DUA BELAS

6.3K 656 25
                                    

Sudah hampir 10 menit Arsyila mematut diri di depan cermin besar di kamarnya. Bolak balik ia mengecek penampilannya pagi itu. Blouse hijau botol dipadukan dengan kulot ⅞ berwarna senada serta sepatu flat shoes hitam memperlihatkan gayanya yang casual. Rambut panjangnya diikat tinggi ke belakang ditambah make up yang natural menghiasi wajahnya yang putih.

Saat itu jam berwarna merah marun di dinding kamarnya baru saja menunjukkan pukul 6.30 tapi ia sudah bersiap-siap sejak setengah jam yang lalu. Hari itu adalah jadwal pemotretan bersama Rinan dan Dimas. Syila tak henti-hentinya merutuki Ge karena sudah membuatnya terpaksa mengiyakan dirinya untuk menjadi model foto mereka.

Jadwal pemotretan memang direncanakan pagi sekali mengingat Exquisito sendiri sudah harus menerima pelanggan pukul 8.30. Meskipun mungkin belum terlalu ramai namun dikhawatirkan pelanggan yang datang akan merasa terganggu dengan aktivitas mereka begitu pula sebaliknya. Selain itu, Rinan bilang memanfaatkan pencahayaan alami dari matahari pagi akan memberikan hasil foto yang bagus.

Setelah merasa penampilannya sudah cukup baik, Syila bergegas turun keluar dari kamarnya. Ia lalu membereskan beberapa tupperware berisi nasi goreng lengkap dengan potongan ayam, telur dan ketimun. Sehabis subuh tadi ia sengaja memasak nasi goreng dengan porsi yang lebih banyak. Selain memang untuk sarapan ayahnya, ia juga berencana untuk membawakan bekal sarapan untuk para karyawannya yang diminta datang terlebih dulu untuk menyiapkan menu makanan dan minuman sebagai objek foto nantinya.

"Yah, Syila pergi dulu ya. Ayah hati-hati di rumah." ucap Syila sambil mencium punggung tangan dan sebelah pipi ayahnya.

"Hati-hati ya, Syil. Kalau difoto ntar senyumnya yang manis." ledek ayahnya yang saat itu sudah tampak lebih segar setelah beristirahat panjang di rumah.

Syila mendelik sebal pada ayahnya, "Ngeledek teroooss! Dah Ayah, Assalamualaikum." pamitnya lalu segera masuk ke mobil setelah sebelumnya memasukkan barang-barang bawaannya di kursi belakang. Tak lama mobil itu pun melaju melewati jalan pintas yang masih tampak lengang.

"Wiiihhh.. udah sibuk aja nih pagi-pagi!" seru Syila saat ia sampai di Exquisito dan melihat para karyawannya sudah sibuk mempersiapkan sajian untuk pemotretan. Ia lalu meletakkan bekal sarapan yang tadi dibawanya ke atas meja. "Nih jangan lupa pada sarapan yaa!"

"Asyiikk.. makasih ya Mba Syila." sahut para karyawannya kompak.

"Peralatan yang kemaren aku minta siapin di mana, Mut?" tanyanya pada Mutya yang sedang menghias opera cake dengan sugar glaze.

"Udah siap di meja bar semua, Mba. Nanti tinggal pilih aja mana yang kira-kira mau dipake." jawab Mutya.

Setelah memastikan pekerjaan di dapur sudah baik, Syila pun beranjak kembali ke depan dan melihat Ge dan Iwan sedang menyiapkan beberapa jenis cangkir yang akan digunakan.

Tak lama kemudian sebuah mobil SUV berwarna hitam berhenti di halaman Exquisito. Dua orang pria yang sama-sama mengenakan pakaian serba hitam keluar dari mobil tersebut lalu menurunkan barang-barang bawaan mereka.

"Hai!" sapa Rinan saat mereka sudah berada di dalam Exquisito. "Udah siap?"

"Yap!" sahut Syila sambil memperhatikan kostum kedua lelaki tersebut. "Mesti item-item banget ya dresscodenya?" tanyanya penasaran.

"Mengantisipasi pantulan cahaya pas lagi moto." jawab Rinan singkat membuat Syila membulatkan bibirnya sambil mengangguk-angguk. Lelaki itu lalu bergerak mengatur sebuah meja kayu di sisi jendela yang akan dijadikan tempat shoot mereka yang pertama.

Dimas yang saat itu baru selesai mengatur lighting foto lengkap dengan payung berwarna hitam dan putih kemudian meminta bantuan Ge dan Iwan untuk menyiapkan objek foto sementara ia menyiapkan photo props. Pemotretan produk berjalan cukup cepat. Rinan dan Dimas terlihat bekerja dengan sangat profesional. Begitupun dengan karyawan Exquisito yang dengan sangat sigap mempersiapkan menu makanan yang akan menjadi objek foto, lengkap dengan sajian cadangan sehingga ketika sebuah menu belum mendapatkan hasil foto yang baik dan harus diganti, dengan cepat mereka menyiapkannya.

"Kepalanya dimiringin dikit, senyum ke kamera ya!" kata Rinan sambil tak melepaskan bidikan matanya di kamera. Syila yang sedang duduk sambil seolah-seolah sedang menikmati kopi itu pun mencoba menuruti arahan dari Rinan. Melihat gadis itu bergaya dengan sedikit canggung Rinan pun menurunkan kamera dari wajahnya dan berkata, "Rileks." sambil mengulas sebuah senyum kecil. Malangnya hal itu justru membuat Syila semakin canggung saat menyadari manik hitam kelam itu menatap tajam padanya.

"Iketan rambutnya bisa dibuka nggak? Digerai aja gitu rambutnya."

"Hah?" Syila yang kaget dengan arahan Rinan hanya bisa melongo sesaat, tapi tak urung diikutinya juga arahan tersebut. Rambut lurus yang sudah terlihat sedikit berombak itu pun kini tergerai indah di tubuhnya. Pantulan cahaya matahari membuat mahkotanya itu tampak seperti kecoklatan.

Cekrek. Cekrek. Cekrek.

Dengan cepat Rinan membidikkan lagi kameranya ke arah Syila tepat di saat gadis itu menggerai rambutnya. Beberapa gambar kini tertangkap di layar kameranya membuat lelaki itu tersenyum saat memandangnya.

"Fokus moto lo di kopi apa yang ngopi, nyet?" ucap Dimas setengah berbisik setelah sebelumnya ia menyenggol pelan lengan lelaki itu.

Rinan hanya tersenyum kecil sambil melirik Dimas. Ia kemudian mengedipkan sebelah matanya pada sahabatnya itu sesaat setelah melihat lagi hasil jepretannya di kamera.

Dua jam berlalu, pengunjung Exquisito pun mulai berdatangan. Belum ramai, namun cukup membuat Syila semakin merasa canggung ketika pandangan mata mereka mengarah padanya. Untung saja tak lama setelah itu Rinan berkata bahwa proses photoshoot mereka hari itu sudah selesai membuat Syila bisa bernafas lega. Ternyata jadi model foto itu susah juga, batin Syila.

Ya, meskipun kehidupan millennials jaman sekarang, termasuk Syila, sudah terbiasa dengan aktivitas berfoto di setiap momen, tapi tetap saja bagi Syila bergaya untuk difoto dengan tatapan mata orang-orang yang terfokus padanya membuatnya tidak nyaman. Berulang kali ia memaksa Ge untuk melakukan pekerjaan lain daripada menonton sesi fotonya hari itu. "Gue kan mesti ngecek juga, Syil, fotonya sesuai nggak dengan konsep kita." ucap Ge beralasan. Padahal lelaki itu pun diam-diam menikmati pandangan matanya pada Syila yang hari itu terlihat sangat manis.

"Paling lama tiga hari hasil fotonya bakal kita kirim." ucap Dimas setelah selesai mengemaskan segala perlengkapan yang mereka bawa dan memasukkannya ke dalam mobil.

"Oke, Dim. Thanks ya." sahut Ge seraya menepuk pundak lelaki itu dan memberikan gerakan brofist dengan mengepalkan tangannya diikuti dengan anggukan dari Dimas.

"Thanks, Nan." lanjut Ge pada Rinan yang dibalas lelaki itu dengan jabatan yang erat. Sesaat kedua pasang mata mereka beradu tanpa kata namun seperti mengisyaratkan ada suatu tanda tanya yang saling mereka ingin utarakan.

"Nggak pada pengen ngopi-ngopi dulu nih?" tawar Ge kemudian.

"Makasih, Bro. Tapi kita lanjut deh. Masih ada kerjaan lain menunggu." jawab Dimas seraya mengangkat ransel kameranya ke bahu. Kedua lelaki itu pun kemudian beranjak meninggalkan Exquisito.

"Loh, udah pada pulang?" tanya Syila yang baru saja keluar dari toilet.

"Udah. Barusan aja." jawab Ge. "Kayaknya udah cocok juga lo jadi fotomodel, Syil."

"Nggak usah sarkas deh! Malu gue tau!" sahut Syila yang disambut Ge dengan tawa. Dalam diam Ge memperhatikan wajah gadis yang sedang cemberut itu. Hampir tak pernah ada yang berubah dari parasnya, bahkan sejak saat pertama mereka bertemu. Ge menghembuskan nafas dalam. Entah mengapa perasaannya seperti bergejolak mengingat sosok Rinan. Sebagai sesama pria, ia tahu ada yang berbeda dari sikap lelaki itu pada Syila.

Bittersweet Coffee Cake [COMPLETED]Onde histórias criam vida. Descubra agora