Part 5 : XI-MIPA 1

Mulai dari awal
                                    

Karena Ziva memang bukan termasuk kategori gadis yang lemah lembut, tanpa banyak bicara kakinya melangkah masuk begitu saja mengabaikan seorang siswa yang sepertinya sedang menyampaikan pengumuman penting didepan. Ziva mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas, lelaki itu tidak ada.

Hanya informasi, saat ini masih pagi, masih waktu KBM aktif. Untungnya kelas MIPA 1 belum kemasukan guru. Ralat, belum ada gurunya.

Ziva melangkah mendekati meja kedua gadis itu dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Tak peduli siswa yang sepertinya bergelar ketua kelas meneriaki namanya didepan kelas.

"Heh! Kamu siapa? Mau ngapain hah?!" kedua tangannya direntangkan menghalangi jalan Ziva.

"Gue gak punya urusan sama lo! Minggir!" usir Ziva.

"Kamu itu siapa?! Masuk kelas orang sembarangan!"

"Hiiih!! Minggir dulu bangs-"

"Heii!!" tiba-tiba riuh satu kelas. Ziva menghentikan ucapannya lalu mengedarkan pandangannya. Dia baru sadar ini bukan lingkungannya, haha..
Seketika Ziva mengangkat kedua tangannya dan cengengesan tidak jelas.

"Oke-oke!! Gue kesini cuma mau ada urusan bentar sama dua orang disana," tunjuk jarinya kearah Risa dan Sava kemudian melangkah kearah mereka.

"Istirahat kedua temui gue di kantin oke?" putus Ziva.

"Kenapa harus?" Risa buka suara.

"Eits, tanpa ada penolakan!"

Karena Risa merasa tatapan disekitarnya serasa mengintimidasinya, diapun mengangguk tanpa menunggu kesepakatan Sava.

"See you!!" Ziva keluar kelas dengan siulan dan tangan yang dilambaikan.

■■■

"Sampai disini, apa ada yang ingin ditanyakan?" tanya Bu Farah, guru fisika yang paling mulia, yang amat sangat disenangi oleh murid didiknya, yang membuat kalian semakin jatuh cinta pada fisika.

"Bu, bagaimana jika hukum Hooke melampaui batas elastisitas?" Reza mengacungkan tangannya bertanya.

"Seperti yang ibu jelaskan tadi, jika gaya tersebut diberikan jumlah yang terus bertambah, maka benda tersebut akan atau justru bisa rusak. Sehingga hukum Hooke hanya berlaku hingga batas elastisitas saja," bunyi bel istirahat terdengar tepat setelah kata terkahir yang diucapkan Bu Farah.

"Baik anak-anak, untuk hari ini cukup sampai disini saja, pertemuan berikutnya saya berharap kalian telah memahami apa yang saya sampaikan tadi. Terima kasih atas perhatiannya, jika kalian masih perlu bimbingan lanjut, silahkan temui saya dikantor. Saya akhiri, Wassalamualaikum wr.wb."

Ucapan salam terdengar menggema di kelas XI-MIPA 1. Setelah Bu Farah menghilang di ujung pintu, siswa-siswi berhamburan keluar. Entah itu memuaskan cacing-cacing di perut mereka atau mencari buku-buku di perpustakaan. Tak sedikit pula yang menetap di kelas, entah menyalin tugas, berghibah kelas sebelah, atau makan bekal dari rumah. Salah satunya Risa dan Sava yang tengah berbicara diantara keributan teman-temannya.

"Ehm, sorry tadi aku mutusin sepihak. Soalnya juga nggak enak diliatin temen-temen. Kalo emang nggak mau ketemu sama anak tadi, aku pergi sendiri aja.." jelas Risa pada Sava yang masih mencoret buku di mejanya.

"Nggak masalah, aku tinggal dikit tugasnya," Sava menutup buku tugasnya, lalu beranjak dari kursinya mengikuti Risa yang berdiri disampingnya.

Selama perjalanan menuju kantin Risa dan Sava tampak enggan untuk saling berbicara. Mereka berhenti saat mendapati meja kosong dipojok kanan kantin. Ditarik dua kursi didepannya, lalu mereka duduk dan tak lupa hembusan napas lelah yang terdengar dari masing-masing mulut mereka.

Srreekk..

Oke. Itu tadi gerakan kasar saat menarik kursi dari tangan Si bar-bar Ziva. Rasanya berbeda, duduk diantara kawanan tak tau aturan dengan dihadapkan siswa teladan. Itu yang Ziva rasakan.

Risa dan Sava menatap Ziva dengan tatapan penuh minta penjelasan. Tak sungkan-sungkan Ziva tiba-tiba terkekeh. "Ternyata gini ya rasanya duduk sama bocah pinter, haha!!"

"Oke, karena gue emang nggak suka bac--eh maksud gue basa-basi, jadi langsung intinya aja. Gue tertarik ama salah satu temen sekelas kalian. Kalo nggak salah namanya Ag..ra? Ada?" Ziva memastikan nama siswa itu.

Risa mengangguk.

"Bener kalo gitu! Gue punya inisiatif buat deket sama dia. Karena dia termasuk salah satu dari kaum kalian, yang artinya beda jauh sama kaum gue, maka kali ini gue deketinnya bukan sembarangan." Ziva menjeda.

"......" hening.

"Jadi?" Risa buka suara mempercepat pembicaraan.

"Jadi, karena hanya kalian berdua yang gue kenal, maka dari itu gue mau minta tolong sama kalian buat bantu deketin gue sama Agra, paham?"

"Sebenernya bukan gue ngemis bantuan sih, kaliannya aja mau atau nggak tetep harus mau!" putus Ziva sebelum dua gadis didepannya angkat bicara.

"Kalo nggak?" kali ini Sava yang buka suara.

"Kan udah gue bilang, mau nggak mau gue gak peduli! Kalian harus mau!" Ziva melipat kedua tangannya dan bersandar di kursinya.

"Kenapa kita harus mau? Kamu siapa berhak atas kita?" Risa mulai merasa kesal dibuatnya. Memang siapa Ziva? Kalaupun berbicara tentang bantuan, bukannya saatnya Risa, Sava, ataupun yang hadir saat wawancara kemarin yang minta balas budi? Astaga, kenapa jadi tidak ikhlas seperti ini!

Ziva bungkam. Dia tertegun mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut Risa. Benar, dia siapa mereka? Harusnya dia yang berbalas budi pada mereka, kenapa dia yang memaksa? Tapi Ziva tetaplah Ziva. Dia akan melakukan apapun demi mendapatkan keinginannya.

■■■

Sorry guys, di part ini banyak mengandung kata-kata kotor. Mohon dimaklumi! Karena memang disesuaikan untuk karakter tokoh yang dibuat.

Gimana nih menurut kalian? Kira-kira Risa dan Sava setuju atau tidak ya?..

Nantikan part selanjutnya, see you next time..

-OppaThinking-

Gurl's [Omega High School]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang