2.4 - EDWARD

114 6 0
                                    

Aku diikuti seseorang.

Dari sejak di toko bibi sampai sekarang aku berdiri di depan sekolah Winona, ada seorang pria berusia kira-kira akhir dua puluhan mengikutiku. Saat aku menoleh ke arahnya, pria itu selalu pura-pura tidak melihatku. Apa jangan-jangan dia orang jahat? Kucoba sekali lagi menoleh ke arahnya, tapi kali ini mata kami bertemu dan dia mengangguk padaku.

"Perkenalkan, namaku Danny. Maaf jika kau merasa terganggu." Pria itu menghampiriku sambil tersenyum. "Boleh aku tahu namamu?"

"Edward." Jawabku acuh tak acuh, tidak ingin berurusan dengan orang tidak jelas.

"Edward ya. Aku dari tadi memperhatikanmu karena tertarik. Kau pernah mendengar Sunflower Entertainment?"

Aku menggeleng.

"Ah, kami adalah agensi yang membesarkan banyak model terkenal." Danny mengeluarkan dompet dari saku celananya dan memberiku secarik kartu. "Ini kartu nama agensi kami, kau bisa Google untuk lebih jelasnya. Aku rasa kau akan cocok menjadi model dan jujur saja kau sesuai dengan kriteria yang sedang kami butuhkan sekarang."

Aku menerima kartu nama yang disodorkan padaku sambil tetap kebingungan. "Maaf, tapi aku tidak tertarik."

Danny menepuk pundakku. "Jangan terlalu cepat membuat keputusan, kau bisa pikir-pikir dulu. Agensi kami adalah agensi besar, karirmu sudah pasti terjamin. Kau punya nomor telepon yang bisa kuhubungi?"

Aku menyebutkan nomor ponselku. Setelah itu, Danny tersenyum sambil berkata "Akan kuhubungi lagi dalam waktu dekat, pikirkan lagi baik-baik." Dan dia pun pamit pergi.

Sepeninggal pria itu, aku hanya menatap kosong kartu nama di tanganku. Model? Aku mendengus. Aku tidak punya bakat untuk itu. Memang badanku tinggi dan yah.. menurutku wajahku memang oke, dan tidak sedikit juga orang yang menyebutku mirip model atau artis. Tapi aku tidak pernah berpikir untuk benar-benar mencoba bekerja di bidang itu.

Bel pulang sekolah berbunyi. Aku buru-buru memasukkan kartu nama tersebut ke sakuku dan celingukan mencari Winona. Saat menemukan sosoknya, seperti biasa aku tersenyum dan melambaikan tangan dengan semangat. Lalu aku menangkap sosok Hiro di sebelahnya dan senyumku berubah masam. Dia lagi. Sepertinya Winona jadi akrab dengannya. Saat kami saling berpamitan, aku sengaja tidak melihat ke arah Hiro. Wajar tidak sih kita tidak suka orang tanpa alasan? Karena entah kenapa aku tidak suka dengan Hiro. Atau mungkin karena perasaanku berkata, Hiro sedang berusaha mendekati Winona. Saat di rumah Hiro, kuperhatikan gerak-geriknya dan beberapa kali aku menangkap pemuda itu menatap kagum ke arah Winona. Hiro tidak menatap Sian dengan cara yang sama seperti caranya menatap Winona. Sekarang kalau bukan karena Hiro ingin mendekati Winona, kenapa coba dia selalu nempel pada Winona dan Sian? Seperti tidak punya teman laki-laki saja.

"Ada surat edaran dari sekolah, aku butuh tanda tanganmu." Ujar Winona di tengah-tengah perjalanan pulang.

Winona lalu menyodorkan amplop dan kubaca surat di dalamnya. "Camp tiga hari dua malam?"

"Iya, puncak acara MOS."

"Kau tidak boleh ikut."

"Apa? Kenapa?"

"Bahaya tahu! Tempatnya di hutan, banyak binatang, banyak jurang. Nanti kalau kau jatuh, tersesat, dan hilang bagaimana?"

"Ya ampun, tidak mungkinlah! Tempat ini sudah menjadi tempat langganan camp sekolahku selama bertahun-tahun, tidak ada kejadian aneh-aneh tuh."

"Kau tahu dari mana?"

Winona terlihat berpikir. "Ah sudahlah, ayo cepat tanda tangan!" Kali ini gadis itu menyodorkan bolpen.

"Tidak mau, kau tidak boleh pergi. Titik."

"Boleh."

"Tidak."

"Boleh. Lagian, ini sifatnya wajib!"

Aku menghela nafas, mengalah. "Aku minta nomor telepon Sian dan Hiro, supaya kalau terjadi apa-apa denganmu aku bisa menghubungi mereka."

Winona mencatat nomor Sian dan Hiro di kontak ponselku. Ini kubutuhkan karena Winona tidak punya hp, jadi aku tidak bisa menghubunginya langsung jika tepisah.

"Jaga diri ya, hati-hati saat di sana." Kataku akhirnya sambil menandatangani surat edaran tersebut dengan terpaksa. "Acaranya masih minggu depan kan?"

"Iya." Winona merampas surat dan bolpennya dari tanganku selesai aku memberi tanda tangan. Wajahnya tampak senang.

"Kau senang ya berpisah denganku?"

"Sedih dong, tapi ini pertama kalinya aku pergi camping bersama teman-teman, rasanya senang sekali."

Aku tersenyum dan mengacak-acak rambutnya.

"Siang ini kita makan apa?"

"Hari ini bibi tidak memberi rantang. Kau mau apa? Kutraktir makan enak sedikit."

"Aku mau es krim!" Winona tersenyum lebar.

"Itu kan bukan makanan! Itu dessert namanya."

"Terserah deh makan apa, tapi setelah makan kita beli es krim ya?"

Aku mengedipkan sebelah mata, "Siap boss."

Kami lalu makan di depot kecil dekat rumah. Selesai makan, kami mampir ke minimarket untuk membeli es krim. Winona langsung membuka bungkus es krim yang dipilihnya dan memakannya sebelum kubayar di kasir.

 Winona langsung membuka bungkus es krim yang dipilihnya dan memakannya sebelum kubayar di kasir

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Dasar tidak sabaran, seperti anak kecil saja!" Aku tertawa melihat tingkahnya. Apalagi, Winona kebiasaan cemot sehabis makan dessert. Apapun macamnya. Mau itu roti, es krim, atau apapun yang ber-krim, pasti deh mulutnya belepotan.

"Jorok sekali sih!" Aku membalikkan badan Winona dan membuka tasnya, mengeluarkan tisu dan mengelap mulutnya. Winona hanya cengengesan.

Keesokan paginya, aku sudah siap mengantar Winona sekolah ketika tiba-tiba dia memanggilku.

"Ini ada di dalam saku celanamu." Aku melihat kartu nama yang diberikan pria bernama Danny kemarin sekarang ada di tangan Winona. "Penting tidak? Kalau tidak kubuang."

"Buang saja."

"Yakin?"

Aku mengangguk.

"Apa ini? Sunflower Entertainment?"

"Aku juga tidak tahu. Kemarin ada yang menawariku jadi model."

"Oh ya? Lalu?"

"Lalu apa?"

"Kau mau?"

"Tidak."

"Kenapa?" Winona terlihat bingung.

"Entahlah, aku tidak berminat. Daripada itu, kau tidak lihat jam ya? Ayo berangkat nanti telat!"

♡♡♡

Under the Same SkyWhere stories live. Discover now