"Ibu satu-satunya yang nggak kasih tugas liburan. Tapi bukan berarti kalian nggak pay attention. Lagipula Ibu sudah katakan tentang ulangan ini sebelum libur, kan?"

Hening tidak ada jawaban. Pasal pertama, guru selalu benar. Pasal kedua, cuma ada satu pasal. Jadi kalau sang guru bilang anu maka semua murid harus anu juga.

Termasuk Yeriana. Ia tidak mau menambah masalah dengan Bu Sukma. Hidupnya di sekolah sudah  terlalu memusingkan. Jangan sampai menambah rumit hanya karena masalah ulangan.

Yeriana membaca selembar kertas di hadapannya. Ada tiga soal uraian. Masing-masing beranak tiga. Soal yang ditanyakan tidak jauh berbeda dengan pelajaran terakhir sebelum liburan. Oke, mungkin ini tidak terlalu buruk.

Yeriana menuliskan nama, nomor absen, dan kelas. Tepat pada saat itu Bu Suk mulai berkeliling. Sepatu hak tingginya berderap di seluruh ruangan. Selain goresan tinta, tubuh Bu Suk-lah yang berdinamika di ruangan. Ia sama sekali tidak memberi celah untuk muridnya berbuat curang.

Sepuluh menit berkeliling, Bu Suk akhirnya duduk. Meski demikian, intaiannya tidak lepas. Seperti mercusuar, kepalanya terus menyoroti para siswa.

Sebelum masuk, Bu Suk sudah memberi intruksi tentang ulangan lewat KM. Katanya ada dua tipe soal. Antara satu anak dengan teman sebangkunya tidak akan sama. Sania sudah hapal dengan pola begini. Soal dibuat zigzag. Dengan teman sebangku memang tidak sama, tapi dengan teman di belakang arah lawan, pasti sama. Maka dibuatlah posisi yang mana Yeriana duduk di kiri dan sebelahan dengan Sharon, sementara Sania di belakang Yeriana.

Yeriana merasakan bangkunya ditendang-tendang dari belakang. Ia hapal apa arti sinyal ini. Minta jawaban, apa lagi? Ah, sial! Umpat Yeriana dalam hati. Tidak bisakah kehidupan sekolahnya normal sedikit?

Kekesalan Yeriana terealisasikan oleh jarinya yang mencengkeram pulpen era-erat. Ia memang kesal atas penindasan ini. Tapi ia lebih kesal karena tidak mampu berkutik apalagi melawan.

Lagi, bangkunya ditendang oleh satu dari Trio Lampir. Ia menggeser kertas jawaban. Menabah-nabahkan hati akan rasa muak yang semakin membumbung.

"Geser lebih dekat, Nyet," bisik Sania. Kali ini bukan saja tendangan bangku. Ada juga cubitan yang terasa di pinggang. Sharon pelakunya.

"Yang di sana!" sahutan Bu Suk membuat seluruh mata mengarah pada Yeriana.

Tatapan-tatapan itu ... Tuduhan-tuduhan itu ... Penilaian-penilaian itu ...

Bu Suk berdiri. Matanya memelotot. Darah Yeriana berdesir hebat. Dadanya sesak dipenuhi ketakutan. Kakinya gemetar. Ia mulai kesulitan bersikap, bahkan hanya untuk menelan ludah.

"Ada apa di sana?" tanya Bu Suk dengan suara keras.

"Yeriana minta contekan, Bu," kata Sania lantang.

"Betul, Bu."

Yeriana terpaku. Sharon, alias yang duduk di sebelahnya berkata demikian, lalu dikonfirmasi oleh beberapa siswa yang entah dijanjikan apa hingga bersaksi palsu. Bu Suk melangkah ke meja Yeriana. Amarah tampak membiaskan wajahnya yang mengkerut penuh emosi.

Bu Suk menautkan alis. Ia meraih kertas ulangan Yeriana kemudian menggulung dan memasukannya ke saku blazer tanpa konfirmasi. Bu Suk memang tidak meledak-ledak dalam perkataan, tapi sikapnya mampu menyihir suasana. Beberapa mata masih berani merekam kejadian, tapi sebagian tidak sanggup merasakan kemarahan Bu Suk.

Yeriana digelandang keluar kelas oleh Bu Suk. Wanita itu memerintahkan agar murid lain tetap menjalin suasana kondusif sementara dirinya memberi 'sesuatu' pada Yeriana.

Aku dan Sang Pemusnah MasalWhere stories live. Discover now