1. Kehilangan

586 55 0
                                    

Pagi ini saya bersiap untuk hal yang besar di luar sana, meski di tengah pikiran yang bercabang saya harus pergi. Sebelum pergi tak lupa saya pamit dan memohon restu pada malaikat dunia dan surga saya. Ia terbaring lemah, ia tak sadarkan diri. Hancur memang melihatnya begini, namun semua ini sudah takdir yang tuhan beri. Ibupun tetap tersenyum dalam cobaannya ini. Wanita cinta pertama saya masih terbaring tanpa sadar, ia masih koma hari ini. "Ibu, Bow pergi sebentar buat tanda tangan kontrak sama Tim impian Bow, Tim kebanggaan kita dan masyarakat jawa barat. Ibu bangun ya, biar bisa lihat Bow di TV." tak terasa air mata saya jatuh.

Saya segera menghapusnya, saya menatap wajah pucat Ibu sambil tersenyum. "Ibu enggak sukakan lihat Bow nangis, Bow enggak nangis nih... Maafin Bow harus pergi dulu ninggalin Ibu bentar, Bia sakit enggak bisa nungguin Ibu. Nanti Ibu sadar ya, biar bisa marahin Bia karena telat makan terus."

Suara knop pintu ruang rawat ini terbuka, memperlihatkan dua pria paruh baya masuk kedalam ruang rawat. Saya menatap sinis ke arah salah satu pria paruh baya itu. Pria yang sudah memberi derita kepada saya, Ibu dan adik kecil saya baru menampakan batang hidungnya setelah belasan tahun ia menghilang dari kami.

"Om Wisnu kenapa bawa pria ini ke sini sih?"tanya saya kesal.

"Dia masih suami Ibumu, dia wajib menemani Ibumu karena itu tugasnya."jawab Om Wisnu, pria paruh baya berrambut cepak.

Saya mencoba mengepal tangan saya di bawah menahan emosi yang ingin memuncak. "Lalu selama enam belas tahun ke mana? Kenapa baru datang sekarang?!"

"Kamu yang suruh Papah pergikan?"kini Pria yang ku benci mengeluarkan suaranya pelan.

Nafas saya terus berpacu bersama debaran detak jantung. "Setiap orang yang memaksa kalah dengan keadaan adalah orang yang payah! Itu yang selalu anda katakan, namun anda tak menjalankan itu! Lucu!"

"Febri sudahlah, tak lihat Ibumu sedang terbaring lemas? Ibumu pasti sedih melihat kedua pria kesayangannya begini."

Saya hanya menatap pria yang sudah lama hilang dari samping saya itu, Pria berberewok itu duduk di samping ranjang Ibu.

"Om Febri harus pergi,"pamit saya pada Om Wisnu.

"Ke mana?"

"Tanda tangan kontrak,"jawab saya sambil mengambil tas waist bag hitam milik saya.

"Adikmu di mana?"

"Di rumah, dia sedikit kecapean. Tadi dia pingsan, Febri bawa dia pulang."

Om Wisnu mengerutkan keningnya, "Kamu yakin adikmu tak apa-apa?"

"Enggak."

Sayapun berlalu keluar dari ruang rawat Ibu, walau berat langkah saya meninggalkan Ibu bersama pria yang membuat hatinya terluka sejak lama, Pria yang membuat Ibu jadi tulang punggung keluarga. Namun bagaimana lagi saya harus tetap pergi dan sebagai gantinya mungkin pria itu yang kini harus menjaga Ibu.
-
Selesai dengan tanda tangan kontrak dan press conference yang di adakan Tim yang kini akan saya bela. Saya bergegas untuk kembali ke rumah, menengok keadaan adik kesayangan saya sebelum ke rumah sakit. Namun belum sempat saya menyalakan motor ada satu sambungan telepon masuk ke ponsel saya, di sana nama Om Wisnu yang tertera. Saya segera mengangkatnya.

"Feb di mana?" tanya Om Wisnu terdengar pelan.

"Di graha Om, kenapa?"

"Ke rumah sakit sekarang."

"Tapi Febri mau lihat keadaan Bia dulu di rumah."

"Ke rumah sakit sekarang! Soal Abia nanti Tante Windy yang cek."

Menjaga Jantung HatiWhere stories live. Discover now