19. Hesti

292 53 8
                                    

Gue mondar mandir di halte hingga menarik beberapa mata om om dan tante tante di sana. Sementara Dian duduk menjuntai kaki sambil makan cireng, cara duduk seperti pinokio.

"Apa sih maunya tuh senior? Ganjen banget sampai Desta bertekuk lutut gitu. Dan gue nggak habis pikir, apa yang Desta lihat darinya?"

"Mau aku jawab?" sahut Dian. "Sherin cantik, body-nya seperti biola, dan kamu kalah dada loh, Hes. Gedean punya dia. Ibarat kamu tuh tuyul, dia bidadari."

Ya gue akuin fisi gue mungil. Tapi nggak usah gitu juga ngomongnya, keles. "Lu temen gue apa temennya Sherin, sih?"

"Masih nanya? Heran deh sama kamu tuh." Dian mengunyah cireng. "Sebenarnya kamu kenapa cemburu ke Desta? Suka? Kalau suka bilang lah."

"Suka Desta? Dih, amit amit."

"Terus ngapain lu ngamuk?"

"Siapa yang ngamuk?"

"Lah ini? Kalau nggak ngamuk apa namanya? Nyanyi?"

Pingin gue cubit pipi Dian. Tapi, ntar dia nangis. "Gue cuma nggak mau Desta pacaran sama cewek munafik macem dia. Dia tuh nyuruh gue sama Desta bohong pas di MOS. Itu tipe tipe gadis pendusta. Nggak pantes untuk Desta."

Dian menjawab, "Terus yang pantes buat Desta siapa? Kamu?"

Gue cubit kedua pipinya, tarik, biar melar. "Teman luknut, udah gue bilang gue nggak mau jadian sama Desta!"

"Tapi aksi kamu berkata lain."

Deru mesin motor membuat gue melepas cubitan pada pipi Dian. Bersedekao gue mandang sinis Desta yang duduk di atas motor.

"Mau pamer motor?" sindir gue, sementara Dian nyinyir tanpa suara.

"Mau pulang bareng?"

"Eh? Maksud lo?"

Desta menyodorkan helm kepada gue. "Buruan pakai. Aku anterin pulang."

Dian bertepuk tangan kecil. "Ehem. Apa aku bilang. Dah lah, pulang bareng aja, jangan lupa nyabuk."

Gue pelototin Dian, hingga dia diam. Lalu, gue beralih ke Desta. "Nggak ajak senior aja? Kan lebih seksi, lebih cantik."

Desta mendengus, menaruh helm ke pangkuannya. "Maunya sih gitu. Tapi Sherin dah punya motor sendiri."

Hih, nyebelin. "Yaudah pulang aja sendiri."

Desta terkekeh menggaruk kepalanya sendiri. "Maunya juga gitu, tapi nggak enak sama Tante. Beliau berpesan, suruh nganter pulang kamu."

Gue kaget mendengar penjelasan Desta. Sejak kapan Ibu gue seperhatian itu?

Desta kembali menyodorkan helm. Sebenarnya tadi gue mau aja sih, ikut Desta. Cuma, setelah mendengar alasan dia, gue jadi demek sendiri.

Dia melakukan semua ini karena takut sama ibu gue, bukan karena dia ingin nganterin gue pulang dengan selamat.

"Ayo cepet, panas ini," keluh Desta.

"Gue.... gue... ehm, udah janjian sama Dian mau pulang bareng. Ntar kalau nggak ada gue, Dian nangis. Ya nggak Dian?"

"Nggak, nggak nangis," jawab Dian. "Malah bahagia bisa lihat teman bahagia--auh..." Dian mengusap kakinya yang gue tendang sambil cemberut memandang gue

Jual mahal dikit nggak masalah, kan? Lagian nih cowok mau nganter pulang bukan karena gue, tapi karena takut sama ibu gue di rumah. Cih, nyebelin.

"Ayo buruan, jangan kelamaan ntar kesorean, macet."

Gue merenggut helm yang Desta beri, duduk di motornya. "Dah ayo jalan. Buruan? Pokoknya harus sampai rumah lebih cepat dari Dian."

"Nah, gitu apa susahnya, sih?" Desta menstarter motor, bersiap melesat.

Gue bilang, "Gue melakukan ini karena takut membuat ibu marah, ngerti? Bukan karena ingin lu bonceng."

"Iya, tapi pegangannya. Kalau jatuh, aku juga yang dimarahi."

Gue malu malu mau meluk pinggang Desta. Pinggangnya keras banget, seperti besi. Mana hangat pula. Nyaman banget.

Baru juga mau berangkat, tiba - tiba suara itu merusak segalanya. "Desta!"

Gue dan yang dipanggil menoleh ke sumber suara, di gapura pintu gerbang utama sekolah kami.

Di sana, Sherin bertengger di motornya yang terparkir di sebelah gapura. Dia melambai lambai memanggil Desta.

"Sudah ayo berangkat," keluh gue. "Ntar macet, panas. Ayo buruan. Besok aja ngomong sama Sherin-nya, kita pulang dulu."

Bukannya menuruti permintaan gue, Desta malah matiin mesin motor, melepas helm pula. Nyebelin banget nih cowok.

Dia bilang, "Tunggu di sini sebentar ya. Aku nemuin Sherin dulu."

Gue cemburu, turun dari motor, melihat Desta berlari kecil menghampiri Sherin.

Entah mereka bicara apa, tapi tuh cewek keganjenan banget. Masak dia berani meremas lengan Desta, sih? Mana yang di remas malah menikmati, ketawa tawa gitu.

Dasar cowok luknut. Di motornya ada cewek cantik, siap di antar pulang. Malah ditinggal ngobrol sama cewek nggak guna seperti itu. Dan sekarang gue jadi seperti kambing congek. Nyebelin banget sih. Gue sumpahin botak seumur hidup kau, ya! Cowok idiot!

Lama gue nunggu sampai lumutan, tapi yang ditunggu masih ketawa tawa sama Sherin. Cuih!

Tak lama kemudian, bus yang ditumpangi datang. Gue semakin jengkel ketika Dian melambai kepada gue.

"Hesti, aku duluan ya. Yang sabar nunggu cowok."

Dian naik bus dan busnya berangkat. Gur ditinggal begitu aja, disuruh lihat Desta sama cewek setan mesra - mesraan. Kampret!

Lama - lama gue jadi lapar, pingin makan kepala Desta pakai Micin. Dia loh yang maksa aku naik motor. Udah dapat malah dianggurin. Lagnat!

Mana mulai banyak om om dan mbak mbak kuliahan ngetem di halte nunggu bus lewat. Sialan lu Desta.

Bus lain tuba dan kali ini gue harus bisa memilih, mau pulang naik bus atau nunggu desta sampai jamuran di sini?

Kesal gue pencet klakson motor si culun, membuat dia menoleh sejenak. Sialan banget tuh cowok. Malah lanjut ngobrol. Taik!

Gue lepas helm, tinggalin di atas jok motor, lalu buru - buru naik bus kota yang mulai terisi penuh. Dari pada di sana sendiri, mending pulang. Ya kan?

Gue naik bus, berdesakan sama banyak manusia. Pengab, panas, sempit. Kalau bareng Dian masih longgar busnya. Ini gara - gara Desta luknut.

Gue kesel banget diginiin. Bayangin, gue udah rela relain mau dibonceng oleh Desta, tapi apa yang gue dapet. Gue dicuekin gitu aja. Cuma dijadikan pajangan di atas motornya. Sementara dia asik asikan sama cewek lain.

Gue mengusap mata. Basah. Kalau dia suka Sherin, bilang. Nggak usah PHP begini. Jancok.

Badanku bergetar dan beberapa orang menoleh. Mereka memandang gue dengan iba dan beberapa mahasiswi berkomentar.

"Paling habis diputusin pacarnya."

"Atau, dia mergokin pacarnya selingkuh. Kasihan banget kalau begitu."

"Kasihan, ya. Cowok memang idiot. Ada cewek manis, kok dibuat nangis."

Bus yang ditumpangi terjebak macet. Setiap ngerem gue didorong mundur. Bus mengerem dadakan dan gue jatuh ke dada seseorang di belakang gue. Ketika gue menoleh, alis gue langsung kejang.

"Loh, kamu?"

****
Jangan lupa vote dan follow penulisnya, ya.

Magnetic LoveWhere stories live. Discover now