29 || Iblis Licik

1.3K 132 0
                                    

Selamat membaca dan menikmati kisah Avner dan Maura

|chapter twenty nine|







      Wanita bergaun merah itu terlihat begitu bahagia, ia menatap kedepan dengan senyuman menawan. Sembari menyentuh perutnya dengan lembut, ia kembali tersenyum. Tidak tahu kenapa, ia hanya merasa sangat bahagia saja. Luar biasa bahagia.

"Sayang, kau lelah mau duduk?"

Perhatian wanita itu teralih, pria dengan jubah mewah itu berdiri tak jauh darinya. Berdiri tepat di belakang seorang pria botak yang tengah melukis nya sekarang. Ia terkekeh, suaminya itu selalu berlebihan.

"Diamlah, aku sedang di lukis," ucapnya kesal.

Pria itu tersenyum, istrinya sangat cantik dengan gaun merah itu. Dan ia membenci nya, apa lagi ketika pria pelukis sialan itu terus menatap istri nya, dasar kurang ajar.

"Hei, pria kuas, berhenti menatap istriku!" Ujarnya kesal.

Wanita itu kembali berdecak kesal. "Axel, jika dia tidak melihatku lalu bagimana ia bisa melukisku!"

"Dia ini pelukis jenius, sayang. Dia pasti tahu caranya!"

"Diamlah, Axel. Atau aku tidak akan mau berbicara denganmu lagi."

Axel mengangkat tangannya menyerah, ia membiarkan pelukis itu kembali melihat pada istrinya. Hanya kali ini, kalau tidak mungkin Axel sudah membunuhnya sedari tadi. Axel kembali menatap kedepan pada istri cantiknya, Axel tidak bohong.

Namun semenjak kehamilan anak pertama mereka, istrinya nampak lebih cantik dari biasanya. Dan juga begitu menawan. Axel semakin mencintainya.

"Axel, apa aku terlihat cantik dalam lukisan itu?"

Axel tersenyum mengangguk dengan semangat. "Tentu, kau sangat cantik. Luar biasa cantik."




"YANG MULIA! YANG MULIA! NONA SUDAH BANGUN!"

Avner yang semula tengah mengetukkan jarinya bosan di kursi yang ada di sudut kamar itu sontak bangkit terlonjak, ia segera bergegas menuju ranjang dimana Maura terbaring sejak dua hari yang lalu. Avner nampak berbinar bahagia ketika melihat jemari Maura yang mulai bergerak, kening gadis itu berkerut, kemudian matanya terbuka secara perlahan.

Avner tersenyum, mengusap kepala gadis itu dengan begitu lembut.

"Amour, kau sudah sadar? Apa masih terasa sakit? Kau bisa katakan padaku."

Maura ingin membuka mulut nya, namun rasanya sulit. Seperti di beri lem, kedua bibirnya tak bisa ia buka. Tubuhnya lemas, untuk berkedip saja berat. Ia menatap Avner, di saat seperti ini Maura harap Avner dapat membaca pikirannya.

'Lemas. Tubuhku, semuanya. Lemas'

Avner mengangguk mengerti, ia segera memerintahkan Javier untuk segera memanggil tabib Han kemari, pria dengan tubuh penuh tato itu membungkuk lalu pamit undur diri.

"Tabib akan datang dan memeriksa mu, tenang saja, ya. Semua akan baik-baik saja."

Avner tersenyum, menggenggam erat tangan Maura dengan lembut. Andai saja Maura tidak sedang terbaring tak berdaya seperti ini, ia pasti sudah menendang Avner karena lancang menyentuhnya. Tapi tak bisa sekarang, seluruh tubuhnya mati rasa tak ada yang bisa di gerakan sama sekali.

"Mohon ampun, Yang Mulia."

Avner menoleh ketika mendapati Tabib Han sudah berdiri tak jauh darinya, Avner bangkit memberi ruang pada Tabib Han untuk segera memeriksa Maura. Ia takut sekali, Avner takut ketika sedari tadi Maura tak kunjung berbicara padanya.

Binding destinyWhere stories live. Discover now