[19] :: Yang Akan Irvi Lakukan

1.2K 212 3
                                    

"GIMANA ceritanya lo bisa ngasih kontak gue ke Reyki tanpa persetujuan gue dulu sih, Vi?!" tembak Disa ketika Irvi baru sampai di kelas, bahkan belum sempat duduk. Untung kelas masih kosong, sehingga tidak akan ada yang mendengar suara Disa yang volumenya tidak terkontrol itu.

"Emang salah ya, Dis?" tanya Irvi polos sembari menempati kursi di sebelah Disa. "Niatnya baik kok, mau minta maaf sama lo soal yang di perpus. Emang dia nge-chat lo yang aneh-aneh?"

"Y-ya nggak, sih!" Disa masih terlihat ngotot. "Tapi gue kaget, Vi. Sebenernya gue sebel banget sama dia, tapi dia ganteng, Vi!"

Irvi langsung tergelak. Jadi Disa kaget hanya karena mendapat chat dari cowok ganteng macam Reyki? Irvi jadi ragu, jangan-jangan Disa belum pernah kenal dengan cowok berwajah tampan sebelumnya. Sempat terlintas dalam pikiran Irvi mengenai sesuatu yang membuat Disa seperti ini. "Jangan-jangan, lo beneran naksir sama Eki ya, Dis?" tanya Disa sambil menyipitkan mata dan tersenyum menggoda. "Hayo, ngaku lo!"

"Nggak, bu-bukan gitu!" sanggah Disa cepat. "Cuma ini Reyki lho, Vi, yang gantengnya nggak wajar. Nggak sengaja bisa ketemu di perpus aja gue kaget, apalagi sekarang dia tiba-tiba nge-chat gue. Hadeh, kalau aja lo ngeliat langsung reaksi Reyki waktu itu, muka seriusnya bikin gantengnya jadi berkali-kali lipat!"

Irvi geleng-geleng kepala. Selain gila promo, Disa juga gila cowok ganteng rupanya. Baru saja ingin membalas, satu per satu teman sekelas Irvi mulai memasuki kelas, hingga jarum jam menunjukkan angka delapan lebih lima menit, dosen yang mengajar di mata kuliah pertama pun memasuki kelas. Irvi dan Disa pun terpaksa melanjutkan obrolan mereka nanti.

---

"MASIH mau ngediemin gue?"

Irvi terlonjak kaget saat Dhika tiba-tiba saja muncul di belakangnya. Saat ini ia tengah berada di kantin FIKOM, mengantri di kedai jus. Kok bisa-bisanya anak Fakultas Ekonomi sampai nyasar ke sini? Kemudian Irvi teringat kalau dia belum membalas chat dari Dhika sejak pagi tadi. Apa karena itu Dhika sampai rela menyusulnya?

Irvi mengabaikan Dhika sejenak karena sudah gilirannya untuk memesan. Kepada penjual jus Irvi berkata, "Jus mangganya--" Irvi melirik Dhika sejenak, "--dua ya, Mas."

"Gue mau alpukat," sela Dhika tiba-tiba, membuat Irvi nyaris menyemburkan tawa. Memang tidak ada jaim-jaim-nya Dhika ini. Percaya dirinya cukup tinggi juga, langsung tahu bahwa Irvi memesankan untuknya juga. Untung cowok itu tidak salah mengira.

"Jus mangga satu, jus alpukat satu," Irvi meralat pesanannya. Setelah dipersilakan untuk menunggu, Irvi pun segera mencari meja yang kosong. Namun, samar-samar Irvi mendengar Dhika berkata pada si penjual, "Banyakin susu coklat buat di alpukatnya."

Irvi langsung memutar kedua mata. Banyak mau sekali, batinnya. Irvi melihat Dhika mengekor di belakangnya. Ketika ia mendapat meja kosong, Dhika juga langsung duduk di hadapan Irvi tanpa banyak bicara.

"Pertanyaan gue nggak dijawab?" tanya Dhika tanpa basa-basi seperti biasanya.

Irvi menggigit bibir bawahnya, menatap Dhika ragu-ragu. "Sejujurnya gue jadi canggung sama lo," aku Irvi.

Dhika manggut-manggut, lalu menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. "Gue ngerti."

"Kalo ngerti kenapa harus nanya?"

"Buat mastiin langsung."

"Sampai nyusul ke kantin fakultas gue?"

"Chat gue nggak dibales, ya udah gue cari lo ke mana-mana sampai dapat. Jangan pikir lo bisa kabur dari gue."

Irvi meringis. "Uh, takut," candanya sambil tertawa ringan. "Gue nggak bakal kabur. Gue cuma butuh waktu, Dhik."

Dhika mengangguk lagi, diembuskannya napas panjang. Irvi memperhatikan Dhika yang merogoh saku kemejanya, lalu mengeluarkan sekotak rokok yang belum dibuka, tak lupa alat pemantiknya. "Lo keberatan kalau gue ngerokok di sini?" tanya Dhika seraya memain-mainkan kotak rokok di tangannya, menunggu persetujuan Irvi.

Irvi diam sejenak memperhatikan benda di tangan Dhika itu, lalu pandangannya naik hingga bertubrukan dengan sorot tajam milik Dhika. "Kalau gue keberatan?" Irvi balik bertanya.

Dhika mengedikkan bahu. "Gue nggak jadi ngerokok di sini."

"Kalau gue minta lo berhenti ngerokok?"

Kali ini Dhika yang terdiam dengan ekspresi yang tak terbaca. Pelayan kantin sempat menginterupsi untuk mengantarkan jus pesanan mereka. Tapi setelahnya, Dhika masih diam. Membuat Irvi jadi kepikiran, apa barusan ia sudah salah bicara?

"Sori, gue tau gue nggak berhak," Irvi buru-buru menambahkan supaya Dhika tidak salah paham. "Lo boleh kok kalau mau ngerokok di sini."

"Kalau emang lo mau gue berhenti, gue bisa usahain," balas Dhika sambil menyunggingkan senyum kecil. "Lo masih ingat pertanyaan gue waktu itu? Tentang apa yang bakal lo lakuin kalau lo udah tau siapa penulis surat itu?"

Irvi mengangguk.

"Sekarang lo udah tau. Jadi, lo bakal ngapain?"

Irvi termangu, masih setia menatap Dhika yang ada di hadapannya. Sejujurnya Irvi belum memikirkan tentang hal ini, sebab hal pertama yang dilakukannya justru menghindar dari Dhika. Namun, sesuatu tiba-tiba melintas dalam pikirannya, mengenai apa yang sebaiknya ia lakukan. Tanpa bisa dicegah, senyumnya langsung mengembang.

"Untuk saat ini gue cuma mau bilang ... makasih udah hadir dalam hidup gue, Dhik, dan gue bersyukur penulis surat itu adalah lo, bukan orang lain."

---

(23 Februari 2020)

Special Customer [END]Where stories live. Discover now