DUA PULUH TUJUH

4.6K 541 7
                                    

Suasana Exquisito di siang menjelang sore itu terlihat cukup ramai. Suara dentuman musik berirama cepat menggema ke seluruh ruangan. Para pengunjung yang datang tampak menikmati alunan musik tersebut. Kaki-kaki mereka bergoyang-goyang seirama dengan tempo yang naik turun. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak muda bergaya ala mahasiswa yang datang membawa perangkat laptopnya masing-masing. Sepertinya embel-embel free wifi sudah umum menjadi salah satu kunci sukses setiap pengusaha kuliner untuk memikat para pelanggan mereka.

Mata Syila memperhatikan Ben yang terlihat mondar-mandir mengantarkan pesanan tamu. Lelaki berwajah oriental itu bergerak dengan lincah ke sana kemari. Sementara Damai tak kalah sibuknya menata ulang kue-kue di lemari display yang habis dalam sekejap. Masih mengenakan apronnya, Syila lalu bergerak mendekati Damai dan mengambil alih nampan berisi aneka kue yang dipegang gadis itu. Dengan cekatan, tangannya kini sibuk menata kue-kue tersebut ke dalam lemari display setelah sebelumnya memberikan kode pada Damai untuk melayani pengunjung yang ingin membayar di kasir. Ge yang berada tepat di sisi kiri Syila saat itu sedang sibuk menggiling biji kopi, menguarkan aroma arabica yang menggoda para penikmatnya. Sesekali lelaki itu melirik Syila dengan ekor matanya. Sudah lebih dari seminggu aksi diam-diaman antara mereka berdua terjadi. Selama itu pula Ge berusaha keras untuk menghubungi Amanda, tapi gadis itu sepertinya masih dalam kekecewaannya yang dalam. Amanda tak pernah sekalipun menggubris pesan dan telpon dari Ge. Bahkan saat Ge mendatanginya di kantor, Amanda sebisa mungkin selalu mengelak untuk bertemu. Saat ini Ge benar-benar merasa menjadi pria paling bodoh di dunia. Kisah cintanya berantakan, persahabatannya hancur. Semua karena kesalahannya sendiri yang bertindak hanya dengan mengedepankan egonya tanpa berpikir panjang. Entah bagaimana ia bisa mengembalikan situasi ini menjadi seperti dulu lagi.

Ge bergerak meraih cangkir-cangkir berwarna putih di sudut meja dengan gerakan cepat hingga tanpa sengaja lengannya menyenggol Syila yang hendak beranjak ke pantry untuk mengambil kue-kuenya yang lain. Sesaat pandangan mata mereka beradu meski tanpa sepatah katapun. Lelaki berkacamata itu lalu memundurkan sedikit tubuh jangkungnya agar tidak menghalangi jalan Syila dan membiarkan gadis itu berlalu. Meski ingin, lelaki itu tahu ini bukan saat yang tepat untuk mengajak Syila ngobrol. Tatapan gadis itu menyiratkan keengganannya. Sudah berkali-kali Ge berusaha mencari celah agar bisa berbicara empat mata dengan Syila. Lelaki itu jelas ingin meminta maaf atas kelancangannya waktu itu. Namun Syila sepertinya benar-benar sudah menutup dirinya. Untuk saat ini Syila hanya mau berbicara dengan Ge untuk hal-hal yang berhubungan dengan Exquisito.

Menjelang Maghrib, ketika beberapa pekerjaan sudah teratasi dengan baik dan para karyawannya sudah bisa menangani pekerjaannya masing-masing, Syila menepi ke salah satu sudut kafe untuk beristirahat sejenak ditemani secangkir teh hangat yang ia harapkan dapat mengendurkan urat-urat punggungnya yang terasa menegang. Atribut dapur sudah tidak lagi menempel di tubuhnya, rambutnya yang panjang sudah digelung tinggi ke atas. Setelah cukup rileks, Syila kembali membuka laptopnya dan mulai membaca beberapa catatan dan penawaran penting dari para supplier. Sejujurnya gadis itu masih terngiang-ngiang dengan cerita Amanda tentang Rinan. Tentang kisah cinta dan tragedi yang dialami Rinan bersama Sherin.

Gadis itu berusaha memahami situasi dan suasana hati Rinan saat ini. Ia tahu, pasti tidak mudah bagi lelaki itu menerima kenyataan yang sesungguhnya setelah bertahun-tahun ia berusaha mengobati luka hatinya. Meskipun Syila kecewa karena Rinan menghilang begitu saja. Jujur, ada rasa kehilangan yang ia rasakan. Kebersamaan mereka yang mungkin belum lama tapi berhasil menancapkan seuntai harapan dalam dirinya. Padahal sebelumnya, perasaan seperti itu nyaris tak pernah hadir dalam hatinya. Gadis itu kini memainkan roda gulir mousenya dengan malas. Tangan kirinya menopang di satu sisi kepalanya. Tiba-tiba saja ia teringat dengan email yang pernah dikirim oleh Rinan kepadanya yang membuatnya memikirkan sesuatu.

*** 
Syila baru saja menyelesaikan makan malam bersama ayahnya. Setelah selesai membereskan peralatan makannya, ia lalu bergegas menuju kamar dan langsung meraih laptop berwarna silver dari atas meja nakas. Sejurus kemudian gadis itu sudah duduk pewe di atas kasur. Jemarinya kini mulai bergerak lincah di atas keyboard, mengetikkan kata demi kata yang ingin ia sampaikan pada Rinan. Syila bermaksud untuk mengirim pesan kepada Rinan lewat email setelah pesan-pesan whatsappnya tidak pernah sekalipun mendapat balasan.

Assalamualaikum, 
Hai Rinan, apa kabar?

Aku harap kamu baik-baik aja. Karena udah beberapa minggu ini aku nggak pernah denger kabar kamu lagi. Maaf ya kalau aku lancang ngirim email ini ke kamu. Maaf juga kalau kamu jadi terganggu karena pesan-pesan whatsapp yang sempat aku kirim beberapa waktu lalu.

Jujur waktu itu (bahkan sampai sekarang) aku khawatir banget sama kamu. Takut terjadi sesuatu. Makanya aku sampe nyari-nyariin kamu. Malahan tadinya aku mau nelpon Dimas tapi aku malu dan nggak enak. Hehe.

Aku juga sempet bingung dan bertanya-tanya kenapa sikap kamu aneh banget waktu ketemu sama Amanda. Apalagi setelah itu kamu tiba-tiba aja menghilang. Awalnya aku nanyain ke Amanda, tapi dia bilang nggak ada apa-apa. Bahkan dia bilang dia nggak kenal sama kamu. Tapi akhirnya, kemarin Amanda cerita banyak hal tentang kamu ke aku yang bikin aku mulai ngerti kenapa kamu tiba-tiba menghilang dan ngejauhin aku. Aku cuma bisa berharap dan berdoa semoga apapun yang sedang terjadi saat ini sama kamu bisa menjadikan kamu orang yang jauh lebih kuat lagi. Aku tau kamu bisa :)

Dimanapun kamu sekarang, aku doain semoga kamu dalam keadaan sehat dan baik. Kalau kamu butuh teman jangan ragu bales email ini ya. Aku siap untuk jadi pendengar.

See you :)
Arsyila

Setelah selesai mengirimkan email tersebut, Syila mematikan laptopnya dan menyimpan kembali benda pipih itu ke atas nakas di samping tempat tidurnya. Gadis itu lalu merebahkan tubuhnya ke atas kasur sambil menghembuskan napas panjang. Matanya menerawang memandangi langit-langit kamarnya. Ia berharap kali ini Rinan mau membalas pesan darinya.

Ingatan gadis itu kini melayang ke foto Rinan bersama seorang perempuan yang dilihatnya di instagram beberapa waktu lalu. Kini Syila yakin perempuan itu pasti Sherin dan foto di Tebing Breksi itu waktu dahulu mereka masih bersama. Sherin memang cantik. Wajar kalau Rinan masih menyimpan rasa cinta yang besar untuknya. Syila memang belum pernah bertemu langsung dengan Sherin, tapi Syila sudah pernah melihat wajah Sherin dari foto-foto yang ditunjukkan Amanda. Kedua kakak beradik itu memiliki wajah dan postur tubuh yang mirip. Rambutnya sama-sama panjang. Hanya saja Sherin terlihat memiliki gaya berpakaian yang lebih rapi dan dewasa dibandingkan Amanda yang lebih senang bergaya casual. Amanda juga pernah bercerita kalau kakaknya itu sekarang tinggal di Australia dan menjalani aktivitasnya sebagai model di sana.

Namun Syila sama sekali tak menyangka, ternyata Sherin pernah memiliki masa lalu yang pahit bersama Rinan, lelaki yang akhir-akhir ini selalu mampir ke pikirannya. Di satu sisi Syila merasa sedih mengingat bunga-bunga di hatinya yang baru saja mulai mengembang kini harus melayu kembali. Namun di sisi lain, ia pun tak tega membayangkan Rinan saat ini. Kira-kira bagaimana perasaan lelaki itu sekarang? Sedang hancurkah? Apalagi Sherin saat ini sudah menikah dan sedang menantikan kelahiran buah hatinya.

Bittersweet Coffee Cake [COMPLETED]Kde žijí příběhy. Začni objevovat