"NO yah, Aca mau ketemu Bima sekarang. Ayah lepas! Hiks.." Aca menangis, ia kalut.

"Oke, kita kesana. Ayah cari kursi roda dulu, kamu tunggu sebentar." Dan Hera segera memeluk tubuh Aca yang bergetar hebat, ingatkan jika Aca harus terhindar dari sebuah tekanan.

*****

Kursi roda yang Aca duduki berhenti di depan pintu sebuah kamar inap, Aca menatap kosong pintu kamar itu. Aca belum siap untuk melihat Bima yang terbaring disana, sejauh ini Bima adalah lelaki kuat yang selalu menjaganya. Jadi apa yang terjadi pada Bima?

"Ayah, biar Aca berdiri dan berjalan masuk kesana. Aca gak mau Bima khawatir sama Aca kalau lihat Aca pakai kursi roda."

Yendra tertegun, bagaimana Bima khawatir pada Aca saat melihat Aca menggunkan kursi roda sedangkan Bima saja sedang tak sadarkan diri.

"Sayang, tapi-"

"Aca mohon yah."

Yendri menengok kearah istrinya, meminta persetujuan. Dan Hera hanya bisa menganggukan kepalaya.

"Ya sudah, ayah bantu."

Aca berdiri di bi bantu Yendri, sedang Hera membantu memindahkan kursi rodanya. Aca berpegangan pada tiang infusan dan mencoba melangkah dengan kaki yang sedikit lemas, Yendri mendorong pelan pintu kamar itu hingga menampilkan tiga orang yang beri membelakanginya. Sepertinya ketiga orang itu tak menyadari keberadaan Aca dan Yendri serta Hera karna tengah asik berdebat.

"Lihat, gara-gara kamu Bima terluka! Dia gak bisa ikut pertandingan dan koleps, bahkan detak jantungnya melemah!"

Aca melangkah pelan mendekati ketiganya, menatap bingung kearah Nia yang terlihat begitu marah pada- Bagus yang terlihat menundukan kepalanya dalam.

"Kalau aja kamu gak egois, Bima gak akan seperti ini Bagus! Mami sayang kalian, Mami gak pernah membedakan apapun tentang kalian. Dan semarah apapun kamu sama Bima, kamu gak pernah berani memukul Bima sekeras itu!"

"Pukulan kamu berakibat patal buat adik kamu Bagus!" Nia terisak, Tio dengan segera menarik sang istri kedalam pelukannya.

Dan bahkan mereka belum menyadari tiga orang yang berdiri kaku di belakang mereka, bahkan Aca sudah mengepalkan tangannya kuat-kuat dengan air mata yang sudah menetes deras di pipinya. Tenggorokannya terasa kering, jantungnya terasa di remas.

Dan kemudian, Aca menarik pundak Bagus hingga berbalik kearanya dan kemudian tamparan keras mendarat di pipinya. Nia, Tio, Hera, Yendra bahkan Bagus terlonjak kaget. Hingga tangis Aca pecah, Aca terisak menatap Bagus dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

Kedua pasang orang tua itu hanya terdiam kaget, sedang Bagus kini hanya menunduk menatap wajah terluka Aca. Aca menengok kearah Bima yang berbaring dengan selang infuse dan alat pembantu pernafasan menempel di hidungnya, dan tangisnya semakin menjadi. Ia tak menyangka lelaki yang ia sayangi bisa seperti ini di tangan abangnya sendiri yang tidak lain adalah mantan pacar Aca.

Aca kembali menatap Bagus dengan raut wajah marah, bahkan tangannya benar-benar mengepal di samping tubuhnya.

"BELUM CUKUP HAH? BELUM CUKUP LO HANCURIN GUE BAGUS!" Bagus terhenyak saat mendengar nada bicara Aca yang meninggi, setahunya Aca tak pernah semarah ini.

"Belom cukup iya? Lo hancurin hidup gue. Hiks"

"Lo putusin gue tiba-tiba, dengan bilang lo udah pacaran sama Silfi di belakang gue. Lo ngehancurin hati gue dan persahabatan gue, lo nyatikin gue dan sekarang Bima? Apa yang lo mau Bagus apa? Bilang sama gue!" Aca mecengkrang baju bagian depan Bagus dan mengguncang tubuh itu, Bagus terdiam dan tak mampu berkutik.

Telinganya mendengar setiap curahan hati Aca yang bahkan baru kali ini ia dengar, oke Bagus pikir ucapan Aca yang melepasnya begitu saja tanpa nemampar dirinya waktu itu menandakan Aca baik-baik saja. Tapi ternyata, gadis itu hancu karna ulahnya.

"Apa perlu gue mati dulu iya, kenapa kemarin gue selamat? Kenapa gak mati aja biar lo seneng dan gak bikin Bima kayak gini!"

"Aca! apa yang Lo ucapin hah?" Bagus balik mencengkram pundak Aca, demi apapun Bagus tak suka jika Aca sudah berbicara seperti ini. Bahkan Bagu sendiri tak menyangka semua hal akan serumit ini.

Kedua pasang orang tuha hanya diam, enggan ikut campur urusan kedunya. Tapi kedua itu sudah menangis dalam dekapan suaminya masing-masing, tak menyangka jalan kisah cinta pura dan putrinya serumit ini.

"Lo mau gue mati kan? Kenapa Gus, bukannya lo sayang sama gue? Kenapa lo jadi orang terjahat dalam hidup gue hah?" ucap Aca lemah, hingga tubuhnya melemas kalau saja Bagus tak segera menarik Aca dalam pelukannya.

Kedua pasang orang tua sudah panik karna melihat tubuh lemah Aca, tapi Bagus mengisyaratkan mereka untuk diam di tempatnya.

"Kenapa kamu jahat Gus!" racau Aca dengan isakannya.

"Ayah, bantu bawa tiang infusan Aca."

Dan tanpa aba-aba, Bagus mengangkat tubuh Aca dan membawa Aca kesofa yang berada di dalam ruang rawat itu. Bagus mendudukan Aca, sedang Aca tak beberikan reaksi apapun. Aca masih menangis, dan tatapannya tak lepas dari wajah Bagus. Menatap lelaki itu datar tanpa ekspresi.

"Kamu jahat Gus!" lagi Aca meracau.

"Ayah, Ibu, Mami dan Papi lebih baik keluar dulu. Aca biar Bagus yang tenangin."

"Tapi-"

"Ayah percaya sama Bagus."

Dan keempatnya memilih keluar dari ruangan, mereka tahu Bagus bisa menenangkan Aca. mereka juga tahu jika Bagus lebih mengenal Aca dari pada mereka, tapi yang membuat bingung adalah untuk apa mereka berpisah jika sudah sama-sama saling mengenal.

*****

"KUMU JAHAT BAGUS! KAMU ORANG TERJAHAT YANG AKU KENAL! PERGI KAMU! PERGI BAGUS.. Pergi!" Aca terus memukuli Bagus yang duduk di sampingnya, Bagus tak bereaksi lelaki itu hanya dia menatap sendu wajah Aca.

Bagus tengah bertarung dengan batinnya, ia teramat sayang Aca ia benar-benar terluka melihat Aca sepeti ini. Tapi otaknya menepis jauh-jauh rasa yang itu, ia menyayangi Aca sebagai adik dan ia tak mencintai Aca karena cintanya hanya pada Silfi.

Tapi entah kenapa hatinya ikut nyeri setiap kali Aca mengatakan jika Bagus orang jahat yang telah melukai hatinya, Aca hancur dan Aca ingin mati. Bagus pun ingin mati rasanya mendengar jeritan Aca.

Acanya yang manis, Acanya yang manja, Acanya yang selalu cerita. Kini kancur di hadapannya, Bagus benar-benar tak menyangka jika kejujurannya saat itu membuat kehancuran separah ini pada Aca. Bagus sudah menyalah artikan ucapan Aca, Aca tak sekuat dan setegar yang Bagus lihat saat kejujuran itu telontar. Aca remuk tak terisa, dan bodohnya Bagus seakan tutup mata Karna itu.

"Aca mau mati aja, Aca capek hiks. Semua orang nyalahin Aca hiks." Pukulan Aca melemah dan Bagus kembali menarik Aca dalam pelukannya, mengelus lembut punggung Aca.

Bagus memejamkan matanya, meredam segala sesak di dadanya. Bagus menyesal, menyesal? Oke apa Bagus menyesal memutuskan Aca? tapi sayangnya otaknya lagi-lagi menyangkal jika ia tak menyesal, hanya saja ia tak sanggup melihat Aca serapuh ini.

"Aca, jangan ngomong begitu."

"Tapi Bagus jahat, Aca rindu Bagus yang dulu. Sayang Aca, perhatian." Ucapan Aca seperti angin, halus lembut dan lemah di dengar oleh Bagus.

Bagus menatap kearah Bima yang masih berbaring tak sadarkan diri, ya Tuhan apa Bagus benar-benar jahat?

"Aca cape Bagus."

"Sut, Aca tidur ya. Aca istirahat." Bagus semakin erat memeluk tubuh Aca.

Suara Aca masih terus terdengar menggumam jika ia cape dan lelah, jika Bagus adalah orang terjahat dalam hidupnya. Hingga semakin lama tubuh Aca melemas dan suara gumaman itu hilang di gantikan dengan suara nafas teratur. Aca tertidur di dalam pelukannya.

"Maafin aku Ca, maaf." Dan entah dorongan dari mana Bagus mengecup kening Aca, melepaskan rasa sesak yang menghimpit rongga dadanya.

_________________________________________

Jangan lupa vote dan komentar yaaaa!!!

Betrayal of Love [LENGKAP☑️]Where stories live. Discover now