3 || The incident

4.5K 459 3
                                    

   Maura sampai dirumah saat hari sudah beranjak siang, rumahnya sepi entah kemana perginya kedua orang tua Maura. Ia sebenarnya sudah terbiasa sendirian dirumah namun sejak insiden pagi tadi membuat Maura agak dihantui rasa takut. Mungkin itu sebabnya ia hanya duduk di ruang tengah sambil menyalakan televisi dengan volume keras. Pintu depan bahkan Maura buka lebar-lebar dengan lampu yang ia nyalakan di siang hari seperti ini. Belum lagi pemukul baseball yang sekarang sudah berada di pangkuannya. Maura bersikap waspada.





Pada hari seperti ini biasanya para tetangga sekitar rumah Maura sedang berkumpul keluarga di taman atau rekreasi ke Puncak. Intinya rumah mereka pasti akan selalu sepi saat akhir pekan seperti ini. Maura sebenarnya iri namun ia harus tetap maklum karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Lagi pula mereka bekerja juga untuk mencukupi kebutuhan Maura kan, lalu kenapa Maura harus marah?

"Tetep aja gue juga pingin jalan-jalan keluarga kayak yang lainnya," keluh Maura, "gak salahkan kalau gue mau kayak gitu?"



Maura menyenderkan kepalanya disofa. Ia menatap ke langit-langit rumah dengan pandangan sendu. Rasanya sudah lama sekali sejak sekolah dasar mereka tidak pernah pergi bersama. Terakhir kali saat kelulusan SMA Maura itu pun sang Ayah harus kembali ke kantor karena ada meeting mendadak. Maura kecewa namun ia tetap mencoba mengerti. Maura tidak menyalahkan mereka  ia hanya membenci dirinya yang mudah sekali kesepian.


Andai ada yang mau menemaninya disaat seperti ini.


"Waktu ulang tahun gue, apa mereka bakalan ingat?"

Maura menghela napas lelah, ia merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah. Maura bukan mau berburuk sangka namun ia hanya ingat saat ulang tahunnya tahun lalu mereka bahkan melupakan hari itu dan bersikap biasa saja. Maura sedih dan kecewa tentu saja, ia bahkan sempat tidak pulang selama dua hari. Mereka memang mencari Maura namun saat tahu Maura baik-baik saja mereka kembali seperti semula.

Maura terlalu lelah dan terlalu banyak berharap. Hingga ia akhirnya terlelap sambil memeluk pemukul baseball itu.

**

"Ah, sayang, ikutlah denganku dan kita akan pergi kemanapun kau mau."

Avner membelai lembut pipi Maura. Sedari tadi ia berada di sudut ruangan ini, memperhatikan Maura yang mengeluh sambil menatap sendu ke langit-langit rumah. Avner merasa kasihan pada gadisnya. Ia merasa bersalah karena tidak bisa berbuat apapun saat gadisnya sedang sedih seperti ini.

"Tenanglah, sayang. Aku berjanji akan membawamu pergi dari sini." Avner mengecup kening Maura sayang. "Kita akan bahagia, aku pastikan itu."

Avner menjentikkan jarinya membuat pintu depan yang semula terbuka kini tertutup rapat. Lampu di ruang tengah bahkan sudah mati sejak Avner muncul. Ia membungkukkan tubuhnya berniat menggendong Maura sampai ke kamar seperti biasanya.

Sebenarnya bisa saja Avner menggunakan kekuatannya namun ia tak mau menyia-nyiakan momen sedekat ini dengan Maura, ia ingin menikmati momen ini lebih lama. Selama yang ia bisa.

Langkah Avner terkesan pelan dan hati-hati, menaiki tangga demi tangga secara perlahan. Retina merahnya tak bisa ia lepaskan begitu saja dari Maura. Bagi Avner, Maura adalah hal paling menarik yang tak bisa dialihkan. Maura adalah pusat dunia Avner. Bahkan pusat kehidupannya.

Avner meletakkan tubuh Maura perlahan dan hati-hati takut membangunkan tidur pulas gadisnya. Avner menghela napas, bahkan dalam keadaan seperti ini Maura terlihat cantik. Rambut hitam legamnya Indah terurai dengan beberapa anak rambut yang agak berantakan. Mata cantik yang biasanya memancarkan binar kebahagiaan itu tampak tertutup rapat. Deru napas teratur Maura bahkan terdengar seperti melodi Indah bagi Avner.

Ah, Maura benar-benar pusat dunianya.

Avner duduk disamping ranjang Maura. Menggenggam tangan gadis itu. Ia tersenyum hangat saat melihat cincin yang ia kenakan serupa dengan milik Maura. Itu bukan cincin biasa, cincin itu telah diberi mantra khusus oleh Avner. Cincin itu hanya akan terlepas jika Avner menyetujuinya. Namun jika Avner tak menyetujuinya cincin itu tak akan bisa terlepas dengan cara apapun, sampai kapan pun.

Avner merasa senang dan bangga karena dibagian belakang itu terukir inisial nama keduanya. A&M, Avner dan Maura. Ah, sungguh Avner rasanya seperti sudah mengklaim Maura seutuhnya. Ia bahagia sekali.

Avner membaringkan tubuhnya disamping Maura, memeluk gadis itu dengan erat. Mencuri ciuman kecil sambil mengelus lembut kepala gadis itu.

Menunggu agak lama sebelum ia pergi meninggalkan gadis itu, setelah memberikan mantra untuk mengamankan rumah ini. Avner pergi.



Menjalankan rencananya.


**





Malam ini, hujan kembali mengguyur ibu kota. Dibarengi dengan suara guntur dan keadaan yang gelap gulita. Membuat mobil yang dikendarai Dimas agak terhambat. Apalagi dengan kondisi jalanan yang licin. Mereka baru saja pulang dari kantor, bulan ini ada begitu banyak laporan yang harus di urus hingga mereka akhirnya terpaksa lembur dan pulang pada tengah malam seperti ini.



Dimas masih serius pada kemudinya saat mendadak sebuah bayangan hitam melesat didepan mereka. Membuat Dimas menghentikan mobilnya secara tiba-tiba. Asti meringis ketika merasakan pening saat kepalanya membentur dashboard mobil.




Ia menatap Dimas lalu bertanya, "Ada apa, Mas?"

"Tadi seperti ada orang yang baru saja menyebrang," jawabnya.


Dimas turun dari mobil, dengan payung yang ia bawa dari dalam mobil. Memeriksa keluar mobil. Namun nihil, sama sekali tak ada apa pun, hanya jalanan kosong yang sepi. Dimas menghela napas lega lalu berniat berbalik.



Sampai sebuah suara menyadarkannya. "Aku benci pembohong yang ingkar janji."


Dimas tertegun tak berani melihat, ia langsung berlari masuk kedalam mobilnya. Dengan tergesa-gesa menyalakan mesin dengan wajah gusar. Asti sampai kebingungan dengan Dimas yang ketakutan. Ia berulang kali bertanya namun Dimas sama sekali tak menjawab.


Asti ikut panik apa lagi saat mobil mereka melaju dengan cepat, lalu mendadak mati begitu saja. Berbarengan dengan suara nyaring yang sarat kemurkaan itu.


"PEMBOHONG!"

Asti merapatkan tubuhnya menjadi takut. Ia mulai terisak pelan. Sementara Dimas menenangkan bahwa akan baik-baik saja. Dimas sudah merapalkan begitu banyak doa ketika merasakan sinar berwarna merah api itu mendekati mobil mereka. Melayang dengan cepat membuat mobil mereka terangkat ke udara.



Berputar cukup lama, lalu terlempar begitu saja masuk ke dalam jurang yang ada. Tepat saat mobil itu meledak dirubung api. Sesosok pemuda bernetra merah berdiri tak jauh dari sana. Menyunggingkan senyum puas sambil berkata,

"Membusuk lah disana, pembohong!"

Dimas sudah tak sadar, meski samar masih dapat mendengar suara iblis itu yang menertawakan nya dengan puas. Sebelum kegelapan yang hampa menyusulnya diwaktu yang bersamaan.



Iblis itu tak main-main.





***

Avner jahat gaes:((

Masa mertua sendiri digituin sih, kasihan kan Mauranya:((

Jadi gaes, ini masih dihari yang sama ya.

Thank's for reading, luv<3

Binding destinyOù les histoires vivent. Découvrez maintenant