu. Ingin rasanya Ge tetap tinggal di sini untuk menemani dan menjaganya.

Malam itu, Ge yang melihat Arsyila mendadak panik dan pulang dengan terburu-buru langsung beranjak mengendarai motornya mengikuti Syila dari belakang. Ketika Syila sampai di rumah dan menemukan sang Ayah yang sedang merintih kesakitan, Ge yang menerobos masuk pun langsung membantu Syila membawa ayahnya ke rumah sakit dengan mengendarai mobil ayah Syila.

Setelah mendapatkan perawatan darurat di IGD karena asam lambungnya yang mendadak naik, akhirnya ayah Syila dipindahkan ke ruang inap dan diminta untuk menginap paling tidak satu malam. Syila panik bukan main, tak henti-henti ia merutuki dirinya sendiri yang beberapa hari ini sibuk dengan pekerjaan sehingga kurang memperhatikan ayahnya.

"Lo nggak apa-apa sendirian?" tanya Ge memecah kesunyian. Dalam hati ia berharap Syila mengizinkannya untuk tinggal.

Syila mendongakkan kepalanya melihat ke arah Ge lalu menggeleng perlahan. "Nggak apa-apa kok. Lo pulang aja, udah tengah malam. Besok gue ijin yah.."

"Ya udah, lo tidur ya, Syil. Istirahat. Kalau ada apa-apa jangan sungkan telpon gue." Ge berkata dengan berat sambil menundukkan kepalanya sedikit mendekat ke wajah Syila. Sebelah tangannya mengusap-ngusap bahu gadis itu lalu kemudian mengacak-acak rambutnya. Tak lama setelah itu, sosok lelaki berkulit putih itu pun menghilang meninggalkan Syila.

***

Syila menghempaskan tubuhnya perlahan ke atas kursi di samping ranjang pasien dan menatap sendu pada ayahnya yang sedang tertidur pulas. Air mata kembali menggenangi kelopak mata gadis itu. Rasa panik, takut dan bersalah yang sejak tadi berkecamuk dalam dadanya masih tersisa. Ayah adalah satu-satunya harta berharga yang ia miliki, wajar jika Syila begitu takut saat sesuatu yang buruk terjadi pada ayahnya.

Terbayang kembali masa-masa indah yang ia lalui bersama ayahnya. Mereka yang hanya hidup berdua memang hampir tak pernah terpisahkan. Kemanapun ayahnya pergi Syila selalu ikut. Ia sering sekali menemani ayahnya saat harus mengajar di kampus bahkan ketika sang ayah harus mengikuti pelatihan di luar kota pun Syila pasti selalu dibawa. Bagi Syila, Ayah adalah orang yang luar biasa hebat. Ayah mampu memposisikan dirinya sebagai seorang bapak sekaligus ibu bagi Syila. Ayah yang dengan kelembutan dan ketegasannya mengajarkan Syila untuk menjadi wanita mandiri dan tangguh. Ayah yang tak pernah mengeluh dalam mengurusnya, bahkan tak pernah berpikir untuk menikah lagi karena cintanya yang besar pada Ibu. Ayah yang selalu bilang ada senyum Ibu di mata Syila. Ah.. Ayah.. Bagaimana bisa Syila menjadi setega ini membiarkan Ayah merasakan sakit?

Syila memejamkan matanya dengan terisak. Matanya yang sudah sembab semakin terasa berat untuk dibuka. Ia menghembuskan napas panjang berusaha untuk mengontrol emosinya. Tangannya lalu bergerak menyeka air mata yang meleleh di pipi. Dengan malas ia pun meletakkan kepalanya di sisi ranjang. Rasa lelah dan pusing akibat menahan emosi akhirnya berhasil membuat Syila tertidur pulas di samping ayahnya.

***

"Saya bisa pulang jam berapa ya, Sus?" tanya Ayah Syila pagi itu pada seorang perawat yang sedang memeriksa tekanan darahnya. Syila tersenyum kecil mendengar pertanyaan ayahnya. Ayah yang pagi ini bangun dengan kondisi yang lebih baik sepertinya mulai merasa tidak betah berada di ruangan serba putih ini. Sudah sejak tadi ia merengek meminta pulang kepada Syila, persis seperti anak kecil yang merengek pada ibunya.

"Sabar ya, Pak. Tunggu pemeriksaan dokter dulu nanti siang. Hasil laboratorium juga baru keluar pagi ini. Bapak makannya yang banyak biar cepat pulih. Obatnya juga jangan lupa diminum ya." Perawat bertubuh ramping itu tersenyum ramah lalu berpamitan pada Syila.

"Ayah makan dulu ya. Kalau belum sehat betul jangan maksa pengen pulang." kata Syila sambil menyendok bubur dan mulai menyuapi ayahnya.

"Ayah udah sehat kok, Syil. Asam lambung naik kan udah biasa. Cuma semalam itu memang rasanya tenggorokan Ayah panas banget seperti terbakar. Tapi sekarang udah nggak apa-apa." Ayah berkata sembari mengusap-usap tenggorokannya. Syila hanya mengangguk-angguk mendengar ucapan ayahnya sambil terus menyuapinya bubur. 

"Kamu nggak kerja, Syil?" tanya Ayah.

"Syila udah ijin sama Ge, Yah. Kan Ayah lagi sakit." jawab Syila pelan.

"Oh iya, Ayah belum bilang terimakasih sama Ge. Untung ada Ge yang nolongin kita semalam. Anak itu baik sekali." kata Ayah dengan senyum yang mengembang.

Baru saja dibicarakan tiba-tiba saja Ge muncul dari balik pintu dengan membawa bingkisan buah-buahan di tangannya. Lelaki yang hari itu mengenakan sweatshirt polos berwarna abu-abu itu melangkah mendekat dan langsung mencium tangan ayah Syila.

"Gimana kabarnya, Om? Udah enakan ya?" tanya Ge sopan seraya meletakkan bingkisannya di atas nakas. Garis kelelahan terlihat di balik kaca matanya. Ia pasti kurang tidur semalam.

"Udah donk. Nih kamu liat, Om udah seger kan?" jawab Ayah Syila setengah bercanda membuat Ge tersenyum lebar mendengarnya.

"Terimakasih ya, Ge, atas pertolongan kamu tadi malam." ucap Ayah Syila tulus. "Tapi yang Om herankan kenapa tiba-tiba kamu ada d rumah?" sambungnya lagi penasaran.

"Sama-sama, Om. Kebetulan tadi malam pas ngeliat Syila buru-buru pulang tanpa pamit, saya jadi khawatir. Makanya saya ikutin." jawab Ge sambil menyenggolkan sikunya ke lengan Syila yang sedang bengong. Sontak gadis itu teringat dengan kejadian semalam. Syila yang memang gampang panik langsung buru-buru pulang tanpa pamit setelah mendapat telepon dari ayahnya.

"Iya.. iya. Maaf. Lo kan tau gue orangnya panikan." sahut Syila dengan wajah manyun membuat Ge tertawa melihatnya.

"Itu tandanya Ge peduli dengan kamu Syila." ujar Ayah Syila seraya mencubit hidung putri kesayangannya itu dengan gemas. "Ayah jadi bisa tenang selama ada Ge yang memperhatikan kamu." sambungnya lagi sambil tersenyum melirik Syila dan Ge bergantian.

"Ayah apaan sih. Syila udah gede kali." cetus Syila cepat sebelum omongan sang ayah semakin menjalar ke hal-hal yang tak ingin Syila bahas.

"Ya udah, Om. Saya pamit dulu ya. Mau langsung ke kafe nih. Cepat sehat lagi ya, Om." sela Ge seraya menyalami tangan Ayah Syila dan menciuminya.

"Syil, gue duluan ya. Oiya mobil udah gue parkir di bawah. Motor gue biar aja dulu di rumah lo ya. Gue pake ojol. Assalamualaikum." pamit Ge seraya menyerahkan kunci mobil pada Syila.

"Waalaikumsalam. Thanks ya, Ge. Titip kafe." balas Syila diikuti anggukan dari Ge yang kemudian beranjak keluar ruangan.


Haii aku mau ngucapin makasih banyaaaak banget buat kalian yang masih setia ngikutin ceritanya Arsyila, walaupun update nya masih tersendat-sendat. Hihi 😁
Tetap butuh vomment dari kalian semua yaa.. biar semangat ku ngumpul terus! Ciaoo.. 😍😍

Bittersweet Coffee Cake [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora