29 | zane pilih kasih

Comincia dall'inizio
                                    

Tidak panas, sih. Tapi kenapa dia berkeringat?

Sabrina mengerjabkan mata perlahan. "Hmm?"

"Lo sakit?" Zane mengulangi pertanyaannya.

Sabrina menggeleng, kemudian balik badan. "Kok lo bisa masuk?" tanyanya dengan suara lirih.

Zane melengos. Gimana nggak bisa masuk?Orang nggak dikunci!

"Kok lo semena-mena masuk kamar cewek tanpa izin? Kalo semisal gue tidurnya gak pake baju gimana? Mesum lo, ya?"

Hadeeeh, kumat.

Zane mencoba bersabar, meski jelas, mau tidak mau dia harus mengalihkan pandangannya demi menetralkan ekspresi wajah yang dibuat kaget oleh pertanyaan barusan.

"Oke. Berarti kesimpulannya lo nggak sakit, ya. Ayo makan. Gue nggak suka ada orang tinggal di tempat gue tapi sok-sokan nggak mau makan."

Sabrina menggeleng lagi. "Duluan, deh."

"Ck."

"Perut gue nggak enak."

"Masuk angin?"

Sabrina menggeleng.

"Nyeri haid?"

Sabrina mengangguk. "Kok tau?"

Siapa yang nggak tahu hal begituan hari gini? Cowok yang nggak pernah pacaran juga tahu!

"Seberapa sakitnya?" tanya Zane lagi.

"Nggak sampe bikin nangis atau pingsan, sih."

"Mau dikompres botol diisi air hangat?"

Sabrina menggeleng.

"Lo obatin pakai apa biasanya?"

Kali ini Sabrina menyibakkan rambutnya sendiri yang menghalangi pandangannya.

Sepasang mata itu memandang Zane sendu.

Dih, cewek di mana-mana emang sama aja. Paling bisa bikin orang terenyuh hanya dengan pasang tampang memelas.

Dan Zane paling nggak tahan melihatnya.

"Ke dokter, yuk. Atau minimal ke apotik, beli apa gitu." Zane coba menawarkan solusi.

"Bentar lagi juga ilang sakitnya. Biasanya emang ilang-ilangan gitu."

"Gue bikinin kunyit asem, mau?"

Tiba-tiba saja Zane ingat kalau Mamanya suka minum itu. Cewek-cewek di kantor juga suka menyimpannya di kulkas.

"Emang bisa, bikinnya?" Sabrina menatapnya dengan ragu.

"Bisa, lah." Kalau nonton tutorialnya di YouTube.

Sabrina lalu mengangguk. "Minta tolong kasih Milo makan sekalian, deh. Kalo nggak bisa, minta Jun aja. Gue lemes banget."

"Makanya makan."

"Iya, nanti, Bang. Perut gue lagi nggak enak."

Zane akhirnya mengiyakan saja, dan segera beranjak ke dapur. Dia ingat betul saat belanja minggu kemarin, Sabrina membeli rempah-rempah lengkap. Dan setidaknya Zane bisa membedakan kunyit dan jahe dengan rempah-rempah lain, yang tentu saja selebihnya dia tidak tahu namanya.

"Nyari apaan, Bos?" tanya Juned yang turun dari kamarnya membawa laptop.

"Bukan urusan lo." Zane sewot, masih kesal karena si Juned ternyata moody juga dalam urusan peduli pada teman. Masa temen sakit dibiarin aja?! "Kasih makan Milo, sana!"

Jun mencibir. "Nggak disuruh juga udah gue kasih makan, keleus. Gue mah nerima Sabrina sepaket sama Milo."

Zane tidak mempedulikannya.

Juned duduk di sofa ruang tamu dan mulai menyalakan laptop.

"Lo mau bikinin jamu buat calon nyonya?" Jun masih sempat-sempatnya berseru dan mengganggu konsentrasi Zane mengupas kunyit. "Gulanya jangan banyak-banyak. Doi udah manis."

Ketika Zane kembali ke kamar Sabrina, sang pemilik kamar sedang duduk meringkuk di karpet, memeluk lutut dengan kedua lengan. Segera Zane letakkan gelas kunyit asemnya di nakas, lalu menghampirinya.

"Kenapa lagi?" tanyanya, makin panik.

Sekarang Sabrina malah kelihatan seperti ibu-ibu mau melahirkan. Mukanya pucat. Keringat mengucur dari kedua pelipisnya. Dan rambut panjangnya awut-awutan karena belum disisir sejak bangun tidur.

"Ssh." Sabrina menyuruhnya untuk tidak berisik.

Zane tidak mengerti, apa korelasi rasa sakit dengan berisik?

"Sakit banget, Sab?" tanyanya lagi, dengan suara selirih mungkin.

"Ssh. Tunggu bentar. Bentar lagi juga ilang."

Zane refleks merengkuhnya, mengurut pelan punggungnya.

Sial. Kenapa cewek kalau lagi sakit bisa kelihatan semenyedihkan ini?

"Enakan?" tanyanya.

Sabrina mengangguk.

Selanjutnya yang Sabrina ingat, Zane membantunya kembali ke kasur dan memijat punggungnya sampai dia kembali terlelap.



... to be continued


Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora