21. Hesti

276 44 9
                                    

OMG...."Alif?" Sontak wajah gue memanas dan gue berbalik menghadapnya, menjaga jarak sedikit dari dia.

Tanpa basa basi, telunjuk Alif menghapus air mata yang mengalir dari ujung kantung mata gue. Lembut dan penuh perhatian. Gue langsung membuang wajah, menghapus air mata.

"Kelilipan debu doang ini."

"Sendirian aja?" tanya Alif, menepuk penuh perhatian kepala gue. "Apa nggak takut diculik?"

Sontak beberapa mahasiswi bilang nyaris serempak. "Ouh so sweet banget. Mana ganteng pula. Apa mereka pacaran, ya?"

Pipi gue semakin panas, ketika tahu jadi perhatian mereka. Gue bilang, "Bikan, kami nggak pacaran kok. Serius."

"Tuh kan, mereka kakak adik doang."

Gue memandang datar mereka. Apa karena badan gue kecil, dibilang kakak adik.

Ketika gue mau menjawab, bus kembali mengerem. Badan gue terdorong maju, mendarat ke dada bidang Alif.

"Hati - hati," bisik Alif di tengah suara Mahasiswi yang semakin riuh.

Panik gue, gue bilang, "Eh, anu. Gue nggak pernah melihat lo naik bus jurusan Marina. Nyasar, kah?"

Dia menggeleng. "Mungkin kita beda bus terus selama ini."

Gue punya firasat.... "Lu nggak stalking-in gue kan?"

"Ya nggak lah. Emang rumahku disana. Rumah kamu juga di sana?"

Gue mengangguk. "Di Margorejo Indah. Tahu?"

Dia mengangguk kecil.

"Emang rumah lo Marina mana, sih?" tanya gue. "Kok gue nggak pernah ketemu lo selama ini?"

"Ya nggak tahu, mungkin kita beda jalan ke SMP?" Dari raut wajahnya yang sedikit berubah sungkan, gue rasa dia nggak tahu daerah Margorejo, tapi sok tahu.

Gue tambah penasaran sama nih cowok. Sebenarnya dimana rumah dia?

Tiba - tiba bus mengerem lagi dan gue didorong ke depan mendarat ke dada keras nan nyaman milik Alif. Pas gue mau menjauh, bus ngerem lagi. Kali ini wanita berbadan besar oleng dan mendorong punggung gue buat masuk lebih dalam ke dekapan Alif.

Sekarang bukan hanya dada gue yang mendarat ke dada Alif, tapi semua tubuh bagian depan seperti magnet nempel ke tubuhnya. Plus buat menjaga keseimbangan, tangan gue nggak sengaja melingkar ke pinggang dia.

"Maaf Dik, busnya ugal - ugalan," celetuk wanita berbadan besar, mendorong gue lagi pas busnya mengerem.

"Nggak apa - apa, Tante," sahut Alif.

Ya nggak apa - apa baginya. Bagi gue ya apa apa. Duh, jadi sungkan sama Alif, tapi mau bagaimana lagi, keadaan padat begini. Jangankan gerak, mau nafas saja susah.

"Maaf Lif. Situasi membuat posisi kita rada aneh."

"Nggak apa - apa. Sebentar, ya."

Alif menggiring gue buat mepet kursi, terus dia membelakangi gue dengan satu tangannya meremas sandaran kursi di depan gue dan satu lagi ke rell atas. Setiap kali wanita berbadan gede terdorong, Alif menahan tubuh besarnya dengan badannya sendiri, membuat gue bebas dari serangan beliau.

Gue mesem, sesekali mengintip wajahnya yang terlihat cakep dari bawah.

Di dekatnya, gue merasa aman. Seperti ada malaikat yang melindungi gue. Dan gue mulai terbiasa dengan parfum lembut aroma vanilla Alif. Aroma mirip kue tart manis yang membuat betah, nyaman, dan lapar. Gue juga merasakan debaran aneh yang semakin kencang muncul dalam dada gue setiap kali menghirup aroma khas Alif.

Magnetic LoveWhere stories live. Discover now