1.6 - EDWARD

170 9 2
                                    

Hari ini Sabtu. Aku hanya perlu bekerja setengah hari di toko bibi dan malam harinya aku tidak perlu shift malam di bengkel. Akhirnya aku bisa bermalas-malasan seharian, atau setidaknya itulah yang kupikirkan sampai Winona pulang sekolah dan berkata akan pergi lagi dengan teman-temannya. Dia tidak berkata "teman", tapi "teman-teman". Siapa teman-teman yang dimaksud Winona ini? Setauku selama hampir satu minggu dia bersekolah, temannya hanya satu. Sian.

"Hiro namanya, dia ketua kelasku." Jawab Winona saat kutanya.

"Hiro itu nama laki-laki atau perempuan?"

"Ya jelas laki-laki dong."

Oh, ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus tahu bagaimana si Hiro ini. Penampilannya, sifatnya, semuanya. Bukannya Winona tidak boleh berteman dengan laki-laki sih, tapi selama ini tidak ada anak laki-laki yang benar-benar ingin berteman dengan Winona. Semua pasti punya maksud tersembunyi, yaitu mendekati Winona. Aku tidak mau saja Winona berpacaran dengan laki-laki yang entah bagaimana latar belakang dan motifnya.

"Aku ikut." Ujarku cepat-cepat.

Winona hanya mengernyit.

"Kenapa? Tidak boleh? Masa kau tega kakakmu di rumah sendirian, kesepian.. tidak ada yang memberi makan.. lalu bagaimana kalau aku mati karena kesepian dan kelaparan?"

"Stop! Stop! Lagi-lagi kau begini!" Winona tertawa. "Tapi kan aku pergi dengan teman-temanku, kalau kau ikut nanti canggung bagaimana?"

"Canggung? Apa itu? Kau terlalu meremehkan kemampuan bersosialisasiku!" Aku pura-pura cemberut.

"Hmm.. ya sudah kau boleh ikut."

"Horeeee."

"Eh," Winona menyela selebrasiku. "Tapi ini bukan karena kau ingin mendekati Sian kan??"

"Kau ini ya, buruk sekali pemikiranmu tentangku."

"Ya habis, Sian anaknya baik banget tahu, sedangkan kau tengil begini!"

Kucubit pipi gadis itu karena gemas. "Terserahlah. Ngomong-ngomong, memangnya kalian mau ke mana?"

"Ohh, Hiro mengundang kami ke rumahnya. Katanya ibunya pintar masak dan ingin kami mencicipi masakannya, awalnya aku dan Sian hanya bercanda sih mau numpang makan di rumahnya.. eh, taunya Hiro benar mengundang. Katanya di rumahnya kalau malam bisa melihat lampu-lampu kota dari balkon kamarnya."

Aku hanya nyengir. Ini sih jelas sekali motif Hiro ingin mendekati salah satu dari mereka. Hanya tinggal waktu saja aku bisa tahu yang mana. "Oke, terdengar asik juga bisa makan gratis."

"Aww!" Aku memegangi perutku yang dipukul oleh Winona. "Perut kurus krempeng begini masih saja dipukul, sakit tahu!"

"Biarin. Aku turun duluan ya, kalau kau sudah selesai ganti baju langsung turun saja. Aku mau main dengan si kucing sebentar."

Aku mengangguk dan lalu mengambil sembarang kaos dan celana panjang untuk kukenakan. Setelah itu aku buru-buru turun ke bawah hanya untuk mendapati Winona yang ternyata tidak sedang main dengan si kucing.

 Setelah itu aku buru-buru turun ke bawah hanya untuk mendapati Winona yang ternyata tidak sedang main dengan si kucing

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

"Anjing siapa itu?" Tanyaku. "Mana si kucing?"

"Si kucing sembunyi tuh dibalik anak tangga, sepertinya diganggu oleh anjing ini. Ini anjingnya kak Wendy yang tinggal di sebrang rumah bibi loh, kau tidak tahu?"

Aku menggeleng. "Aku kan jarang pulang. Siapa namanya?"

"Snow."

"Bagus, sesuai dengan warnanya yang seputih salju. Eh, kalau begitu si kucing kita beri nama Pee saja!"

"Hah? Kenapa Pee?"

"Habis warnanya seperti warna air kencing."

"Jorok sekali sih!"

Aku tertawa terbahak-bahak sambil lalu menggendong si kucing dan menaruhnya di depan pintu rumah. "Sudah, kau di sini saja jaga rumah."

"Kak, ayo pergi!" Panggil Winona.

"Iya sabar."

Setelah berjalan kira-kira dua puluh menit lamanya, kami sampai di sebuah perumahan elit tidak jauh dari sekolah Winona. Winona kemudian mencocokkan nomor rumah yang ditulis Hiro di buku catatannya dengan nomor rumah di depannya. Dan setelah mengecek dua tiga kali, ternyata kami berada di depan rumah yang benar. Rumah di hadapan kami sangat mewah, pagarnya tinggi dan rumahnya bertingkat dua dengan desain moderen minimalis. Setelah memencet bel, pagar rumah tersebut otomatis terbuka sendiri dan kami disambut oleh Sian dan.. Hiro.

Perawakan Hiro biasa saja. Tingginya standar, rambutnya hitam, dan kulitnya kecoklatan terbakar matahari. Saat pemuda itu tersenyum, giginya menunjukkan gingsul yang mempermanis senyumnya. Hiro menyapa kami dengan ramah.

"Kenalkan, Edward. Kakak Winona." Ujarku sambil menyalami Hiro.

"Wah kak Edward juga ikut!" Sian tampak kegirangan.

"Maaf ya, habis dia di rumah pengangguran sih jadi kuajak saja kemari. Kalian tidak keberatan kan?" Winona yang berkata.

"Tentu saja tidak!" Sahut Hiro. "Ayo masuk, kebetulan ibuku baru selesai masak jadi makanannya masih hangat!"

"Ah kebetulan sekali, aku sudah lapar." Timpalku yang langsung mendapat sikutan halus dari Winona.

Saat kami masuk ke dalam rumah Hiro, ternyata bukan hanya eksterior rumahnya saja yang mewah, dalamnya pun lebih mewah lagi. Aku hanya geleng-geleng kepala, harus kerja apa ya supaya mampu membeli rumah yang seperti ini?

"Halo, teman-teman Hiro ya." Sosok wanita yang masih terbilang cukup muda untuk punya anak kelas satu SMA menyapa kami. Hiro mirip dengan ibunya, hanya saja kulitnya lebih gelap. "Ayo, silahkan makan dulu nanti keburu dingin."

"Terima kasih tante!" Ujarku, Winona, dan Sian nyaris bersamaan.

"Tante tinggal beres-beres dapur dulu ya, anggap saja rumah sendiri."

Sepeninggal ibu Hiro, aku menatap kagum ke makanan di atas meja. Ada rendang, sup buntut, dan tumis sayuran. Benar-benar perbaikan gizi. "Orangtuamu kerja apa sih?" Celetukku di sela-sela kami makan. Winona hanya memelototiku.

"Oh, ayahku punya pabrik. Ibuku sih.. cuma ibu rumah tangga." Jawab Hiro santai. "Kakak berapa tahun lebih tua dari kami?"

"Dua tahun."

"Oh ya? Kenapa tidak satu sekolah dengan Winona?"

Aku menggeleng. "Aku tidak sekolah, aku lebih suka cari uang."

Hiro hanya ber-"ohh" dan aku bisa merasakan Winona dan Sian menatapku iba. Kenapa memangnya? Apa mereka takut aku minder? Aku sih santai, toh aku sudah biasa ditanyai seperti itu.

"Kalian makan yang banyak gih, kalau mau tambah lauk jangan sungkan-sungkan." Hiro mencairkan suasana.

"Jelas tidak sungkan dong." Balasku dan semua tertawa.

♡♡♡

Under the Same SkyOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz