Singkat cerita, aku tiba di Dojo dan langsung daftar, tanpa ada test sama sekali.

"Tuh, enak, kan?" Sherin menyembunyikan kedua tangan di belakang pinggang, mendongak memandamgku sambil senyum. "Kamu berhutang budi loh, ke aku."

"Hutang budi?"

Dia mengangguk kalem. "Tiga kali. Jangan lupa balas, ya." Dia mengedipkan satu mata kepadaku.

Sekarang aku bingung, maksudnya dia apa? "Balas budi bagaimana? Kak, aku nggak suka punya hutang budi."

"Ya makannya balas. Yuk ke kantin. Kamu kan udah ditolong, jadi harus mau nemenin ke kantin."

Aku menghela nafas mengikutinya. Sebenarnya aku senang saja, jalan sama Sherin. Dia cantik dan aromanya segar strawberry. Sayang, aku ada misi lain.

Sesampainya di kantin, Sherin mentraktir makan mie ayam. Kami duduk bersebelahan.

"Desta. Gadis kemarin, siapa namanya, lupa."

"Hesti?"

"Hesti tuh siapamu, sih?"

Aku langsung membisu sejenak. Siapa sangka Sherin berani bertanya secepat ini. Yaaa aku sering menanggapi pertanyaan seperti ini yang ditujukan untuk gadis yang sedang dekat denganku, dari gadis yang menjadikan diriku sebagai crush. Dan jawabanku selalu sama.

"Teman biasa sih."

Bibir ranum Sherin sedikit terangkat satu sisi. "Teman tapi romantis banget."

"Maksudnya?"

"Ya kalian di halte ngapain?"

Aku bingung kenapa harus mau menjawab interogasi macem penjahat ditanyain polisi seperti ini. "Emang aku ngapain sama Hesti, di halte?"

Tuh kan, Sherin bingung. "Ya kalian suap - suapan... itu tandanya kaliam dekat, kan? Ayo ngaku, kalian backstreet ya?"

Walau Sherin senyum ramah, tapi aku yakin hatinya berkata lain. Aku mencium aroma kecemburuan dari tingkahnya.

"Hesti sedang sakit kala itu. Jadi aku suruh makan."

"Ooh. Disuapin gitu?"

"Nggak kok, ngapain nyuapin dia. Amit amit." Aku ketawa berusaha memperhalus jalan perbincangan kami.

"Suapin," pint Sherin.

"Eh? Maksud Kakak?"

"Ya sekarang suapin aku."

"Loh, ya, gimana... uhm aku--"

"Tiga permintaan balas budi, kan. Aku minta suapin, Desta. Gimana. Kamu mau kan?"

Sebenarnya aku nggak butuh pertolongan dari cewek satu ini. Pertama, pertolongan di lahan parkir. Aku nggak butuh tempat parkir. Kedua, pertolongan di atas panggung ketika aku bertengkar dengan si kribo juga nggak perlu. Dan yang terakhir masalah Karate. Semua bisa kujalani sendiri.

Kalau mau hitung - hitungan juga aku udah pernah nolong Sherin. Banyak malah.

"Aaak." Wajah Sherin manis banget ketika meminta sesuatu. Apa lagi matanya yang polos dan bibir berphiltrumnya itu. Hiiih gemesin. Cewek semanis ini kok nggak punya pacar. "Desta...."

"Iya iyaa deh, kali ini aja."

Tiba - tiba dua gadis masuk kantin. "Heh, denger, tuh ada ribut - ribut di lapangan basket!"

Sontak seisi kantin fokus ke dua gadisnyang baru datang. Aku menaruh sendok kembali ke mangkik. Semoga Hesti nggak buat onar.

"Emang ada apa?" tanya seorang cowok. "Apa ada yang nembak?"

Pikiranku langsung tertuju pada Alif. Bah, dia nggak mungkin berani nembak cewek secepat ini. Apalagi nembak gadis bar bar seperti Hesti. Butuh persiapan ekstra.

"Bukan tembak tembakan!" Sahut salah satu gadis yang baru datang. "Itu, yang kemarin settingan ketika MOS, buat masalah gede banget."

Sontak aku bangkit mendoring kursi. "Ada apa dengan Hesti?"

Belum sempat dijawab, gadis itu dan beberapa penghuni kantin beranjak pergi. Mereka berbondong - bondong menuju lapangan.

Gawat. Dengan sikap Hesti yang bar bar, dia pasti dalam masalah sekarang.

"Desta, mau ke mana?" Sherin menarik lenganku turun. "Habisin dulu makanannya. Sudah terlanjur dibelikan, masak nggak dimakan?"

Aku menaruh uang sepuluh ribu ke meja, untuk mengganti uang mie ayam bakso yang Sherin belikan, lalu bergegas pergi menuju lapangan.

Semoga Hesti nggak buat masalah besar di sana.

****
Jangan lupa vote dan follow penulisnya, ya, makasih.

Magnetic LoveTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon