Bab 10

158 18 0
                                    

"Tidak ada lagi yang datang ke sini," kata Eleni saat turun dari motor dan menatap papan nama sebuah gedung tua.

"Maksudmu tidak ada lagi anak gaul yang mau datang ke sini," tegas Romero sambil menuntun Leni memasuki sebuah celah dari gerbang berbahan dasar seng dan triplek.

Halaman gedung ini dipenuhi ilalang dan banyak sampah plastik yang sudah memudar, sementara bagian atas terpampang poster film jadul dari kain. Beberapa tukang sayur menaruh barang dagangannya di depan gedung ini, menambah kumuh suasana.

Romero mendatangi loket tiket dan tidak mendapati siapapun di sana, ia mengetuk kaca berkali-kali sampai seseorang bangun dari bawah. Seorang kakek berkemeja lusuh, dengan sigap memberikan dua buah tiket pada Romero seharga 8000 rupiah, lalu kedua tiket tersebut diberikan pada Eleni.

Leni membaca dengan tidak percaya dua lembar tiket berwarna biru tersebut, bertuliskan President Theater jalan Jembatan Merah. "Film apa yang masih diputar?"

"Entahlah, tak pernah ada jadwalnya. Kita lihat saja nanti, " jawab Romero.

Mereka melewati seorang tunawisma berselimutkan kardus tengah tertidur di samping pintu masuk. Bau pengap langsung tercium oleh Leni ketika memasuki ruang teater satu, beberapa titik cahaya menembus dari atap yang bolong. Kursi-kursi merah itu sudah robek di sana-sini, banyak di antaranya tertutupi oleh debu. Romero memilih jajaran atas dan membersihkan kursi yang akan mereka duduki dengan koran bekas dari lantai.

Ternyata mereka tidak sendirian karena, di jajaran bawah terdapat beberapa penonton. Mereka terpencar di sisi kanan dan kiri, terdapat satu di kursi paling bawah dan berisi seseorang yang nampaknya sedang tertidur pulas. Sebuah suara mesin proyektor dari atas mereka terdengar dan tidak lama sebuah sinar memancar dari celah menuju layar di depan.

Film berjudul Ranjang Ternoda terpampang jelas di layar. Gambaran kota Jakarta tahun 90-an berputar, dibarengi oleh beberapa titik dan kilatan putih yang muncul setiap beberapa menit sekali. Wajah Inneke Koesherawati dan Reynaldi menghiasi layar, belum jalan setengah jam keduanya sudah sering melucuti pakaian. Ini membuat Leni bingung sekaligus risih, ia melihat Romero yang dengan santainya menikmati film tersebut. Suara desahan terdengar dari kiri bawah, seorang perempuan terlihat sedang menunduk. Suara lainnya dari kanan berasal dari seorang pria yang sibuk memegang botol aqua kosong.

"Kamu lihat itu," tunjuk Romero ketika film fokus pada wajah Inneke, "dia begitu cantik, kuat dan bebas."

Perkataan Romero menyadarkan Eleni bahwa artis yang sekarang ia lihat sudah berpakaian tertutup. "Sekarang pun dia masih cantik."

"Dia hilang sekarang, tertelan dan terbelenggu," sanggah Romero.

"Kenapa kamu bilang begitu?" tanya Eleni tepat sebelum adegan panas Inneke dengan Reynaldi.

Romero berdiri dari bangkunya dan berkata, "kemana perginya semua kebebasan dan kekuatan itu?" menunjuk ke layar.

Leni beralih pada layar dan melihat adegan panas, tanpa sedetikpun berkedip. Setiap gerakan dari adegan tersebut menyusup perlahan ke dalam pikiran Leni, ia tidak mau menutup mata ataupun berpaling sampai adegan itu selesai. Ia ingin mengerti semua yang ditunjukan Romero dan ingin merasakan kebebasan dan kekuatan. "Bisakah kamu ajari aku?" tanya Eleni samar-samar di antara desahan Inneke dan Reynaldi.

Pandangan Romero yang fokus ke film sekarang beralih pada Eleni. "Kapan?" matanya menatap dalam-dalam Eleni.

"Sekarang."

Romero membelai pipi Leni dan jarinya masuk ke dalam celah hijab, ia menarik selembar rambut dan memilinnya. "Aku nggak bisa mengajarimu kecuali kau membebaskan dirimu dahulu dari semua belenggu."

Romero & Eleni : Lagi DirevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang