[11] :: Sampai Kapan Bersembunyi?

1.1K 244 12
                                    

Hai, E? (Sori, gue nggak tau nama lo, jadi gue bingung harus manggil lo apaan)

Langsung aja deh ya. Sejak pertama kali gue datang ke Kafe Alaska, gue selalu dapat surat dalam selipan tisu. Awalnya gue kira lo itu Reyki, karena gerak-geriknya agak mencurigakan dan dia yang selalu mengantar pesanan gue. Setelah gue cari tau, Reyki ngaku kalau dia cuma perantara.

Jadi, E, gue mau tanya sama lo. Maksud lo selalu ngasih surat ke gue itu apa? Kalau lo memang pengin kenal sama gue, lo bisa langsung samperin gue tanpa harus melibatkan orang lain.

Gue harap, setelah lo baca surat ini, yang gue temui selanjutnya bukan balasan dari surat ini, melainkan orang di balik semua surat yang pernah gue dapat sebelumnya.

Thanks.

- Irvia -

🔹

"JADI, gimana sekarang?"

Setelah melontarkan pertanyaan tersebut pada orang di hadapannya, Reyki menyandarkan punggung pada sandaran kursi, memandang lawan bicaranya dengan tenang. Dua cangkir Caramel Macchiato masing-masing tersaji di depan mereka, namun sama-sama belum tersentuh.

Cowok berambut cokelat gelap itu melipat kembali kertas dan meletakkannya di atas meja, lantas membalas tatapan Reyki tanpa ekspresi. "Dia mau ketemu gue," ucap cowok itu. Ia mengambil sebatang rokok dari kotaknya, lalu membakar ujungnya dengan korek gas untuk ia hirup asapnya, dan mengembuskannya lewat mulut.

Reyki manggut-manggut. Meski ia belum membaca sendiri apa balasan surat dari Irvi, Reyki sudah bisa menebak apa isinya. Senyum miringnya pun terbit, lalu Reyki bertanya, "Terus, lo mau berhenti main petak umpetnya?"

"Sayangnya, ini bukan waktu yang tepat buat gue untuk berhenti." Cowok di hadapan Reyki itu membuang abu rokok pada asbak. "Gimana kafe?"

Kedua mata Reyki berputar. Pengalihan topik yang cukup mulus rupanya. "Aman," jawab Reyki seadanya. "Akhir-akhir ini lo jarang kontrol ke kafe lagi."

"Gue sibuk. Kuliah lagi hectic, ditambah urusan himpunan. Tau gini, gue nggak usah kuliah aja dan fokus nerusin usaha bokap."

"Halah," Reyki berdecak sambil memandang lawan bicaranya malas. "Tapi lo bisa bawa cewek ke kafe waktu itu. Pura-pura nggak kenal sama pegawai pula."

Setelahnya Reyki tak mendapat balasan. Cowok di hadapan tengah santai menikmati kopinya.

"Sampai kapan?" tanya Reyki.

"Apa?"

"Lo sembunyi."

"Sampai dia ingat siapa gue."

Embusan napas panjang pun Reyki loloskan. Ia meraih cangkir kopi dan menyesap Caramel Macchiato-nya yang sudah tidak begitu panas. "Asal lo nggak nyesel aja jadiin gue penghubung antara lo dengan dia," tukas Reyki dengan senyum yang sarat akan makna.

Hening selama beberapa saat. Selepas membuang asap rokok dari mulutnya, cowok di depan Reyki menautkan alis bingung. "Maksud lo?"

Masih dengan senyum yang sama, Reyki membalas, "Irvia cewek yang menarik."

Dengan sederet kalimat tersebut mampu membuat lawan bicara Reyki tergeming. Tatapannya pada Reyki kian menajam, pun rahangnya yang ikut mengeras. Namun, ia berusaha agar emosinya tidak tersulut. Ia sadar, salahnya sendiri memilih untuk bersembunyi. Salahnya sendiri meminta bantuan Reyki, yang pada akhirnya terjerat juga oleh pesona seorang Irvia.

Apakah sudah waktunya ia untuk berhenti?

---

(11 Februari 2020)

Special Customer [END]Where stories live. Discover now