3 - How to Control My Mom?

Mulai dari awal
                                    

"Mama cuma nyuruh kenalan, ya, aku sama Evelyn masih mengenal," lanjut Wira.

"Iya, iya, Mama denger. Kamu udah ulangin itu berkali-kali. Mama belum pikun."

"Terus?" tanya Wira menuntut penjelasan. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa mamanya malah jadi ngotot menitipkan ini untuk Evelyn.

"Ya, nggak ada terusannya. Kamu bilang sendiri Evelyn makan salad karena lagi diet. Mama mau support aja, sayuran Mama kan lebih segar dan organik," ucap Bu Liana sambil merapikan isi keranjang. "Lagian, kan, kamu pulang juga ke arah sana, nganter ini sambil kenalan lebih jauh juga nggak ada salahnya."

"Ya, Mama kasih sendiri aja deh, pake mobil kebun. Nanti Mama sekalian kenalan," jawab Wira lelah.

"Eh? Berani, ya, sama Mama?"

"Ma, Evelyn pasti sibuk. Mama lupa kalau dia artis?"

"Artis juga manusia, sama-sama butuh makan, Wir."

"Kenapa Mama ngebet banget biar aku sama dia, sih? Mama pengen banget punya mantu artis? Mau numpang tenar?"

"Astaga, makin lama makin berani, ya? Minta dicabein mulutnya. Mama cuma ngebet kamu nikah! Kakak kamu nikah umur 28, kamu udah 29 belum ada tanda-tanda bawa perempuan ke rumah."

Astaga, pembicaraan ini akan terus terulang setiap kali Wira dijodohkan. Wira memutar bola matanya lelah, kemudian mengatupkan mulut kuat-kuat agar tidak melontarkan jawaban yang sama sekali lagi. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa orang-orang tua selalu menjadikan pernikahan sebagai tolak ukur. Apalagi dengan dijodoh-jodohkan. Padahal menikah juga belum tentu akan bahagia. Sebenarnya siapa sih yang membuat standar kolot itu? Orang itu wajib dihukum gantung, kemudian dipotong, dan diumpankan ke hiu-hiu yang sedang ingin kawin karena telah membuat jomlo-jomlo sengsara selama beratus-ratus tahun.

"Udah, bawa ke mobil. Minta bantuan Mang Eman. Mama capek."

"Wira bawa ke Trapesium aja, ya?" tanya Wira, berusaha memikirkan jalan lain selain membawa buah-buahan itu ke bandara. Mungkin Trapesium, kedai sehat milik kakak iparnya akan jadi tempat yang tepat untuk semua barang-barang ini.

"Eh, awas kalau kamu bawa ke Trapesium, Mama potong-potong kamu." Bu Liana mengacungkan telunjuknya, memperingatkan Wira untuk tidak bertingkah macam-macam. "Mama mau istirahat dulu."

Bu Liana melangkah pergi meninggalkan Wira yang masih duduk sendiri di saung. Wira kemudian hanya mendesah, merebahkan punggungnya sambil menatap langit-langit saung yang sebenarnya tidak ada apa-apa selain sarang laba-laba.

Evelyn. Evelyn. Evelyn.

Wira tidak habis pikir bagaimana bisa mamanya menjodohkannya dengan Evelyn. Seorang artis, demi ulat sayur. Setelah mahasiswa yang baru lulus, guru, sesama pengusaha, pegawai kantoran, perawat, dokter, lalu tiba-tiba artis? Tidak, bukannya Wira mendiskreditkan profesi orang lain, tapi mamanya sepertinya bukan orang yang peduli pada dunia showbiz. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba mamanya meneror hampir setiap hari untuk memintanya berkenalan dengan Evelyn. Kemudian meneror lagi setiap jam setelah ia bertemu dengan Evelyn, meminta di-update sedetail mungkin tentang pertemuan pertamanya.

Maksudnya begini, berani-beraninya mamanya menjodohkannya dengan artis, padahal banyak sekali artis pria tentu lebih kaya raya dan rupawan dibanding Wira? Ya, kan? Ini tidak masuk akal.

Lagi pula, dirinya juga belum siap untuk bisa berkomitmen. Bukannya ia pria yang suka main perempuan, hanya saja Wira masih belum ingin terikat norma sosial. Selama ini mungkin cuma wanita yang menggembar-gemborkan stigma harus berkelakuan baik setelah menikah, tapi kalau dipikir-pikir sebenarnya pria juga menerima cap yang sama. Yah, walaupun tidak sebanyak wanita. Harus jadi lebih bertanggung jawab, lebih baik, lebih dewasa, everything you do is to be devoted to your family.

How To End Our MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang