[09] :: Dhika Tidak Butuh Pacar

1.2K 232 15
                                    

IRVI tertawa tanpa suara yang disebabkan oleh sebuah video di ponselnya. Saat ini cewek yang rambutnya dicepol asal itu tengah berada di perpustakaan. Memilih meja di paling pojok yang tidak terjangkau oleh petugas di sana, agar tidak ketahuan kalau Irvi hanya numpang ngadem sambil menggunakan wifi gratis. Wifi di perpustakaan memang terkenal memiliki kecepatan yang super sekali.

Lagi seru-serunya menonton sebuah animasi tentang kakak beradik bernama Nopal dan Cute Girl, tiba-tiba Irvi menerima telepon dari nomor tidak dikenal. Dahi Irvi mengerut, tapi ia tetap akan menjawabnya. Cewek itu pun menekan tombol hijau dan mendekatkan mic pada earphone yang dipakainya ke dekat bibir. "Halo? Siapa ya?"

"Lo nggak ngesave nomor gue?" Mendengar nada bicaranya yang datar dan sedikit angkuh, otomatis Irvi dapat langsung menebak siapa orang tersebut.

Siapa lagi kalau bukan Mahardhika?

Irvi mendadak ingat kalau dirinya dan Dhika pernah bertukar nomor ponsel saat di Kafe Alaska. Dhika yang pertama kali menyimpan nomor Irvi, lalu cowok itu menelepon nomor tersebut agar Irvi melakukan hal yang sama. Namun, Reyki tiba-tiba saja muncul, membuat Irvi lupa untuk menyimpan nomor Dhika.

"Sori sori, gue lupa, Dhik, sumpah," balas Irvi dengan wajah menyesal meski tahu Dhika takkan melihatnya.

Sebuah dengkusan pun terdengar. "Masih muda aja udah pikun."

"Bukan pikun, gue cuma lupa!" Irvi berseru tertahan sebab ia masih berada di area ruang baca perpustakaan. "Btw ada apaan nih nelpon gue? Kangen?"

"Nggak ada faedahnya juga kalau gue kangen sama lo," balas Dhika sarkas, bikin Irvi hanya bisa mengelus dada. Makin sering mengobrol dengan Dhika, Irvi makin tahu kalau sifat aslinya benar-benar menyebalkan. Tapi, Irvi juga tidak bisa menyangkal bahwa di balik itu semua Dhika memanglah manusia berhati baik. "Lo lagi di mana?"

"Perpus," Irvi membalas dengan sok jutek.

"Otw." Dan sambungan pun langsung terputus.

Irvi memandangi layar ponselnya dengan bingung. Jadi Dhika menelepon hanya untuk menanyakan keberadaannya? Bukankah ia bisa mengirim chat saja ketimbang telepon? "Dasar cowok aneh," gumam Irvi seraya melanjutkan acara menontonnya yang sempat terganggu.

Sepuluh menit berlalu, Dhika akhirnya muncul dan langsung duduk di depan Irvi tanpa menyapa terlebih dulu.

Merasakan kehadiran seseorang di hadapannya, Irvi mengangkat kepala dari layar ponsel. "Katanya nggak kangen, tapi akhirnya nyamperin gue juga," ucap Irvi sambil tersenyum jenaka. Namun, sedetik kemudian ia menyesal, mengingat Dhika tidak suka jadi bahan bercandaan. Lihat saja sekarang, cowok itu sama sekali tidak berekspresi. "Iya sori, salah ngomong lagi gue."

Dan beberapa detik setelahnya, senyum miring Dhika pun terbit. "Bagus kalau lo langsung ngerti dengan sendirinya."

Irvi melepas earphone yang menyumpal kedua telinganya. "Ada apaan sih, Dhik?" tanya Irvi dengan sebelah alis terangkat. "Lo bikin gue penasaran aja."

"Udah makan siang?"

Irvi mendadak terpaku di tempatnya. Selain menyebalkan, ternyata Dhika juga penuh dengan kejutan. Seperti apa yang baru saja keluar dari mulutnya dengan begitu mulus. Tumben sekali Dhika peduli pada hal kecil seperti itu. Benar-benar di luar dugaan.

"Belum," Irvi hanya menjawab pendek, menunggu apa yang akan Dhika katakan selanjutnya.

"Mau sekalian temenin gue makan?" tawar Dhika sambil menatap Irvi lurus-lurus, bikin Irvi mendadak salah tingkah ditatap seperti itu. "Gue yang bayar, supaya lo bisa traktir gue kopi lagi."

"Lah, kalau lo mau ngopi kenapa harus nunggu ditraktir gue dulu?" heran Irvi, benar-benar tidak paham dengan maksud cowok di hadapannya itu.

"Kalau nggak ditraktir lo, nanti gue ngopi sendirian."

"Emang nggak bisa ajak teman lo yang lain?"

"Gue nggak punya banyak teman dekat. Dan, beberapa teman gue itu udah susah diajak nongkrong sejak mereka punya pacar."

"Ya udah, berarti lo tinggal cari pacar juga, dong."

"Ini juga lagi usaha."

"Hah?"

Dhika berdecak sebal, menatap Irvi jengkel. "Gue lagi usaha buat punya pacar, tapi nggak segampang lo ngomong yang barusan itu."

Ya ampun, Irvi kira....

Sungguh, empat kata yang benar-benar ambigu. Irvi yakin tampangnya sudah seperti orang bodoh sekarang karena sempat mengira Dhika sedang berusaha mendekatinya untuk dijadikan pacar. Kalau dipikir-pikir, itu adalah sesuatu yang mustahil. Sikap Dhika padanya saja tidak menunjukkan seperti orang yang sedang melakukan pendekatan.

"Lagian, gue nggak terlalu butuh pacar," imbuh Dhika seraya menyugar rambutnya ke belakang dengan tangan kanan. "Ada lo yang betah deket-deket sama gue aja udah cukup."

Irvi tertegun.

Irvi jadi ragu kalau cowok yang duduk di hadapannya itu benar-benar seorang Mahardhika, yang barusan tiba-tiba menelepon hanya untuk menanyakan keberadaannya, minta ditemani makan, kemudian minta ditraktir kopi agar Dhika tidak minum kopi sendirian, lalu mengatakan kalau kehadiran Irvi sudah cukup bagi Dhika, sehingga ia tidak lagi membutuhkan seorang pacar.

Sekonyong-konyong Irvi merasa ada sesuatu yang menghangat di dalam dadanya.

Entahlah, Irvi hanya merasa ... spesial.

---

(9 Februari 2020)

Special Customer [END]Where stories live. Discover now