PART 2 - Maybe Someday

Start from the beginning
                                    

"Yah, kan lucu aja. Pertemuan kita kayak di film-film atau di novel-novel gitu Kak. Nggak diduga. Eh, kalau dia jodoh aku gimana ya?"

Menjitak kepalanya, Ega berkata dengan kesal, "Nggak usah GR duluan, mendahului takdir itu namanya."

Ines mengerucutkan bibirnya, tapi tak menghilangkan rasa bahagia di wajahnya.

"Yah, kalau kamu seyakin dan seseneng itu. Hubungin aja dia."

Sekarang, rona bahagia di wajah Ines memudar, berganti dengan ekspresi murung yang diiringi dengan helaan napasnya yang berat.

"Kemarin waktu Kakak nelpon, aku buru-buru pergi sampe nggak kepikiran buat minta nomernya. Kita belum sempet tukeran nomor HP Kak, " ucapnya dengan lemah.

"ASTAGFIRULLAHALADZIM. BERTAUBAT AKU YA TUHAN SAAT INI JUGA," Geram Ega.

Ia menatap adik kesayangannya dengan tatapan tak menyangka kemudian menggerutu kesal sendirian. Bodoh sih memang.

"Ini tuh ibarat kamu mau nikah tapi kamu nggak tahu suaminya siapa Nes, nes. Astagfirullah. Dipikir Bandung itu sekomplek rumah kita doang apa ya?"


****


Ghandi menyerahkan safety con yang dibawanya untuk di scan oleh kasir.

"Kami tidak menyediakan plastik untuk membungkusnya Mas, untuk dus juga tidak ada. Kebetulan safety con ini dari gudangnya memang begini," kata kasir di depannya.

Ghandi mengangguk. Ia tersenyum dan berkata, "Minta dipakein tali aja ya mbak. Soalnya saya bawa motor nih, agak susah juga kalau nggak diiket tali"

"Baik mas. Kebetulan kami juga tidak mencetak nota Mas, jadi untuk nota akan kami kirimkan ke email mas sendiri. Boleh kami minta emailnya?"

"Hmm oke, mbak," sahutnya.

Belanjaannya selesai. Ghandi membawa safety con miliknya dan masuk ke pelataran super market untuk membeli barang titipan kakak iparnya yang sedang hamil tapi bersikeras untuk tetap tampil cantik—tapi juga tidak mau pergi kemana-mana sehingga malah menitipkan belanjaannya pada Ghandi. Apa pula ini mereknya aneh-aneh saja, Ghandi sampai bingung membacanya seperti apa.

Memang satu-satunya kosmetik yang Ghandi hapal hanyalah kosmetik yang digunakan oleh ibunya. Mereknya Ines.

Ines.

Inesia Larasati.

Oh Ya Tuhan! Ghandi jadi ingat dengan gadis yang kemarin mengobrol dengannya di kondangan. Kenapa juga dia tidak meminta nomornya sih? repot kan dia sekarang.

Omong-omong, untuk obrolan singkat seperti kemarin... Ines menyenangkan juga. Ghandi senang bisa mengobrol dengannya. Yah, mereka nyambung juga. Sayang sungguh sayang kenapa Ghandi lelet sekali sih?!

"Bisa ketemu lagi nggak ya?" keluh Ghandi.


****


"Yaaang."

"Iya sayaang, aku di sini lagi baca koran."

Percakapan itu adalah milik kedua orangtuanya. Lihatlah, meski sudah tidak muda lagi, mereka tetap saja mesra. Saling memanggil pasangannya dengan sebutan sayang. Oh Tuhan, iri kepada orangtua sendiri itu dosa tidak sih?

Pernikahan ImpianWhere stories live. Discover now