Saya mengerutkan kening karena merasa heran dengan Om Wisnu. "Kenapa sih Om?"

"Cepat! Ke rumah sakit." katanya final, dengan sambungan telepon yang diputus sepihak.

Tanpa pikir panjang saya langsung menancap gas menuju rumah sakit, mungkin saja Ibu sudah sadar dan menanyakan saya sekarang, semoga saja.

Sesampainya di rumah sakit saya melihat Papah dan Om Wisnu tengah berdiri di depan ruang rawat Ibu yang terbuka pintunya.

"Kenapa Om? Ibu sadar ya?"tanya saya menatap Om Wisnu.

Pria yang seharusnya saya sebut Papah nampak terdiam dalam lamunan yang dalam. Om Wisnu kini memeluk saya. "Ibumu sudah tenang di sana."

Saya mendorong kasar Om Wisnu, membuat ia menjauh. "Maksud Om apaan sih? Ibu enggak mungkin pergi tinggalin Febri sama Bia!"

"Tapi memang gitu kata dokter."

Saya yang tadi memiliki tenaga seakan kehilangan semua yang saya miliki, kini saya hanya terduduk lemas di bangku rumah sakit. Dunia saya sudah hilang, padahal mimpi saya baru akan dimulai. Papah mendekat ia mengelus pundak saya. Saya menghalau tangannya. "Ini semua karena anda! Karena anda hadir kembali Ibu saya pergi!"kata saya sambil berdiri menatap Pria yang rambutnya hampir mirip dengan rambut saya.

Air mata saya tak terasa mengalir, ketika melihat ranjang yang memperlihatkan sosok Ibu yang sudah tertutup kain putih saya mencoba memeluknya, namun pelukan saya tak terbalaskan. "Bu, Bow udah resmi jadi pemain profesional. Kok Ibu malah pergi? Bow sama Bia enggak punya orang tua lagi dong nanti? Bu bangun! Katanya mau nontonin Bow kalau Bow udah jadi pemain bola. Ayo bu, Bow udah jadi pemain bola!"

Om Wisnu dan Papah menarik saya menjauh dari jasad Ibu. Saya hancur, hari di mana seharusnya saya bangga dengan pencapaian yang saya dapat namun ada kesedihan besar juga di hari ini yang membuat saya tak mau hari ini hadir di kehidupan saya. Entah apa yang nantinya harus saya jelaskan kepada adik saya di rumah.
-

Pemakaman Ibu telah dilaksanakan, sejak tadi Adik saya Abia atau biasa saya panggil Bia terus saja menangis di pelukan Tante Windy, istri Om Wisnu. Tante Windy dan anaknya, Witan terus membujuk Bia untuk segera pulang dan meninggalkan makam Ibu karena pelayat yang mengantar hingga pemakamanpun sudah beranjak meninggalkan area makam. Tapi bukan adik saya namanya jika tak keras kepala, sikapnya sama seperti saya si keras kepala namun ia lebih menyebalkan.

Selain memerhatikan Bia, saya fokus juga menatap Pria paruh baya yang memakai kaca mata hitam yang berdiri cukup jauh dari kami, ya dia adalah Papah. Saya yang melarangnya untuk datang dan mendekat ke kehidupan Bia, saya hanya tak mau Bia juga jadi korban sakit hati yang disebabkan Papah.

Kini saya membuyarkan lamunan saya dan kembali menatap adik saya yang sudah kembali terduduk di samping makam Ibu. Saya mengangkatnya dan membuatnya berdiri. "Yu,"

Namun lagi-lagi ia keras kepala, dia menolak ajakan saya untuk pulang. Dia kembali tersungkur di atas makam Ibu sambil menangis namun tunggu dia kini tak sadarkan diri. Saya yang berada di dekatnya langsung menepuk-nepuk pipinya. "Jangan bercanda, bangun."kata saya.

Kini Papah sudah berada di samping kami, entah sejak kapan ia mendekat. "Bow, Bia pingsan."ujarnya sambil mencoba mengangkut Bia.

"Saya tau, minggir."kata saya mengambil alih Bia dan menggendong adik saya, harta satu-satunya yang kini saya punya.

-

Setelah pulang dari pemakaman dan menidurkan Bia di kamarnya saya kembali keluar kamar Bia dan melihat Keluarga Om Wisnu dan Papah masih berada di teras rumah.

Witan anak tunggal dari Om Wisnu menatap saya, "Bia gimana A?"

"Enggak apa-apa. Coba kamu cek deh."titah saya membuat sahabat Bia itu masuk ke rumah saya.

"Kondisi Abia drop lagi kayanya Feb,"sahut Tante Windy.

Saya hanya mengangguk.

"Bawa Bia ke rumah sakit aja."kini Papah yang bersuara.

Saya tersenyum sinis. "Enggak usah, lebih baik kini anda yang pergi! Saya tak mau adik saya melihat anda!"

Om Wisnu kini yang menatap saya sinis, "Feb dia Papahmu, dia Papahnya Abia. Dia juga berhak di sini."

"Hak? Setelah lalainya dia dengan kewajibannya. Sekarang setelah kami hidup tentram dan bahagia tanpa dia, dia kembali lagi dan buat Ibu pergi!"

"Yang terjadi pada Ibumu itu semua takdir."nampaknya Om Wisnu sekarang emosi.

Papah menahan Om Wisnu dan Tante Windy coba menenangkan suaminya itu.
"Enggak apa-apa Nu. Biar saya pergi. Kalau itu yang kamu mau, Papah bakalan pergi, Papah cuman minta jaga adik kamu."

"Tanpa anda perintahkan saya akan lakukan itu, karena itu adalah kewajiban saya sebagai satu-satunya keluarga yang ia punya."

"WITAN AYO PULANG,"teriak Om Wisnu, dan tak lama anaknya itu datang dari dalam rumah saya, sedangkan Papah sudah mengendari mobilnya meninggalkan perkarangan rumah saya.

"Ayah, Kok pulang sih? Bia belum sadar..."kata Witan sambil memakai sendalnya.

"Abia punya Kakak yang akan merawatnya, sudah ayo!"ajak Om Wisnu, nampaknya ia sangat marah pada saya, mungkin karena sikap saya terhadap sahabatnya itu, Papah.

Setelah drama yang terjadi di luar, kini saya meneguk air minum terlebih dahulu untuk menambah energi pada tubuh. Kepergian Ibu ini sangat mendadak, saya tak pernah siap untuk melalui semua ini. Namun ini sudah terjadi dan saya harus terus meneruskan hidup saya terlebih kini saya masih punya adik yang jadi tanggung jawab saya, kini tugas saya yang harus bisa membahagiakan dia.

Sebelum masuk ke kamar untuk mengganti pakaian saya yang sudah cukup kotor, saya menyempatkan diri menengok kamar adik saya, saya melihat ia sedang terduduk di tepi kasurnya sambil melihat sebuah foto di genggamannya, tangisnya tak pernah usai, air mata selalu menghiasi wajahnya semenjak ia tau bahwa satu-satunya orang tua yang ia tau harus pergi meninggalkan ia di dunia.

Saya dan adik saya memang tak begitu dekat, malah lebih sering bertengkar, tapi saya sangat sayang dengannya, dan ego saya juga tinggi hingga tak mau mengungkapkannya secara langsung. Terlebih ketika saya melihat sifat tengil yang menyebalkannya. Namun entah mengapa melihatnya seperti itu membuat saya hancur, kini hanya ia yang saya punya dan saya tak mau ia sedih, saya hanya ingin melihat jantung hati saya bahagia dan karena itu saya akan menjaganya.

➖➖➖
Semonster-monsternya A Bow tetep aja ada titik di mana ia lemah. #sayangABow
➖➖➖
Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk mampir dan membaca.

Terus ikuti kelanjutan ceritanya yang publis setiap hari Sabtu dan Minggu.

Jangan lupa Vote, Komen, Share✈️

Kritik dan saran sangat berarti.
INSTAGRAM : NBLAABIL13

Menjaga Jantung HatiWhere stories live. Discover now