PART 18

141 12 2
                                    

Tok tok tok...

"Darla?"

Milly hanya diam, padahal ia sudah bangun pagi ini. Tapi pandangannya hanya menuju pada jendela besar kamarnya itu.

Ibunya masuk tanpa berkata apapun, membawakan segelas susu strawberry dan sandwich kesukaan anak gadisnya.

"Mami bawain sarapan, tadi kamu gak turun buat sarapan."

Milly masih diam, tidur dengan posisi tengkurap dan tidak menengok.

"Milly, kemarin Mami liat kamu berantem sama Dio."

Ibunya duduk ditepi kasur, memandang punggung putrinya.

"Mami nggak tau apa permasalahan kalian, tapi coba kalian omongin baik-baik disaat pikiran kalian sudah dingin. Netralin diri kamu, jangan gegabah dalam mengambil keputusan. Tetap menjadi Milly yang selalu baik sama semua orang ya. Tetap menjadi pribadi yang ramah. Serahin sama Tuhan, Mami yakin kamu akan dapat jalan keluarnya." Nasihat Ibunya yang kemudian keluar dari kamar Milly, meninggalkan Milly yang masih sama saja seperti tadi.

- - -

"Morning Dio,"

Dio menatap sekilas ibu tirinya dan kemudian mengambil sepotong rotii cokelat yang terletak di atas piring putih nan bersih itu.

"Dio, mulai sekarang kamu panggil tante Catalia dengan panggilan mama. Biasakanlah, karena sekarang dia-"

"Yang mau dipanggil mama aja bahkan nggak pantas dikategorikan sebagai seorang ibu."

Catalia yang sedang memegang gelas pun spontan menjatuhkan gelasnya hingga pecah serta beling yang berserakan ke lantai, terkejut dengan perkataan Dio.

"Dio!" Bayu meneriaki Dio yang tak dilirik sama sekali olehnya.

"Nggak apa-apa Mas, aku bersihin ini dul-Aw!" Saat bangkit, kaki Catalia tergores beling pecahan gelas tersebut membuat Dio berdesis sinis.

Tanpa mengatakan apapun, Dio meninggalkan ruang makan dengan Bayu yang terlihat membantu Catalia dan Catalia yang menatap kepergian Dio.

  Dio menatap piano besar di ruang tengah lantai 2 rumahnya yang ditutupi oleh kain putih, banyak cerita yang membekas di sana. Kenangannya semasa kecil, kenangan akan keluarganya yang begitu bahagia, sebelum hari itu tiba. Hari yang seketika merusak keharmonisan keluarganya, membuatnya harus kehilangan orang-orang terkasihnya untuk selamanya.

Mendiang ibunya lah yang mengajari Dio bermain piano itu, dan Dio pun bercita-cita ingin menjadi seorang pianis tadinya. Tapi semuanya kandas, bahkan saat ia duduk di hadapan piano tersebut pun rasa sakit mengarungi dirinya. Sakit, sesak, amarah, dan dendam yang menjalar pada hatinya membuat ia pun turut merutuki dirinya sendiri.

"Dan sekarang papa bawa orang itu masuk rumah? Kadang hidup suka selucu itu." Dio berdesis miris.

- - -

Senin pagi semua aktifitas kembali seperti biasa, tak terkecuali Milly yang harus bersekolah.

Sesampainya di sekolah, Milly terduduk di bangkunya dan menelungkupkan wajahnya. Sementara siswa lain berhamburan untuk mengikuti kegiatan upacara, ia memilih diam di kelasnya dengan alasan tidak enak badan.

"Kalau nggak enak badan ya jangan sekolah." Milly menengok dan mendapati Mira yang ikut duduk di sebelahnya, membawa kotak bekal berisikan nasi goreng buatannya.

"Nih sarapan, belum sarapan kan lo?"

Milly mengernyitkan dahinya, "Bukannya lo lagi marah sama gue?"

"Ya iya marah, siapa yang gak marah di bohongin? Tapi gue mana bisa marah, lagian gue juga gak ngerasa berhak untuk marah karena ya pasti lo juga punya alasan dan lakuin itu gak sembarangan setelah gue pikir-pikir."

Milly tersenyum lebar, Mira memang sahabat terbaik di dunia baginya.

"Miraaa," Milly memeluk Mira dengan sangat erat, membuat Mira kesulitan bernapas.

"Udah woi, lepasin ish engap tau!"

Milly melepaskan pelukannya dan Mira bisa melihat air mata di pelapuk mata Milly yang keluar secara perlahan.

"Lo tau nggak sih, betapa galaunya gue?" Ujarnya sambil menangis.

"Uuu lebay bangetsih, palingan galauin Dio kan? Iya 'kan?" Mira tertawa sambil mengusap-usap rambut halus Milly.

"Ya nggak gitu juga..." Milly mengambil kotak bekal itu dan memakannya.

"Btw ya, dunia emang sesempit itusih. Gue juga masih nggak percaya nyokapnya Arga yang nikah sama Om Bara. Padahal kan Arga itu-" Mira membungkam mulutnya, membuat Milly langsung menoleh dengan mimik wajah yang menunggu kalimat selanjutnya dari mulut Mira.

"Arga kenapa?"

Mira diam sesaat sambil memikirkan alasan untuk menjawab Milly, sambil merutuki dirinya yang hampir saja keceplosan tentang hal itu.

"Ya, si Arga kan dia itu ya dia suka berantem sama Dio."

Milly menaikkan sebelah alisnya seperti ada yang ganjil dari ucapan Mira, tapi kemudian ia kembali menyantap nasi goreng telur tersebut.

"Ya namanya juga takdir." Ujar Milly singkat.

"Tapi ya Mir, gue heran deh. Dari awal semenjak Arga pindah sekolah kesini sampe sekarang kayaknya Arga sama Dio tuh berantem mulu gitu. Padahal kalau diliat-liat mereka kek nggak berhubungan gitu gak sih?"

Mira menautkan kedua alisnya, "Maksudnya?"

"Misalnya ya, cowo berantem tuh biasanya ada yang direbutin gitu nggak sih? Atau mereka kek adu kuat gituloh. Siapa paling hebat, siapa paling pinter, siapa yang lebih menonjol. Ya gak sih? Tapi mereka kan ekskul aja beda, terus juga–eh apa karena cewe ya?"

Mira diam.

"Eh tapi kan Dio emangnya pernah kenal sama Arga? Lagian Dio kan nggak punya mantan, kalau di pikir-pikir juga temen cewe Dio gue kenal semua dan nggak ada sangkut pautnya sama Arga."

Mira masih diam beberapa saat, hingga dia berujar, "Kita kan nggak ada yang tau apa yang benar-benar terjadi. Dan nggak ada hal yang nggak mungkin, semua bisa aja terjadi."

- - -

Hope u like it guys.
Minal aidzin wal faidzin😇

AMWhere stories live. Discover now