━ I don't wanna fight anymore, i'm just too tired ━

12.5K 1.5K 184
                                    

WARNING!

Cerita ini mengandung beberapa konten sensitif seperti suicidal behavior, suicidal thoughts, self-harm, dan banyak lagi.


Be ware







BLAM

Jeno menutup pintunya rapat dan menguncinya, lalu ia membuang kunci itu ke sembarang arah tanpa peduli kunci itu akan hilang.

Tubuhnya merosot jatuh, dengan tubuh yang bersandar pada daun pintu. Disembunyikan kepalanya di antara lipatan lengannya. Terisak pilu dengan raga yang menyendu.

Airmatanya luruh dengan deras. Ia abai pada kepalanya yang masih mengeluarkan cairan merah berbau anyir.

Sakit. Semuanya sakit baginya. Tubuhnya, hatinya, jiwanya, semua sakit. Tubuhnya sakit setelah menerima beberapa cambukan dari ayahnya. Hatinya sakit mendengar semua umpatan, hinnaan, caci maki dari orang-orang di sekitarnya. Jiwanya sakit menerima semua tekanan dan tuntutan ini.

Di luar kamarnya, masih bisa ia dengar pertengkaran kedua orangtuanya dan kakaknya yang masih juga belum selesai. Ia menutup kedua telinganya rapat, mencegah suara-suara itu menyeruak masuk ke dalam pendengarannya.

Matanya terpejam erat, bibirnya sesekali mengeluarkan rintihan, dan air matanya tak kunjung reda.

Jeno semakin menutup rapat telinganya saat sebuah suara asing masuk dalam pikirannya.

"Kamu itu bodoh, gak berguna. Mending mati aja"

Itu suara ayahnya. Terdengar begitu dekat. Ia menoleh ke segala arah untuk memastikan di mana posisi ayahnya berada. Namun yang ia temukan hanya kamarnya yang kosong dan h. Hanya dirinyalah yang menghuni. Tidak ada siapapun.

"Kamu ini bisanya apa? Apa-apa gak bisa. Lihat kakak kamu itu! Dia bisa melakukan apa aja, gak kayak kamu!"

Kini suara ibunya yang terdengar. Jeno kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamarnya. Ia benar-benar sendirian. Jeno semakin menarik rambutnya, berharap suara-suara itu segera hilang dari pikirannya.

"Ck. Menyusahkan"

Suara asing yang baru saja masuk itu adalah suara kakaknya. Tangannya merambat untuk menarik rambutnya sendiri. Semua rasa sakit itu tak kunjung mereda.

Jeno mengangkat kepalanya, menatap pada pantulan cermin di hadapannya. Bisa dilihatnya ada banyak orang di dalam cermin itu. Ayahnya, ibunya, kakaknya, Jaemin, dan teman-temannya yang lain. Mereka terlihat tengah menatap Jeno dengan pandangan merendahkan. Seakan mereka tengah memojokkan Jeno.

"AAAARRRGGHH" ia berteriak histeris saat rasa sakit itu semakin menusuk kepalanya.

Ia terjebak dalam delusi. Tak bisa membedakan antara kenyataan dan ilusi.

Bangkit dari posisinya dan berjalan menuju cermin di dalam kamarnya.

PRANG

Bunyi pecahan kaca itu terdengar nyaring menusuk telinga. Pecahannya berubah menjadi kengingan, berantakan, berserakan. Nafasnya memburu, matanya memincing tajam, dan tangannya kini dipenuhi luka akibat terkena pecahan kaca. Benar, ia baru saja menghantam cermin dengan tangan kosong.

Dengan tangan yang bergetar hebat, Jeno mengambil serpihan kaca berukuran besar. Mengarahkannya ke arah lengannya. Menggoreskan dengan perlahan, menimbulkan luka baru di tubuhnya.

Satu goresan.

Dua goresan.

Tiga goresan.

Tidak peduli seberapa banyak goresan yang telah ia buat. Ia hanya ingin rasa sakit di hatinya teralihkan. Namun, ia tak lantas menemukan ketenangan bahkan setelah melukai dirinya sendiri.

Ia buang kepingan kaca itu. Berjalan menuju tempat tidurnya hanya untuk mengambil gawai pintarnya. Mengetikkan pesan pada kontak seseorang dan mengirimnya sesegera mungkin.

Jaemin

1330|


"Kalau kalian menyuruh ku untuk mati. Baiklah, maka aku akan menjemput kematian itu sendiri"

Ia mematikan gawai pintarnya. Kemudian melangkah menuju nakas, mengeluarkan sebotol obat dari dalam laci. Obat yang ia beli secara ilegal. Obat yang sering ia gunakan. Anntidepresan.

Dikeluarkannya butir-butir obat itu, menggenggamnya dengan tangan yang bergetar. Sekiranya ada 10 butir obat dalam genggamannya.

Jeno menelan perlahan semua obat itu. Membiarkan tubuhnya bereaksi dengan obat itu.

Tak berapa lama, ia sudah dapat merasakan reaksi dari obatnya di dalam tubuhnya.

Nafasnya mulai tak beraturan dengan detak jantung yang memacu lebih cepat dari biasanya. Ia berusaha untuk menenangkan dirinya. Jeno menyalakan pendingin ruangan karena dirasa suhu ruangan yang meniggi. Bisa ia rasakan keringat yang mulai berjatuhan.

Ia berjalan kesana kemari berusaha meredakan rasa pusing yang mendadak menyerang.
Ia mencengkeram perutnya yang tiba-tiba saja keram. Merintih saat rasanya semakin menyakitkan.

"S-sakit" nirta bening itu tak terbendung lagi. Jeno terisak menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

"Sakit.. T-tolong. S...siapapun t-tolong" suaranya semakin melemah, bahkan terdengar seperti bisikan yang hanya dirinya yang bisa mendengar.

Sedetik kemudian ia memuntahkan isi perutnya. Rasa sakitnya tak tertahan lagi.

Ia jatuh terduduk dengan tangan yang beralih mencengkeram dadanya yang nyeri. Ia menepuk dadanya beberapa kali, berharap rasa nyeri itu hilang. Jeno tidak tahu bahwa efek sampingnya akan sedahsyat ini. Padahal ia hanya berharap mendapatkan ketenangan.

Tubuhnya mulai mengejang dengan busa yang keluar dari mulutnya. Dan sebelum ia kehilangan kesadarannya ia masih bisa mendengar seseorang memanggil namanya berulang kali.

Suara terakhir yang ia dengar adalah sebuah dobrakan pintu dan teriakan seseorang yang ia yakini adalah suara kakaknya.

"Jen- JENOOOO!!"

Dan semuanya gelap.



_______________________________

Yah jenonya mati :<

Btw aku suka banget sama respon kalian di Chapter kemarin, rame :>

Breathe《Lee Jeno》Kde žijí příběhy. Začni objevovat