10 | gentleman 101

Comincia dall'inizio
                                    

Zane berjongkok untuk membangunkannya. Menepuk-nepuk pelan bahunya.

Tidak ada reaksi.

Itu cewek nggak mati kena Covid-19, kan?

"Sab," panggilnya pelan, takut mengagetkan. "Bangun. Pulang."

Setelah beberapa tepukan, akhirnya kelopak matanya bergerak, namun tidak sampai terbuka.

"Hmm?" gumamnya, nyaris tidak terdengar.

Dia kelihatan lelah sekali. Zane jadi kasihan.

"Nggak mau pulang?" tanyanya pelan.

Sabrina menggeleng, menaikkan sebelah kakinya yang tadi jatuh kembali ke atas sofa, kemudian mengubah posisi kepalanya, jadi membelakangi Zane.

Dasar! Ini cewek nggak ada takut-takutnya! Bisa-bisanya segitu santainya nggak mau pulang, malah tidur di kantor. Jangan-jangan dia emang suka ketiduran di sembarang tempat!

"Yakin mau di sini sendirian?" Masih tidak yakin, Zane mengulangi pertanyaannya.

Dan kali ini Sabrina mengangguk. Hebat. Sinting emang ini cewek.

"Ya udah, gue balik duluan, ya. Gue kunci dari luar. Lo pegang kunci sendiri, kan?"

Zane kemudian bangkit untuk pulang.

Tapi langkahnya terhenti sebelum mencapai tangga, menoleh sekilas ke sofa. Kali ini ganti tangan Sabrina yang menjulur jatuh ke lantai.

Ck. Kan jadi ngerepotin, rutuknya.

Dia kemudian balik badan dan berjalan kembali ke ruangannya, mencari selimutnya di drawer. Dia sengaja menyimpannya untuk jaga-jaga kalau sedang malas pulang dan ingin tidur di kantor.

Kemudian ditutupkannya selimut itu ke tubuh Sabrina. Dia lepaskan sepatunya juga.

Kurang baik apa coba dia sebagai Bos? Sampai sepatu karyawan dia pegang-pegang juga!

Dia sudah bersiap-siap turun, tapi ragu lagi.

Kalau kantornya kemalingan gimana? Mending pas lagi kosong, paling cuma rugi materi. Nah, kalau ada satu mayat begini?

Ah, sial banget, sih! Yang namanya cewek emang lebih sering nyusahin!

Akhirnya Zane kembali masuk ke ruangannya, melepas kembali jaketnya, lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Terpaksa dia tidur di kantor juga.


~


Sialnya lagi, baik Zane maupun Sabrina sama-sana bangun kesiangan—padahal rencananya mau pulang duluan Subuh-Subuh sebelum perempuan itu bangun—dan membuat keduanya jadi dipergoki Karen dkk yang tumben-tumbennya datang kepagian. Bukan masalah penting juga sih, sebenarnya. Apa salahnya kalau dia lembur dan tidak pulang? Kalau lemburnya berdua dengan Sabrina juga bukan hal yang nggak mungkin, berhubung Sabrina memang sedang sibuk dengan project baru. Cuma aneh aja rasanya ketika membandingkan dirinya dan Sabrina yang sama-sama kumal dengan Karen dan lain-lain yang sudah rapi. Seperti ada yang salah.

Akhirnya Zane pilih pulang dulu meski dia punya cadangan baju ganti di kantor. Toh, letak apartemennya nggak sampai lima kilo dari kantor. Telat dikit sekali-kali nggak akan terlalu ngaruh. Malah paling-paling Junaedi yang jadi girang karena masih punya waktu untuk berdiskusi dengan Iis sebelum meeting.

Zane baru selesai mandi di apartemennya ketika ponselnya bergetar di nakas.

Rachel.

"Ya, Hel?" gumamnya sambil berjalan ke lemari.

"Kata karyawan gue, lo belum di kantor. Masih di apartemen?"

"Yuhuu." Diletakkannya ponsel itu di atas rak sepatu setelah disetel loudspeaker, kemudian mulai mencari-cari pisau cukurnya.

"Gue samper ya. Gue kasih tebengan," ujar Rachel di seberang. Rumah mereka berdua memang berdekatan dan searah, dan Zane kadang-kadang juga memberinya tumpangan kalau sedang ingat dan nggak buru-buru.

"Boleh. Lo lagi di mana emang?"

"Baru cabut dari rumah. Bentar lagi nyampe tempat lo."

"Oke, langsung masuk aja, ya. Gue lagi ganti baju."

"Okee."



... to be continued


Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora