17. Hesti

308 46 13
                                    

"Udah Hes, udah, nggak ada gunanya ngelawan senior," ujar teman gue, menarik gie mundut.

"Mungkin bukan keberuntunganmu," sambung teman lain. "Masih banyak kegiatan ekstra lain, kan?"

"Benar Hes, ikut kegiatan ekstra lain saja," sambung yang lain.

"Kegiatan ekstra lain?" Gue menyeringai, menepis tangan mereka pada lengan gue. "Tahu apa lo semua tentang cita - cita?"

Gue menghadapi senior luknut. "Gue udah nunggu lama di sini."

Dengan sok berkuasa, senior luknut mendorong dada kanan gue pakai telunjuk.

"Waktu tes sudah habis. Ngerti nggak?"

"Nggak, nggak ngerti." Jawab gue. "Tuh tim cowok masih ngadain test, ngalain lu berhenti?"

"Ya suka suka aku dong."

"Gue tahu. Lo babunya Dhea, kan?"

Alis tebal senior luknut terangkat. "Maksud lo babu apa, hah?!"

Belum sempat gue menjawab, tiga senior lain datang. "Icha, ada apa ini? Kenapa ribut sama junior?"

Senior luknut bernama Icha nuding muka gue. "Nih bocah ngajak ribut. Lah dia gagal test kok nyolot."

"Bohong!" Jawab gue. "Gimana mau berhasil, lah ikut test aja dilarang."

Senior yang baru datang bertukar pandang dengan dua temannya. "Maksudmu dilarang gimana?"

Gue jelasin kalau Icha luknut melarang gue ikut test dengan alasan waktu test habis.

Senior aik hati berdecak kecil. "Cha, gimana sih? Waktunya masih lama, kan?"

"Rin, kau nggak usah ikut campur deh. Yang dipasrahin jadi pengetes oleh Bu Siska tuh aku, bukan kamu."

"Ya tetap aja, alasanmu tuh apa?" tanya senior baik hati bernama Rin. "Biar dia ikut tes."

"Oke, nih, buruan tembak bolanya." Kasar Icha melempar bola ke gue.

Buru buru gue ke tengah lapangan, mengambil kuda - kuda. Udah biasa gue ngelempar bola basket, bahkan dari lokasi lebih jauh dari ini.

Berhubung gue badood, yasudah dari tengah lapangan aja. Gue melempar bola dan bolanya masuk ke ring. Setelah show off, gue yakin lolos tes. Masalahnya ada si luknut.

"Gagal!" sahut Icha, menghadap Rin. "Puas kau?"

"Gue masukin bola!" Sahut gue.

"Terus?" Senior menjawab. "Banyak orang bisa masukin bola, nggak cuma kamu, dan mereka ya gagal, goblok!"

"Hei, dia memasukkan bola dari tengah lapangan. Dia punya bakat, kenapa gagal?" Protes Rin.

"Ya terserah aku dong." Senior luknut menjawab. "Lagian kamu siapa?"

"Dia sengaja gitu Kak," jawabku. "Disuruh Dhea dia tuh."

"Heh bangsat, nggak usah ikut bacot kau!" Sahut Icha, mendorong kasar gue hingga gue mundur.

"Woi, nggak usah kasar juga keles!" bentak Rin, mendorong Icha.

Situasi lapangan semakin gaduh hingga menyita perhatian lebih banyak murid, bahkan tim basket putra ikut datang.

Seorang gadis muda seumuran Kak Radit tiba bersama mereka. Dari suit jaket yang dia kenakan, sepertinya guru.

"Sudah, sudah. Jelaskan ada apa ini," kata bu guru.

Rin menjawab, "Nih si Icha, main stop tes, padahal waktu tes belum habis."

"Bohong Bu." Icha menjawab. "Itu saya sudah boleh test, tapi dia gagal."

"Ibu lihat dia masukin bola tadi. Gagalnya dari mana?"

Icha terdiam seribu bahasa. Jelas dia nggak mempersiapkan kehadiran Bu Siska, guru olah raga di lapangan.

Bu Siska berdecak keras. "Udah, sekarang aku ambil alih penilaian tes. Namamu siapa, Nak?'

"Hesti Bu."

"Yaudah, ambil bola, ikuti perintah ibu. Ririn, bantu Hesti test."

Ririn mengangguk. Sekarang dia berhadapan denganku. Bu Siska menyuruhku melewati Ririn.

Susah banget, Ririn pro player basket. Tapi gue nggak nyerah begitu aja. Dengan segala teknik yang selama ini gua pakai, gue berhasil melewatinya sebelum bola dia rebut.

"Well, hebat juga kamu," puji Ririn.

"Makasih Kak."

"Ayo semangat yuk. Aku yakin kalau kamu latihan bersama kani, kamu bakal menjadi senjata rahasia tim basket putri Gakaya."

Di puji Kak Ririn membuat gue grogi akut, alhasil bola berhasil direbut dengan mudah.

Ririn tertawa kecil. "Ini juga test loh, namanya test konsentrasi."

Setelah dites rebutan bola, tes selanjutnya drible, lalu tes tembak, diterusin dengan tes oper dan terima. Yang terakhir melakukan rebound.

Nyaris semua penonton bertepuk tangan. Bahkan, Bu guru ikut bertepuk tangan.

"Bagus, kamu lolos tes," kata Bu Siska. "Selamat ya."

Ririn menoleh mencari - cari Icha, tapi nggak ketemu. "Mewakiki Icha, aku minta maaf atas insiden di lapangan."

"Santai saja, Kak."

"Dan kamu harus terima kasih sama cowok itu." Bu Siska memandang sambil senyum sosok Alif Tyas. "Dia tadi manggil ibu di ruang guru."

Gue mendapati Alif berdiri bersandar tembok sambil menyembunyikan kedua tangan ke saku celana. Satu kakinya melipat ke belakang. Gaya yang menurut gue cool abis.

Ririn menepuk punggung gue dari belakang. "Temuin gih, bilang makasih sama cowokmu."

"Bukan, dia bukan cowok gue Kak, serius."

Tetap saja Ririn menyorong gue maju. Dorongan terakhir lumayan keras hingga gue terdorong ke depan nyaris jatuh. Gue udah nggak bisa lari lagi ketika Alif mengumpan senyum manisnya kepada gue. Mau nggak mau, gue harus nemuin Alif.

Sambil melangkah gue menoleh ke kiri dan kanan, mencari Dian yang menghilang seperti kucing ketahuan mencuri ikan tongkol. Tuh anak kalau dibutuhkan selalu menghilang. Giliran gak dibutuhkan, datang seenak jidat sendiri.

"Gimana, sukses tes basketnya?" tanya Alif.

Sedikit mendongak gue pamer gigi putih sebelum menjawab, "Yup. Gitu deh. Hesti gitu loh, pasti berhasil, lah."

Gue kaget ketika dia menepuk nepuk kepala gue. Nggak cukup seperti itu. Dia mengusap kepala gue dan itu membuat gue melayang.

Gue menggembungkan pipi menutup kepala ketika tangannya menjauh. "Ish kamu nih. Kayak ke anak kecil aja."

"Hahaa, maaf maaf. Nggak sengaja. Habis kamu imut sih."

Aku tinju dadanya nggak kencang, seperti meninju tembok. Lumayan bidang dads Alif. "Be the way, makasih ya, sudah di tolong."

"Huh? Aku nolong apa coba?" Sepertinya dia berpura - pura kaget.

"Hish, nggak usah pura pura. Kamu yang manggil Bu guru, kan. Makasih ya, sudah mau bantu."

"Oh, itu, tadi tuh aku bilang ke beliau, Bu, ada anak SMP tuh nyamar jadi anak SMA."

Gue mencubit perutnya yang keras hingga dia ketawa tawa. Sumpah nih cowok gemesin banget. Baru kenal juga, sudah seperti kenal lama. Dia gampang bergaul.

Di kejauhan gue mendapati Desta sedang bicara dengan Dhea bersama Sherin. Cih, memuakkan. Ternyata dia temenan sama Dhea, manusia setengah iblis yang membuat hidup gue bak di neraka. Awas aja lu Desta. Gue bakal buat perhitungan.

Tiba - tiba telapak tangan Aktif gerak di depan wajah gue. Kaget lah. Gue tabok lengannya.

"Apaan sih?"

"Hayo lihat siapa?" Oh, lihat Desta, ya. Kenalanmu?"

Gue mengangguk.

***
Jangan lupa vote ya. Terima kasih.

Magnetic LoveWhere stories live. Discover now