[01] :: Barang Dagangan dan Kating Baik Hati

3.8K 367 14
                                    

IRVI baru bisa terbebas dari salah satu mata kuliah--yang tidak begitu ia suka--pada pukul empat sore. Sebenarnya, bukan karena mata kuliahnya, sih. Tapi karena dosennya yang pelit nilai dan galak abis! Irvi jadi ingin buru-buru selesai saja daripada ia mati kebosanan karena suasana kelas yang begitu hening.

Cewek berambut hitam sepunggung yang diombre dengan warna tosca di bagian bawahnya itu segera membenahi barang-barangnya, termasuk satu kardus berukuran cukup besar berisi berbagai macam minuman dan makanan dalam kemasan.

"Eh, eh, nongki yuk!" Salah satu kawan dekat Irvi menghampiri dengan raut bersemangat. Disa namanya.

Irvi melirik dengan satu alis terangkat. "Tumben ngajakin nongki? Baru dapat transferan lo ya?" tanyanya dengan curiga. Sebab Disa ini paling anti nongkrong-nongkrong di kafe dengan dalih harus berhemat. Maklum, anak kosan.

"Ish, bukan. Kan ada kafe yang baru buka di dekat kampus kita, Vi! Biasanya banyak promo kalau baru buka gitu!"

Kedua mata Irvi pun berputar. Dasar pejuang promo. "Gue mau taruh dulu nih barang jualannya danus ke sekre. Lo mau ikut atau langsung ke kafe?" tanya Irvi sambil mengangkat kardus yang dimaksud.

Disa tampak berpikir sejenak, kemudian cewek itu membalas, "Langsung aja, deh. Gue pesanin apa aja, ya? Syukur-syukur dapat yang buy one get one."

"Iya iya, terserah lo, Dis."

Mereka berdua pun keluar dari kelas dan berpisah setelah sampai di lantai satu menggunakan lift. Irvi menuju sekre himpunannya, sementara Disa langsung menuju kafe yang menjadi tujuan mereka.

Kampus sudah cukup sepi sore ini. Irvi bahkan tidak menemukan satu orang pun di koridor lantai satu, yang berarti dia berjalan sendirian. Kardus yang dibawanya tidak merepotkan, awalnya. Namun, ketika ponsel di saku jaket jeans-nya bergetar panjang, Irvi mulai bingung bagaimana untuk menjawab telepon tersebut.

Cewek itu pun memeluk kardus dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain berusaha meraih ponsel. Benda pipih tersebut berhasil terambil, tapi tangan kirinya tiba-tiba terasa kebas. Kardus nyaris saja terjatuh, jika tidak ada seorang penyelamat yang dengan sigap memegangi kardus tersebut.

"Memang nggak bisa taruh dulu di lantai?"

Irvi segera menoleh pada cowok tinggi yang telah menjadi penyelamatnya. Kalau dilihat dari tampang--berkumis tipis dengan rambut yang memanjang sampai leher, Irvi berasumsi bahwa cowok itu adalah kakak tingkatnya. Maka dengan refleks Irvi pun menyahut, "Iya, maaf Bang, nggak kepikiran."

Dahi cowok itu sedikit mengerut. Kemudian ia memandangi Irvi dari kepala sampai kaki, membuat Irvi jadi salah tingkah. "Semester berapa?" tanya si cowok kemudian.

"Tiga, Bang," jawab Irvi seadanya.

Si cowok manggut-manggut, mengembalikan kardus kepada Irvi seraya kembali meluncurkan pertanyaan, "Itu isinya apaan, by the way?"

Ditanya seperti itu membuat mata Irvi seketika berbinar. "Ini jualannya danus, Bang. Ada macam-macam camilan sama minuman. Harganya masih wajar kok, nggak sembarang dinaikin gitu aja. Barangkali Abang mau beli? Dapat potongan harga lho, kalau beli banyak."

Seketika cowok itu melongo berkat jiwa berdagang Irvi yang mendadak muncul. Tapi justru malah membuat si cowok menahan-nahan tawanya. "Gue beli semuanya, gimana? Kebetulan buat konsumsi kalau ada rapat pengurus HMJ."

Kali ini, Irvi yang sukses dibuat melongo. "Serius, Bang?"

"Apa muka gue kelihatan nggak serius?"

"Oke, oke Bang! Bentar ya, gue hitung dulu totalnya berapa." Irvi pun menaruh kardus di lantai dan mulai sibuk menghitung berapa yang harus cowok itu bayar untuk membeli semua barang dagangannya. Sungguh, hal ini saja sudah membuat Irvi sangat bahagia.

"Totalnya seratus dua puluh ribu, Bang. Dapat potongan dua puluh ribu, jadi bayar seratus ribu aja," jelas Irvi setelah selesai menghitung.

Si cowok yang belum juga Irvi ketahui namanya mengangguk-angguk, kemudian mengeluarkan selembar uang berwarna merah dari dalam dompet. "Untung aja gue bawa uang iuran, kalau nggak malah gue yang bakalan tekor. Nih, pas ya."

Irvi menerima uang tersebut dengan wajah berseri-seri. "Makasih banyak, Bang! Makasih banget-banget!"

Ucapan terima kasih Irvi hanya dibalas dengan anggukan dan senyuman kecil. Cowok itu pun membawa kardus tersebut pergi, mungkin menuju sekre, karena tadinya Irvi akan menggunakan jalan yang sama.

Lagi, ponsel Irvi kembali bergetar. Sontak Irvi teringat kalau ia belum sempat mengangkat telepon yang sebelumnya dari Disa. Temannya itu kembali menelepon lagi dan Irvi pun segera saja menjawabnya.

"Halo, Dis? Iya, gue udah mau ke sana sekarang. Eh, eh, tadi dagangan gue habis diborong sama kating tau, Dis! Gila nggak, tuh?"

---

A/n

Selamat datang di cerita baruku!

Awalnya aku kangen sama ceritaku yang judulnya From Leo To Rai, terus aku baca ulang, terus tiba-tiba kepikiran, "Kayaknya seru kalau bikin cerita kayak gini lagi."

Dan ... jadilah cerita ini!

By the way, ini akan berbeda dari short story yang biasa kutulis. Di sini narasinya akan lebih panjang, tapi tetap aku batasi nggak akan lebih dari 800 kata per bab. Tokoh-tokohnya juga anak kuliahan, bukan anak sekolah kayak biasanya hehe.

So, semoga kalian suka dan betah di sini, ya!

With love,

dindaarula.

(1 Februari 2020)

Special Customer [END]On viuen les histories. Descobreix ara