4 - How to Make Friends?

Start from the beginning
                                    

"Kalau kamu kuat bawa dua ini, dulu, lalu balik lagi ke sini untuk ngambil sisanya." Wira menunjuk keranjang selada dan apel. Ia kemudian menurunkan buah dan sayur itu dari bagasinya dan menutup pintu bagasinya rapat.

Evelyn mengernyit mendengar pernyataan Wira yang terdengar ganjil. "Kamu nggak bantuin saya bawa ini semua ke atas?"

"Saya udah bantu kamu bawa ini semua dari Bogor ke sini."

"Wait, what?" pekik Evelyn sampai menyipitkan matanya. Ini telinganya bermasalah tidak, sih? Atau yang bermasalah otak pria di depannya ini?

"Saya ...."

"Kalo kamu bercanda, ini bener-bener nggak lucu," potong Evelyn. Ia kemudian menyipit menatap Wira, berharap pria di depannya itu terintimidasi. "Bantuin saya atau ini saya tinggal di sini aja?"

"Kalo gitu, kasih saya kopi karena sekarang saya ngantuk banget."

Evelyn ganti mengerutkan dahinya, berusaha menimbang-nimbang dan mengingat apakah ia masih punya kopi di kabinet dapurnya? Harusnya, sih, masih ada, tapi Evelyn tidak bisa memastikan karena ia jarang menyeduh kopi. Biasanya hanya Mbak Titi dan beberapa orang yang mampir ke tempatnya yang melakukannya. Tapi, kalau ia bilang tidak ada, Wira pasti tidak akan mau membantunya membawa ini semua.

"Deal," jawab Evelyn tidak peduli. Ada atau tidak ada kopi dipikir belakangan saja. Membawa semua sayur dan buah ini ke atas lebih penting daripada memikirkan janji palsunya.

Wira berdecih, tapi akhirnya menurut juga. Mengangkat kayu-kayu di pabrik saja ia sudah khatam, apalagi beberapa kilo sayur dan buah. Yah, setidaknya itu yang ia pikirkan, walaupun nyatanya terakhir kali ia mengangkat kayu adalah setahun yang lalu dan saat ini otot lengannya seperti sedang menjerit protes karena tiba-tiba berkontraksi maksimal. Sepertinya Wira harus mulai rajin nge-gym.

Ketika sampai di lift, Wira meletakkan keranjang-keranjang itu, kemudian bersandar pada dinding lift.

"Kamu tinggal sendiri?" tanya Wira yang hanya disambut anggukan oleh Evelyn. "Mama kamu?" tanya Wira lagi.

"Di Singapura. Kalau nggak ada acara, dia nggak akan ke Jakarta. Kalaupun ke Jakarta, dia nggak akan mau tinggal di sini."

"Kenapa?"

Evelyn mengembuskan napas panjang. "Mungkin karena jadi ingat rumah lama, rumah waktu masih sama Papa. Saya bawa sebagian barang lama ke apartemen, walaupun sebagian lagi udah banyak yang di lelang."

Wira terdiam memperhatikan ekspresi muka Evelyn dari dinding lift, mamanya tidak mengatakan apa-apa tentang hal ini. Kalau Evelyn tidak bilang, Wira sepertinya tidak akan pernah tau fakta itu. Bahkan ia tidak tahu maksudnya 'masih sama Papa' itu artinya orang tuanya bercerai atau papanya meninggal dunia. Sepertinya ini akan menjadi pembicaraan off limit antara dirinya dan Evelyn.

Lift berdentang di angka delapan belas, kemudian terbuka. Evelyn membuka pintu apartemennya, mempersilakan Wira untuk masuk membawa keranjang-keranjang itu sebelum menutup pintu.

"Nice home," ucap Wira setelah meletakkan semua yang ia bawa di kitchen island. Ia kini menyandarkan pantatnya pada kitchen island sambil bersedekap, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tengah yang sepertinya memiliki fungsi ganda sebagai ruang tamu.

"Dan berantakan. By the way, apakah saya harus tersanjung dipuji oleh arsitek yang namanya udah dikenal banyak orang seperti kamu?" tanya Evelyn saat ikut meletakkan keranjang yang ia bawa di sisi kitchen island yang masih kosong.

Wira terkekeh. "Dikenal karena orang tau siapa Papa saya. Sama sekali bukan pencapaian yang patut dibanggakan, tapi saya nggak keberatan kalau kamu mau ngomong terima kasih."

How To End Our MarriageWhere stories live. Discover now