3 - How to Control My Mom?

Mulai dari awal
                                    

Wira pikir, kenapa harus menunggu untuk menikah untuk menjadi orang yang bertanggung jawab dan lebih baik? Sekarang juga bisa. Memangnya bisa sikap seseorang berubah langsung setelah ijab kabul? Tidak mungkin. Itu ijab kabul, bukan ketok magic. Apalagi yang dibentuk adalah karakter dan personality manusia yang seharusnya terbentuk dalam hitungan tahun, bukan menit.

Ugh, ini semua semakin membuatnya pusing.

"Den, kata Ibu, Den Wira nyari saya?" panggilan Mang Eman membuyarkan lamunan Wira. "Aduuuuh, nembe sore, tong ngalamun*."

(*Masih sore, udah ngelamun)

Wira mendengkus, mau tak mau bangun dari posisi tidurnya.

"Saya cuma lagi mikir, nggak ngelamun. Bantuin saya masukin ini semua ke mobil aja, Mang."

"Siap. Mamang mah apa aja siap."

Dengan berat hati, Wira memindahkan keranjang-keranjang itu ke dalam mobilnya. Mungkin nanti akan ia bagi-bagikan ke orang pabrik saja.

***

Sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta, Wira benar-benar dibuat merinding oleh mamanya sendiri. Kata-katanya sebelum Wira berangkat terputar di benaknya seperti kaset rusak.

"Harus sampai ke orangnya. Awas kalau sampai kamu anter ke Trapesium atau kamu bagi-bagikan ke orang pabrik."

Oh, ya ampun. Apa mamanya punya bakat untuk jadi cenayang? Wira baru menyadari hal ini. Kalau sampai iya, Wira tidak kaget kalau papanya tidak pernah sekalipun selingkuh. Tetapi sebelum ini Wira sudah sering berbohong, apakah mamanya mengetahuinya? Oh, tidak tidak, ini terlalu mengerikan untuk dibayangkan.

Setengah jam lalu, Wira menyerah dan akhirnya memutuskan untuk mengirimkan pesan pada Evelyn. Namun, hingga sekarang, ia masih belum mendapatkan jawaban. Oh, kalau sampai sayur dan buah ini membusuk di mobilnya, Wira akan menyalahkan mamanya atas ini semua.

Atau mungkin dirinya yang membusuk lebih dulu di mobil karena kemacetan yang sekarang ia hadapi.

Untuk ke-187 kalinya Wira mendesah. Namun, ketika hendak mengganti lagu yang sedang diputar, tiba-tiba nama Evelyn terlihat di layar monitor mobilnya. Wira langsung menggulir tombol answer dan memasang earphone Bluetooth di telinganya.

"Sayur apa maksudnya?" Evelyn terdengar setengah berbisik. Di belakangnya terdengar suara riuh.

"Mama nitip sayur buat kamu, sayur hasil kebun dia."

Evelyn yang tak kunjung merespon membuat Wira mulai sedikit panik. Tidak, dia tidak akan merepotkan dirinya sendiri. Semoga Evelyn tidak menyebut kata 'bandara'. Ia tidak akan melakukannya.

"Ev, saya harap kamu nggak nyuruh saya untuk nyelundupin ini semua ke Singapura. Ini lebih dari sepuluh kilo dan nggak gampang ngirimnya."

"Sepuluh? Buat apa? Saya belum pernah kepikiran untuk jualan sayur sekarang," pekik Evelyn tertahan.

"Buat program diet kamu."

"Dari mana Mama kamu tau kalau saya lagi diet?"

"Yaaah ... saya yang cerita."

Ucapannya barusan membuat Wira menyadari satu hal. Oh, tentu saja Wira saat ini terlihat salah. Ini semua memang salahnya sendiri. Tidak seharusnya Wira mengatakan segala sesuatu tentang Evelyn kepada mamanya. Namun, mengucapkan kata-kata pembelaan sekarang juga sudah sia-sia karena tidak bisa mengubah apa pun. Sayur dan buah itu sudah berada di mobilnya, tak bisa lagi ditancapkan di pohon.

"Habis, Mama saya tanya kamu suka makan apa, ya, saya bilang nggak tau karena kamu cuma makan salad."

"Saya sudah bilang kalau kita nggak bisa ketemu di sini ...."

"Kecuali tempat yang privat," sambung Wira cepat, memotong perkataan Evelyn, membuat Evelyn terdiam sejenak.

"Tapi, sekarang saya sedang syuting dan ini sama sekali bukan tempat privat."

"Jam berapa kamu pulang?"

"Dini hari?"

"Apa?! Emang sampai semalam itu? Oh wait, itu bahkan bukan lagi malam."

"Ya memang biasanya jam segitu. Kamu bawa dulu aja, besok ...."

"Nggak bisa, besok saya ada morning meeting. Hari ini aja, saya tunggu kamu. Kamu putusin tempatnya di mana, kirim lokasinya. Seladanya keburu layu," potong Wira lagi. Ia tidak ingin memikirkan sayur lagi saat ia bekerja besok.

Evelyn berdecak, berusaha memikirkan tempat yang tak banyak orang tahu atau tidak bisa sembarang orang masuk. Ia hanya bisa memikirkan satu tempat pada akhirnya. Tak ada yang lain lagi.

"Apartemen saya. I'll wait there. Setelah saya selesai, saya akan langsung pulang. Apa kamu oke?"

"Oke, kabarin aja. Lagian saya masih kejebak macet."

"Apa? Kamu di mana?"

"Bogor."

"What?"

"I think it's an obvious reason, kenapa saya tiba-tiba ngirimin kamu sayur."

"Right," jawab Evelyn.

"Right, see ya around. Kalo saya ketiduran, tolong telepon."

***

How To End Our MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang