2.5 - EDWARD

108 5 0
                                    

"Ini kesempatan langka, kau tahu tidak banyak orang yang harus bersusah payah dulu agar bisa masuk agensi terkenal? Sedangkan kau, dapat tawaran secara instan malah ditolak."

Rupanya Winona masih membahas tentang tawaran menjadi model yang kuterima.

"Kau yakin seratus persen tidak mau coba?"

Aku mengangkat bahu. "Memangnya menurutmu aku punya bakat jadi model?"

"Kenapa tidak? Kau tinggi, wajahmu juga mendukung."

"Ini bukan hanya tentang penampilan. Jadi model berarti kau harus pintar berpose di depan kamera, mahir jalan mondar-mandir di catwalk."

"Itu kan bisa belajar, agensi pasti akan mengajarimu."

"Yah, akan kupikirkan lagi."

"Kan keren kalau aku punya kakak seorang model.." Winona membayangkan sambil senyum-senyum.

"Iya, terus kau cemburu karena aku punya banyak fans."

Senyum di wajah Winona lenyap dan dia jadi cemberut. Aku hanya tertawa. Tanpa disadari, kami sudah sampai di depan sekolah Winona.

"Belajar sungguh-sungguh, jangan pacaran terus." Ujarku.

"Siapa yang pacaran?"

"Kau."

"Dengan siapa?" Winona mengernyit.

"Hiro."

Belum sempat Winona membalas perkataanku, Hiro kebetulan lewat di sebelah kami. Dia berhenti ketika mendengar namanya disebut. Winona jadi salah tingkah. Aku pun tergelak.

"Ya sudah ah, aku ke kelas dulu! Hiro, ayo masuk." Winona dan Hiro lalu berpamitan dan meninggalkanku. Aku masih tidak bisa berhenti tertawa dan Winona menyempatkan menoleh ke arahku yang masih tertawa sambil menjulurkan lidah. Menggemaskan.

Siangnya di toko bibi saat aku sedang mengangkut beberapa barang ke truk, tiba-tiba segerombolan orang yang tampak seperti preman datang. Bibi dan suaminya menghampiri mereka dan detik berikutnya mereka terlibat adu mulut. Aku tidak tahu apa masalahnya namun salah satu dari preman itu mendorong suami bibi hingga terhuyung ke belakang. Aku pun berlari menghampiri mereka.

"Paman!" Teriakku. "Paman tidak apa-apa?"

Suami bibi mengangguk.

"Jangan cari masalah di sini atau aku akan lapor polisi, beraninya main keroyokan!" Ujarku pada preman-preman itu sambil membentak. Mereka pun ciut dan mengancam akan kembali lagi, tapi mereka pergi setelah itu.

"Terima kasih ya nak." Ujar bibi dan paman bersamaan. "Itu tadi mantan pegawai toko kami yang kami pecat karena kepergok mengkorupsi uang bensin. Tidak ada bukti memang, tapi buktinya setelah kami pecat, jatah uang bensin sudah tidak minus." Jelas bibi.

"Dia tidak terima dipecat dan suka membawa teman-temannya kemari cari ribut." Paman melanjutkan. "Sepertinya lain kali memang benar-benar harus panggil polisi."

"Ini, gajimu bulan ini bibi beri sekarang. Hitung-hitung terima kasih juga sudah membantu kami tadi."

"Ah, yang benar bi? Tadi bukan apa-apa kok!" Ujarku tidak enak.

"Tidak apa-apa, ini ambil saja. Kau pakai buat beli keperluanmu dan Winona yang belum terpenuhi."

Aku menerima uang tiga ratus ribu dari bibi sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Saat aku hendak menjemput Winona, ada pesan masuk di hpku dari Sian. Rupanya Winona menyuruh Sian memberitahuku bahwa mereka akan kerja kelompok di rumah Sian hari ini, jadi aku tidak perlu menjemput Winona. Aku pun langsung pulang ke rumah karena bibi menyuruhku pulang lebih awal untuk belanja. Padahal bibi tidak perlu sebegitunya padaku.

Under the Same SkyWhere stories live. Discover now