PART 29

82 10 0
                                    

Milly membuka-buka album foto yang tadi sore ia pegang. Dilihatnya satu persatu foto yang menampilkan potret masa kecilnya.

"Mami, Papi, dan Millo pergi ke Jakarta untuk menyusul kamu. Sesampainya di sana, kami melihat kamu terbaring lemah di kasur rumah sakit dengan perban di kepala dan tangan kirimu. Kamu bangun paginya, nama yang pertama kamu sebut adalah Diandra. Kamu menangis, kamu meraung ingin menemuinya. Dengan kondisi seperti itu, tentu Mami dan Papi tidak mengizinkan pada awalnya, namun kami luluh juga. Kami mengantar kamu dengan kursi roda, menemui Diandra.

Tapi...."

Clara menggantungkan ucapannya, menarik napas sejenak, dan lanjut bercerita.

"Ketika pintu itu di buka, di depan mata kita semua, Diandra sudah ditutupi oleh kain putih. Tepat di hari ulang tahun kamu, Diandra dinyatakan meninggal."

Milly meneteskan air matanya, tanpa berbicara apa pun.

"Kamu melepas paksa infus ditanganmu, membuat darah mengalir, dan bangkit dengan susah payah menghampiri Diandra...

Kamu menangis sejadi-jadinya, kamu meminta maaf, dan menyalahkan dirimu sendiri karena berpikir bahwa Diandra meninggal akibat kamu telat datang..-"

Clara menangis, Millo mengusap bahu ibunya itu dan berkata,

"Biar Millo yang lanjutin Mi."

Millo pun melanjutkan cerita Clara.

"Sejak hari itu, lo kayak patung. Lo cuma diem, bengong, gak ngapa-ngapain. Lo kayak raga tanpa jiwa, dan itu terjadi selama dua hari. Sampai di hari ketiga, lo tiba-tiba bertingkah aneh, lo pukul-pukul diri lo sendiri, lo jedotin kepala lo ke tembok sampe akhirnya lo pingsan dan koma selama tiga hari."

Milly memperhatikan Millo dengan seksama.

"Dan di hari lo bangun, tiba-tiba semua ingatan lo tentang hari kecelakaan dan hari Diandra meninggal hilang gitu aja. Lo mengalami trauma berat, dan sebelumnya pun lo mengalami benturan yang cukup keras di kepala. Semenjak hari itu, kita semua sepakat mengubur ingatan tentang Diandra demi kesehatan diri lo. Karena kejadian inilah, ada kaitannya dengan larangan lo bawa mobil sendiri."

"Kita balik ke Bandung setelah lo membaik, tapi pekerjaan Papi mengharuskan kita pindah lagi ke Jakarta, dan kehidupan di sini dimulai lagi ketika lo masuk SMA."

Milly menutup album foto itu dan menangis kembali.

"Maafin aku Kak..." ujarnya sambil memeluk album itu.

- - -

"Milly gak tau Diandra?" Tanya Arga kaget pada Mario yang baru saja bercerita.

"Aneh kan? Padahal Dio sama Milly itu temen deket banget dari kecil."

Arga yang mengetuk-ngetuk kecil meja belajarnya, sambil memikirkan sesuatu.

"Tapi, Millo aja masih inget."

"Millo?"

"Adiknya Milly."

"Lo kok bisa kenal?"

"Pertama kali gue ketemu itu di pemakamannya Diandra. Dia nemenin gue, di hari sebelum operasi dan setelahnya dia beberapa kali jengukin gue."

"Kok gue gak pernah liat?"

Arga mengangkat bahunya, tanda ia tak tahu.

"Tapi emang aneh sih, Millo kadang dateng malem, di luar jam besuk."

Hening.

"Apa jangan-jangan, cewek yang gue liat waktu itu Milly?" Arga mengalihkan pandangannya dari meja dan menatap Mario.

Arga yang duduk di kursi roda mendadak lemas, melihat sebuah pemandangan beberapa orang yang penuh isak tangis di depan ruang icu.

"Ini pasti salah aku, ini pasti karena aku telat dateng. Seandainya aja aku gak telat, kakak pasti masih hidup. Iyakan? Jawab Mami, jawab!" Seorang gadis memegang lengan seorang wanita yang sudah dipastikan itu ibunya, sambil mengayun-ayunkan lengan tersebut.

Semuanya terdiam, yang terdengar hanya isak tangis.

"Ini belum berakhir. Kak, kakak gak.lupa kan hari ini hari apa? Kak, ayo bangun. Ayo bangun!" Gadis itu mengguncang tubuh pucat yang terbaring di atas kasur.

Dio mendekati gadis itu.

"Ini pasti aku mimpi kan? Iyakan? Dio?"

Dio menggeleng.

Gadis itu menangis sambil meraung dan mengacak-acak rambutnya, frustasi.

Ibu dan Ayahnya menarik gadis itu kedekapan mereka, berusaha menenangkannya.

Dio kembali menghampiri ibunya yang sedari tadi menangis tanpa suara dengan tatapan kosong melihat putrinya yang sudah tak bernyawa.

Arga tak tahan melihatnya, Arga memutuskan untuk kembali ke kamarnya, menangis di sana dan seperti gadis tadi, ia menyalahkan dirinya atas kematian Diandra.

- - -

Dua hari kemudian, Milly memencet bell di rumah mewah ini berkali-kali, berharap sang pemilik membukakan pintunya. Namun, itu semua percuma, tak terlihat tanda apa pun bahwa di rumah besar ini ada seseorang.

"The number you're calling is not available."

Sudah puluhan kali Milly mencoba menelpon Arga, tetapi tak kunjung di angkat juga. Akhirnya Milly meninggalkan rumah itu dan pergi ke rumah sebelah.

"Milly?" Ucap Mario setelah membuka pintu.

"Arga di mana?"

"Arga?"

Milly mengangguk.

"Arga udah pergi Mil, tadi malam."

"Kemana?"

"Singapur."

Deg!

Milly mundur dua langkah karena terkejut.

"Kondisi Arga belakangan ini memburuk, jantung yang dia terima dari Diandra mengalami sedikit masalah."

"Jantung?"

Mario mengangguk.

"Maksud lo, Arga nerima cangkok jantung dari Diandra?"

Lagi-lagi Mario mengangguk.

Milly menggeleng karena ia tak mengerti,

mengapa semuanya tampak begitu rumit?

Jadi apakah ini alasan Dio membenci Arga?

Tapi bagaimana bisa Arga mendapatkan jantung Diandra?

Apakah kecelakaan yang Diandra alami juga berkaitan dengan Arga?

Sebenarnya ada apa dengan Arga?

- - -

AMTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon