ENAM BELAS

1.1K 54 8
                                    

Hari ini Pak Wanto menjadi guru yang ditakuti semua murid. Dengan bermodal 2 benda keramat, beliau mampu membuat siswa-siswinya lari kocar-kacir. Kumis tebalnya menambah kesan garang pada wajah bulatnya. Ditambah lagi, ditangan kanannya menjulang penggaris besi dan sebuah gunting bergagang hijau.

"HEH BARUN! KENAPA RAMBUT KAMU PANJANG GITU? MAU JADI RAPUNZEL KAMU?!."

"MAU NYAINGIN TARZAN PAK!."

"RAFLI! ITU CELANA KENAPA DI KECIL-KECILIN? PAKE ROK MINI AJA SEKALIAN!."

"JANGAN DONG PAK, NANTI SI WENDY KALAH SEXY!."

"ITU KAMU KENAPA KAOS KAKINYA PENDEK? NAIKIN SAMPE TINGGI!."

"INI KAOS KAKI PAK, BUKAN CITA-CITA!."

Begitulah kira-kira suasana razia hari ini. Beberapa murid yang kepergok melanggar aturan, dikumpulkan di tengah lapangan. Ditemani teriknya matahari pagi, beberapa siswa mengeluarkan umpatan kesal pada pria paruh baya itu tanpa sepengetahuannya.

Angga, Reno, Abram dan Tegar pun turut kena dalam hukuman tersebut. Satu-satunya yang tidak kena razia diantara mereka berlima hanyalah Fano. Cowok yang paling beres diantara mereka.

"Lo kan OSIS Bram, kok lo nggak ngasih tau kalo ada razia gini?." ucap Reno dengan nada kesalnya. Dahinya sudah dipenuhi peluh karena sinar matahari semakin panas.

"Mana gue tau bakal ada beginian." jawabnya santai.

"Oiya, lo kan OSIS gadungan." sahut Reno tak kalah santai. Abram langsung meninju pelan bahu Reno.

"Panas banget." ucap Angga, tangannya mengibas-ngibaskan kerah seragamnya. Dahinya ikut basah karena keringat. Beberapa helai rambutnya juga basah.

"Kantin yuk, beli minuman." ajak Tegar santai. Padahal jelas-jelas didepan sana Pak Wanto sedang memberikan wejangan dan hukuman yang harus dijalankan.

"Gila lo! Masih bersyukur jambul lo nggak di potong tuh sama si kumis! Masih berani ngajak ke kantin." ucap Abram dengan suara lantang, sampai-sampai banyak pasang mata yang tertuju ke arahnya. Tak terkecuali Pak Wanto, ia ikut menatap Abram dengan tajam.

Abram panik bukan main. Bola matanya bergerak kesana-kemari seperti meminta pertolongan. Nyawa Abram kini sudah diujung tanduk. Apa suaranya terlalu keras tadi? Habis sudah!

Auto botak deh gue!

Batin Abram pasrah.

Angga, Reno dan Tegar ikut terdiam menahan tawa. Mereka berani bertaruh, saat ini Abram tengah menahan rasa mulasnya. Itulah kebiasaan Abram ketika panik. Bukan akalnya yang bekerja, tapi perutnya yang lebih peka.

"Abram!." Pak Wanto menunjuk Abram dengan penggaris besinya.

"Ganteng pak!." Abram mengangkat tangannya. Disituasi seperti ini, mulutnya masih saja tidak bisa ia kontrol. Pak Wanto semakin melotot mendengar jawaban Abram, bola matanya seperti akan keluar.

"Kenapa kamu ngobrol saat saya bicara?!." cecar Pak Wanto.

"Te-tegar pak!." dengan suara gagapnya, tanpa dosa Abram menunjuk Tegar. Cowok itu pun langsung kaget saat namanya disebut.

"Sa-saya pak?." sepertinya virus gagap Abram menular pada Tegar.

"Kalian berdua! Bersihkan halaman belakang!." suara Pak Wanto semakin lantang. Tidak ada yang bersuara seorangpun.

"Kantin pak?." sahut Tegar dan Abram bersamaan. Saat itu juga, semua siswa yang berada dilapangan terkejut mendengar jawaban Tegar dan Abram. Angga dan Reno tak kalah terkejut sekaligus menahan tawa. Bagaimana bisa kedua orang itu mengucapkan kata-kata yang mampu menghilangkan nyawanya? Sepertinya pikiran Tegar dan Abram sudah dibayang-bayangi indahnya kantin!

SERENDIPITY [END]Where stories live. Discover now