32 | tersedu-sedu di pelukan zane

Start from the beginning
                                    

Sabrina lalu menyipitkan mata.

"Wait---"

Lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh dahi Zane.

Zane yang memang kelihatan lemas, pasrah saja disentuh-sentuh.

"Abis mijitin gue kemarin-kemarin, sakit gue pindah ke elo?" tanya Sabrina.

"Jangan bego, deh."

"Atau ... lo kena Corona? Wah, bisa mati berjamaah dong kita."

Sabrina bergidik ngeri, kemudian jadi tertawa melihat Zane cuma bisa mendengus sebal.

"Udah buruan pindah, Bang. Gue aja yang nyetir. Kasihan Pak Polisi kalo musim kayak gini masih harus ngurusin lakalantas."

Sabrina langsung bangkit dari tempat duduknya, membuka paksa seat belt Zane yang sudah terpasang. Kemudian segera beringsut dari tempat duduknya sendiri.

"Nggak lewat dalem juga kali, Sab, pindahnya."

"Yang simple jangan dibikin ribet, napa?"

Sabrina mencubit lengan Zane dengan gemas, menyuruhnya segera pindah.

"Ck."

Tapi Zane menurut juga, pindah ke jok Sabrina, dengan susah payah.

"Nggak cari-cari kesempatan nempel-nempel gue juga, kali, Bang!" Sabrina masih sempat-sempatnya menegur saat merasa Zane seperti sedang mencuri kesempatan dalam kesempitan.

"Nempel-nempel lo, untungnya buat gue juga apa?"

Sabrina mengabaikannya, segera menyalakan mesin begitu keduanya sudah siap di jok masing-masing.

"Lo bisa merem dulu. Kurang baik apa gue sebagai karyawan?"

Karena tidak mendapat sahutan, Sabrina menoleh sekilas. Zane sedang memandang keluar jendela.

"Semalem lo nggak begadang, kan, Bang? Ya kali, abis begadang mau donor darah!"

"Kagak. Jangan bawel, deh." Zane kemudian mulai merem.

Sabrina fokus mengeluarkan mobil mereka dari area parkir. "Karena elo nggak sempurna, nanti lo kalau nyari istri, minimal harus yang sesempurna gue, lah."


~


Zane hanya mendengus mendengarnya. Tapi kali ini pilih bungkam. Enggan mengonfrontasi.

Sesempurna Sabrina?

Sempurna dari Hongkong?!

Zane tiba-tiba jadi pening. Membayangkan harus berurusan dengan cewek lain yang mirip Sabrina, bisa mati muda dia.

Zane merem. Membiarkan perempuan itu fokus menyetir.

Skill Sabrina lumayan, kok. Nggak kalah dari Rachel. Jadi dia tidak khawatir. Apalagi ini bukan pertama kalinya perempuan itu membawa mobilnya.

Supermarket yang mereka tuju hari ini sangat lengang. Bahkan saking lengangnya jadi terlihat lebih banyak staf retailnya dibanding pengunjung yang datang.

"Mencar lagi, nih? Elo ke tempat sayur sama daging? Beliin kerang dong, yang banyak," pinta Zane tiba-tiba saat mereka tiba di tempat pengambilan trolley di dekat pintu masuk.

Mendengar kerang disebut-sebut, Sabrina kontan memutar bola mata, meski jelas tahu bahwa permintaan itu hanya ditujukan untuk mengolok-olok dirinya. "Dih, siapa yang mau masakin kerang lagi? Nyoh, bawain trolleynya. Barengan aja belanjanya."

"Barengan dari mananya? Ini sih lo udah overlap, nyuruh-nyuruh bos ngedorong trolley." Zane ngedumel. Tapi karena Sabrina sudah ngacir duluan, terpaksa dia mendorong juga trolley di depannya, segera menyusul Sabrina yang langsung menuju ke tempat sembako

"Emang kenapa nggak mau masak kerang? Enak, kok." Zane mulai lagi saat mereka tiba di depan rak-rak beras.

Sabrina melotot. "Perasaan tadi ada yang sok-sok masih ngantuk banget, deh. Eh, sekarang udah bawel aja, ngalahin bawelnya Juned!"

Selesai belanja, mereka mampir ke apotik yang lokasinya searah dengan PMI untuk restock vitamin. Dan tentu saja bermacam-macam printilan yang dipesan Juned.

Setelah menyerahkan keperluannya ke Sabrina untuk diantrekan ke kasir, Zane duduk di kursi yang tersedia di dekat counter.

Dibandingkan dengan supermarket tadi, apotik lumayan ramai. Tempat parkirnya juga agak penuh tadi.

Lalu tidak sengaja pandangan Zane jatuh pada orang yang sedang dilayani kasir. Seorang kakek tua. Mungkin usianya sudah mendekati delapan puluhan.

Kakek ini sudah sejak tadi berdiri di sana, berdiskusi dengan perempuan di balik mesin kasir. Cukup lama, sehingga membuat beberapa orang yang juga sedang mengantre jelas jadi memperhatikannya. Termasuk Sabrina, yang sekarang berdiri membelakangi Zane.

Zane menajamkan telinganya untuk mencuri dengar.

Sang kakek sedang menanyakan alternatif obat lain dari jenis yang dia butuhkan. Rupanya obat yang pertama terlalu mahal. Kemudian salah seorang apoteker memberinya jenis lain.

Zane merinding mendengarnya. Merasa tercambuk.

Tidak semua orang seberuntung dirinya, bisa bekerja dari rumah. Sebagian besar masyarakat yang mengandalkan hidup dengan pekerjaan luar ruangan dan di keramaian, yang saat ini jelas terhenti, mungkin sedang kesulitan untuk bertahan.

Sabrina bergerak menghampiri kakek itu setelah Zane mendengarnya bertanya dengan suara lirih, apakah obatnya dapat ditebus setengahnya saja.

Zane bangkit dari tempat duduknya, menggamit lengan Sabrina sebelum mencapai kasir. Perempuan itu sudah gemetar dan berkaca-kaca. Zane mengambil alih keranjang di tangannya, sebelum tangis perempuan itu pecah di situ juga.

"Gue aja, Sab. Lo duluan ke mobil," bisiknya seraya mengangsurkan kunci mobilnya ke tangan Sabrina.

Sabrina mengangguk dan segera berlalu.

Zane menyerobot ke kasir.

"Nggak pa-pa ditebus semua, Kek. Sekalian sama punya saya."

Sang kakek menatap Zane penuh haru. Ingin menolak tapi tidak kuasa.

Ketika Zane masuk ke mobil, Sabrina sedang termenung di jok penumpang.

"Gue nggak gampang berempati sama orang, sebenernya ...."

Suara perempuan itu bergetar.

Zane duduk diam, menghela napas panjang di kursi belakang setir. Bingung harus bagaimana.

Kalau yang menangis itu pacarnya, sudah pasti akan dia peluk. Atau minimal temannya, lah. Tapi Sabrina bukan keduanya.

Namun, sebelum Zane bertindak apapun, Sabrina sudah lebih dulu mengulurkan kedua lengannya dan menjatuhkan diri ke dalam pelukan Zane. Dan tanpa malu, menangis tersedu-sedu di sana.



... to be continued


Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now