19 | r. i. p. sabrina

Start from the beginning
                                    

"Lo bangun jam tiga demi ngerapiin file buat dicek Zane? Bego!" Timothy memulai obrolan.

"Paling juga dia baca-baca sekilas doang, terus oke-oke aja!" Karen ngakak.

Sabrina tahu sebenarnya pengecekan itu cuma formalitas. Apa gunanya Zane punya Mbak Iis dan Gusti kalau masih dia juga yang harus mengecek detail kerjaan para stafnya? Daripada wasting time mengurus hal-hal yang nggak penting-penting amat, mending dia fokus sepik-sepik para sosialita yang berprospek tinggi untuk dijadikan klien. Tapi meski begitu, tetap saja dia tidak bisa membiarkan bosnya yang menyebalkan itu sakit mata melihat layout filenya yang berantakan. Kalau Zane kesal pada dirinya karena hal lain, nggak masalah. Tapi jangan sampai orang itu meremehkan kinerjanya! Sabrina nggak bisa terima kalau sampai hal itu terjadi.

"Taik, lah! Masa dia baru bilang jam tiga pagi, nggak dari kemarin-kemarin! Gue sumpahin nggak laku tu orang!" Sabrina nyaris menangis saking kesal.

"Ya elo sih, udah tau Zane emang rese, malah ditanggepin. Kasih aja file lo apa adanya. Toh kemarin-kemarin lo juga nggak leha-leha pas jam kerja. Kalo emang belum kelar layouting, ya udah sih. Ngikutin schedule yang udah lo bikin aja. Emang belum deadline, kan? Toh acaranya juga masih lama. Mana lagi ada wabah gini, nggak tahu bakal diundur lagi apa enggak."

Sabrina menyeka ingus dengan tissue, kemudian menyuapkan sesendok bubur ayam ke mulut dengan wajah masam.

"Dan bagusnya lo sampe nggak mandi, nggak bedakan, nggak lipstikan. Bener-bener karyawan teladan." Timothy sarkas.

"Totalitas tanpa batas!" Karen mengimbuhi sambil sibuk mengunyah.

Sabrina berdecak. "Kalau kayak gini terus, kayaknya gue mau resign aja, deh! Capek gue tuh dikerjain mulu."

"Lah?" Karen menoleh ke Timothy. "Cemen!"

"Melempem kayak kerupuk!"

"Masa gini doang lo nggak kuat mental? Ya kali!"

"Bukan gue nggak kuat." Sabrina membela diri. "Gue mau kasih pelajaran ke Zane. Biar tau rasa, gimana kalo nggak ada gue!"

"Well ... emang mau ngelamar ke mana sih, Neng? Ijazah aja belum keluar!"

Sabrina mesem. Bukan masalah besar kalau cuma ijazah doang, sih. Inilah untungnya gampang bergaul dan punya banyak koneksi. "Ada sih yang nawarin. Abang yang semalem ngajak gue ngobrol di kawinan. Tau kan, Ren?"

"Kerja paan, tuh?" Karen mencopot kacamatanya, yang tentu saja bukan kacamata minus.

"Semacem studio foto gitu. Biasa, admin. Pegang duit-duit doang. Gampang, lah. Skala bisnisnya juga sama aja kayak di sini. Belum gede."

"Gajinya?"

Nah, kalau satu ini Sabrina akui, Zane memang nggak ada duanya sejauh ini. "Gaji mah sama aja. Tapi di sini bonusnya gede. Apalagi kalau abis ngerjain project gede."

"Udah, lo pikirin cara lain aja balas dendamnya. Gengsi nomor dua. Cicilan rumah nomor satu."

Iya, sih. Rakyat jelata kayak dia bisa jadi gelandangan kalau menomorsatukan gengsi. "Misal?" tanyanya.

"Lo ajakin ribut aja terus."

"Itu mah gue yang darah tinggi jadinya, bukan dia." Sabrina menguap. Sial, semalam dia cuma tidur tiga jam. "Gue ludahin beneran kopinya, tau rasa tu orang!"

"Eww." Timothy meringis, jijik.

"Dia paling nggak sukanya apa, sih?" Karen mencoba mengarahkan forum biar nggak ambyar.

Timothy nyengir kuda. "Kalo Sabrina pakek baju seksi! Pake rok span disuruh ganti, pakek kemeja chiffon disuruh tutupin jaket!"

"Apa perlu gue jadi jablay di kantor, biar dia nggak betah ada di kantornya sendiri?" Sabrina tiba-tiba mendapat ide.

"Emang bisa?"

Sabrina menyentakkan rambut ke salah satu sisi dengan gaya sok seksi. "Keluarin seperangkat alat make up kalian. Nggak mandi, boleh. Cantik dan wangi, tetep hukumnya wajib!"

Timothy terkekeh, menyodorkan pouch kecil yang memang selalu dia bawa-bawa. Isinya nggak lengkap-lengkap amat karena hanya untuk keperluan touch up. Tapi cukup lah untuk sedikit memberikan warna di wajah. Biar nggak kelihatan kalau nggak mandi.

Sabrina sudah nggak nafsu makan lagi. Disingkirkan kotak buburnya ke tengah meja, kemudian dengan sigap dia mulai memoles mukanya dengan make up seadanya yang Timothy bawa. Tidak lupa dia oleskan lipstik bold, biar nggak setengah-setengah jablaynya. Lalu dia membuka kancing atas kemejanya.

"Gilaaak, kayak jablay beneran lo!" Karen memekik, surprised.

"Ini kalo gue copot satu lagi kayak orang sarap nggak?" Sabrina menunjuk kancing ketiga teratas kemejanya.

"Enggak, sih. Itu lo pakai camisole, kan?" Timothy berpendapat.

"Iya, tapi kalo ini dibuka, rada flashing my adorable boobs gitu deh. Nanti gue kena pasal pornografi."

"Hahaha, lebay anjir. Buka aja coba. Paling yang menggelepar nanti bukan cuma Zane. Tapi si Gusti juga!"

Sabrina ngakak jahat.

"Bentar, strap gue kurang ketat, nih. Tarik dikit biar makin wow."

Timothy membantu Sabrina mengatur strap branya, kemudian melotot ngeri melihat penampakan di depannya. "Gils. Udah ngalahin seksinya model iklan obat pembesar payudara!"


~


Sabrina mengetuk pintu Zane tiga kali dan segera membukanya begitu mendapat persetujuan.

Gotcha!

Sabrina melihat ada kilatan pada sepasang mata itu ketika memandangnya. Cuma sepersekian detik. Sebelum Zane kembali memandang layar PCnya.

Ck, awas lo ya Zane! Sekarang doang lo masih bisa sok cool!

Sabrina segera menutup pintu dan berjalan mendekat.

"Masih ada revisi?" tanyanya dengan nada senatural mungkin, menarik salah satu kursi mendekat. Sedekat mungkin dengan kursi Zane. Biar nggak bisa napas tu orang! Oksigennya dia sedot semua!

Sabrina menyentakkan rambutnya ke satu sisi. Kemudian fokus mendengarkan penjelasan Zane.

"Paham nggak sih lo, diem aja dari tadi?" Zane melotot, kemudian menoleh. Sabrina mesem. Menopang dagunya dengan satu tangan di atas lengan kursi. Demi apa, muka mereka deket banget! Kayak di film-film romantis. Untung Sabrina jago menahan tawa karena saat SMA dulu pernah ikut ekskul teater.

Sabrina bisa melihat pantulan wajahnya sendiri di mata Zane. The most beautiful human being. Hahaha. Mana ada cowok yang nggak baper kalau dia ada sedekat, secantik, dan sememikat ini?

Rasain lo Zane! Seberapa kuat lo didempet cewek seksi!

Sabrina berhitung dalam hati. Ingin menilai seberapa kuat pesona dirinya.

Kemudian dia melihat jakun itu bergerak. Zane menelan ludah.

Waitsegini doang pertahanan lo, Zane? Lemah.

Tapi sebelum Sabrina puas merayakan kemenangannya, satu tangan menangkup wajahnya dan mendorongnya menjauh. "Jauhin muka lo dari gue! Ganjen banget, nempel-nempel!"

Earth to Sabrina!



... to be continued

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now