━ Dunia Lagi Gak Ramah ━

9.8K 1.2K 81
                                    



Jeno hari masuk sekolah seperti biasa. Ia berangkat dengan suasana hati yang baik-baik saja. Hari ini kebetulan ada rapat osis, yang kebetulan juga ia adalah salah satu anggotanya.

Saat jam pelajaran dimulai, ia dan Renjun yang juga masuk dalam organisasi yang sama segera menuju ruang Osis ketika ada panggilan. Ketika mereka sampai, ternyata sudah ada beberapa anggota yang telah berkumpul.

"Jeno, silahkan pimpin rapatnya" titah sang guru yang juga merupakan pembina osis.

"Baik bu"

Beberapa hari lalu, Jeno terpilih untuk menjadi ketua panitia dari acara sekolahnya. Ia sebenarnya menolak posisi itu, namun desakan dari kawan-kawan satu organisasinya yang membuatnya mau tak mau harus menerima posisi penting itu.

"Teman-teman mohon perhatiannya" ujar Jeno mencoba mengambil atensi teman-temannya.

Mereka semua yang berada di sana tidak ada yang menggubrisnya. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Jeno mencoba sekali lagi, namun hasilnya tetap sama, tidak ada yang memperdulikan dia.

"Teman-teman tolong perhatikan ketua kita" ujar Soobin yang merupakan wakil ketua panitia.

Ajaib, mereka semua langsung memperhatikan Jeno yang memimpin rapat. Sedangkan Jeno, ia hanya tersenyum pahit saat dirinya tidak dihargai oleh teman-temannya.

"Baik, kita mulai rapatnya sekarang" final Jeno.

Rapat berjalan dengan lancar, meski terjadi sedikit perdebatan tadi. Dan ketika rapat telah selesai, belum ada yang beranjak dari sana, mereka masih di sana membentuk kelompok-kelompok kecil untuk saling bercerita. Sama halnya dengan sang wakil ketua panitia dan ketua osis yang berada tepat di sebelah Jeno.

Jeno kini tengah membaca beberapa proposal dan dokumen untuk kelangsungan acara yang ia tangani esok. Ia duduk dengan tenang dan berkonsentrasi sebelum rungunya mendengar beberapa bisikan dati orang-orang di sekitarnya yang membicarakan dirinya.

"Kenapa harus Jeno sih yang jadi ketuanya?"

"Padahal menurutku cocok Soobin yang jadi ketua"

"Dia gak pantes jadi ketua, gak ada wibawanya"

"Dia gak ada apa-apanya dibandingkan Soobin"

"Soobin lebih bisa diandalkan ketimbang dia"

"Aku gak suka sama dia"

"Soobin lebih hebat dari Jeno yang tadi cuma bisa diam saja seperti orang bodoh"

Jeno hanya diam. Ia mencoba mengabaikan bisikan-bisikan itu. Ia mencoba menulikan telinganya, lalu kembali fokus pada kegiatannya. Namun, urung ia kembali fokus, rungunya menangkap pembicaraan dua orang yang berada tepat disampingnya, si wakil panitia dan si ketua osis.

"Bin, kenapa gak kamu aja yang jadi ketuanya?"

"Aku juga maunya seperti itu, tapi ini kan maunya yang lain"

"Lihat kan tadi, dia bahkan gak bisa memimpin rapat dengan baik, bahkan harus dibantu sama kamu"

"Iya, sepertinya kita salah memilih ketua"

"Dia gak becus jadi ketua"

"Jadi menyesal kemarin gak mencalonkan diri jadi ketua"

"Kalo gak ada kamu tadi, rapat gak akan jalan kalo dia yang mimpin"

Jeno hanya bisa tersenyum getir mendengar semua bisikan itu. Sakit? Tentu. Siapa yang tidak sakit ketika mendengar ada orang yang membicarakanmu. Tapi ia bisa apa? Ini jalannya, ia harus terima semua konsekuensinya juga risikonya. Ia tidak bisa marah.

.
.
.



"Kenapa Jen?" tanya Jaemin begitu ia dan Renjun sampai di kelas selepas rapat.

"Gapapa Jaem"

"Bohong"

"Aku serius, aku gapapa"

"Bohong dia Jaem, tadi di rosis banyak yang ngomongin dia, biasalah netizen banyak nyinyirnya" sahut Renjun.

"Tuh kan kamu bohong"

"Tapi aku gapapa kok, beneran" yakin Jeno.

"Kalau capek, bilang"

"Iya"

"Gak semuanya bisa kamu genggam sendirian"

"Aku cuma capek aja dibandingin terus" tutur Jeno. Nada bicaranya terdengar lelah.

Tangan Jaemin terangkat untuk mengusap bahu sahabatnya, berusaha untuk memberikan kekuatan untuk sahabatnya itu. "Kamu punya aku, kamu bisa cerita ke aku semuanya"

"Iya makasih ya"


.
.
.
.


Jeno menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu kamar mandi sekolahnya. Setelah berbicara dengan Jaemin sebentar, ia langsung pergi ke kamar mandi untuk menenangkan dirinya.

Pemuda berambut hitam legam itu memejamkan matanya seraya menghela napas panjang. Nafasnya terasa berat, seperti ada yang menghimpit dadanya hingga menyesak. Semua keruwetan dalam pikirannya, ia mencoba untuk meringankannya.

Ia lelah. Harus jadi ini, harus jadi itu. Harus seperti ini, harus seperti itu. Lelah sekali ternyata memikul beban dunia. Ketika ia sudah berusaha semampunya, namun tetap saja dibandingkan dengan yang lainnya. Padahal nyatanya, jalan hidup masing-masing dari kita akan selalu berbeda. Apa yang ada di pikiran kita berbeda. Apa yang kita rasa, tidak sama. Cara kita memikirkan hari esok harus bagaimana itu perihal masing-masing jiwa. Semua tidak bisa dipukul rata.

Pada akhirnya hati ini hanya ingin diakui untuk sesuatu yang hanya kita miliki, tanpa harus dibuat kecil dengan cara dibandingkan.

Percayalah, ia pun telah berusaha.

Tolong jangan dibanding-bandingkan dengan mereka.


(buka aja udah)


_____________________________

Cerita di atas adalah true story kehidupan ku. Terjadi pas kelas 2 sma.

Satu pertanyaan untuk kalian hari ini

Are you okay?

Pulang yuk,
Dunia lagi gak ramah

Breathe《Lee Jeno》Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin