15. Hesti

302 48 11
                                    

Hangat. Gue seperti ditimang kala masih bayi. Entah siapa, tapi gue merasa nyaman.

Harum yang kurindukan menyapa. Harum sosok itu, sosok yang pernah membuatku seperti orang bodoh rela mengajari bermain basket.

Perlahan gue membuka mata dan samar melihat jalan berpaving remang yang disinari cahaya dari lampu jajaran rumah.

Ketika gue menoleh ke samping, gue mendapati wajah Desta.

Gue sedang digendong punggung oleh Desta. Kalau gue bangun, pasti Desta nurunin gue.

Nggak, gue nggak mau bangun. Enak begini, bisa deket deket dengan Desta. Duh, kenapa dada gue malah dag dig dug begini? Kan cuma digendong Desta!

Wait, tunggu dulu. Kenapa gue bahagia banget deket Desta?

Hanya karena dikasih makan, diberi pinjaman earbud, dan diperlakukan baik, bukan berarti gue harus menganggap dia spesial. Gue nggak mau bangun karena malas jalan. Kapan lagi bisa naik Desta gratis.

Kami tiba di depan rumah. Ketika dia membuka pagar, nggak sengaja gue kecium pipinya. Panik gue pura - pura ngorok keras.

Kira - kira Desta tahu nggak ya? Duh jangan deh, jangan sampai tahu. Lagian gue nggak sengaja. Kecium pipi dia juga karena dia gerak gerak jelimet.

Suara bel membahana. Nggak berselang lama, Ibu membukakan pintu rumah.

"Loh, Desta?" Suara Ibu panik. "Hesti kenapa?"

"Kecapekan Tante."

"Kalian kok pulang bareng?"

"Kami satu sekolah, Tante."

Gue kecewa ketika Kak Fitra menggendong gue ke kamar. Sementara Ibu bicara sama Desta.

Singkat cerita, gue nggak mandi dan langsung ditaruh ke kasur oleh Kak Fitra. Setelah Kakak melepas sepatu dan kaos kaki gue, dia keluar kamar ninggalin gue sendiri dalam gelap.

Gue terlentang memandang kosong langit langit. Hari ini benar - benar seperti naik roller coaster.

Apa begini kehidupan anak SMA?

Suara pintu gerbang dibuka. Gue ngintip ke luar, mendapati Ibu dan Kakak melepas kepergian Desta.

Apa Desta baik ke semua cewek? ke Sherin? Cih, mikirin Sherin membuat mod gue rusak dadakan.

Senior ganjen itu bener - bener kegatelan. Ngapain tadi dia pakai menarik tas Desta segala? Gue merasa dia cewek nggak benar.

Gue nggak cemburu. Ngapain cemburu? Toh Desta bukan pacar gue. Cuma gue khawatir nanti Desta dijebak oleh cewek seperti Sherin.

Gimana kalau Sherin hamil oleh cowok lain, tapi Desta yang disalahkan? Cewek macam dia bisa melakukan hal itu. Lah dia aja nyuruh gue sama Desta bohong ke semua orang masalah tadi siang.

Gue kembali terlentang ke kasur. Sepertinya panas badan gue udah merasa.

Hari Minggu nggak ada yang spesial dan, waktu bergulir cepat. Nggak terasa udah Senin aja.

Pagi ini pun nggak ada yang spesial dari Desta. Dia pergi sekolah naik motor, sementara gue sama Dian naik bus.

"Dia pasti mau jemput Sherin," gumam gue.

"Heh?" Dian kaget, langkahnya melambat. "Maksudmu apa Beb?"

"Nggak apa apa."

"Tunggu sebentar. Sherin tuh, senior yang kemarin, kan? Siapa yang mau jemput Sherin? Desta? Cie cemburu."

"Diem. Gue tampol lu."

Cemburu? Bah nggak lah, ngapain gue cemburu? Gue cuma kasihan sama Tante. Ntar Desta terkenal ngamilin senior. Tante jadi bahan Ghibah satu kompleks.

"Hesti, kok lu cuekin aku, sih?" Keluh Dian, yang duduk di sebelah gue di dalam bus kota.

"Huh? Apaan?" Gue beneran nggak sadar Dian ngomong apa. Tau tau kita udah di dalam bus.

"Gimana kemarin. Kamu sama Desta udah baikan belum?"

"Baikan? Hah, mana mungkin. Lu tahu kan, tuh cowok martabaknya gede banget."

"Martabat, martabak mah makanan." Dian ketawa kriuk. "Oh iya, gimana, kamu mau ikut ekstra apa? Wajib loh semua murid ikut satu kegiatan ekstra. Hari ini kayaknya bakal banyak senior promosi kegiatan ekstra."

"Sudah jelas kan, gue bakal ambil ekstra apa?"

Singkat cerita, gue ngikutin petunjuk dari senior yang mengarahkan gue serta beberapa murid ke lapangan basket. Dian sendiri ikut bookish club di perpustakaan. Terpaksa kali ini kami berpisah. Tapi Dian janji bakal nemenin gue setelah urusannya selesai.

Dan gue nggak sendiri di lapangan. Banyak rombongan murid baru.

"Permisi. Kamu mau ikut basket, kah?" Tegur seorang cowok bule.

Nih cowok ganteng banget, seisi rombongan langsung bisik - bisik.

Gue menjawab, "Iya. Do you speak Indonesia?"

"Little," jawabnya. "Aku juga mau gabung basket. Namaku Alif Tyas Van Houten. Salam kenal."

Wow, nih cowok pemberani. Gue suka tipe cowok pemberani.

Langsung semangat para gadis melihat kehadiran si bule. Mereka rebutan berjabat tangan dengannya, seperti piranha melihat daging Wagyu!

Di tengah hiruk pikuk, gue ngeliat Desta duduk di koridor seberang bersama beberapa cowok. Banyak gadis mengajak dia kenalan.

Ngapain coba duduk di sana. Mau sok ngartis?

Sementara di lapangan, rombongan cowok dan cewek di pisah. Alif melambai kepada kami sebelum dia tertelan lautan manusia di sisi lain lapangan.

Kami duduk santai menunggu giliran untuk test. Gue ngeliat Dhea sedang menyambut calon member baru team cheerleader. Ketika melihat gue, dia sinis banget. Kayaknya nggak suka deh sama gue. Terus dia bisik bisik ke senior lain.

Perasaan gue nggak enak.

Untuk masuk tim basket, nggak segampang kegiatan ekstra lain. Khusus basket, futsal, karate, voli dan bulu tangkis, wajib di test dulu karena bakal diikutkan kompetisi kelak.

Sontak gue tahu apa maksud Dhea berbisik ke temannya tadi. Temannya Dhea salah satu senior yang bakal mengetest gue masuk tim basket.

Berjam jam gue bersama beberapa cewek lain menunggu giliran test. Semakin sedikit dari kami tersisa di tepi lapangan.

Dian datang ikut nimbrung duduk bersama kami. "Belum mulai test-mu, Hes?"

"Belum, sabar. Masih ada empat orang selain gue."

Gue sama Dian ngobrol bersama teman - teman baru. Nggak sengaja gue melihat Desta jalan ke kantin sama Sherin.

Udah gue duga, tuh cowok bakal kebawa Sherin juga. Gue pengen ke sana, ikut nimbrung sama Desta, tapi gimana lagi, gue belum dipanggil buat test. Bahkan , empat gadis lain yang seharusnya test setelah gue, dipanggil duluan.

Tiba - tiba senior menghampiri kami.

"Sudah penuh ya, cukup. Sisanya terima kasih, dan silahkan pilih ekstra lain."

Wah gue sengaja dieliminasi tanpa test. Tentu gue nggak terima.

"Kan waktu testnya masih lama?" Keluh gue.

"Iya nih, harusnya di test dulu kan?" sahut Dian.

Bagi gue basket bukan cuma kegiatan olah raga atau ekstra kurikuler. Gue punya cita cita menjadi pebasket profesional. Lah, kalau gagal masuk tim basket gegara hal sepele begini, ya tentu gue nggak terima.

Setelah cekcok cukup lama, tetap aja gagal untuk ikut test. Gue melihat Dhea bersedekap menyeringai puas memandang gue.

Cewek iblis! Nggak butuh Sherlock Holmes untuk tahu kalau dia cawe cawe dalam test tim basket.

****
Jangan lupa vote ya.

Magnetic Loveजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें