[15] :: Disa (Terpaksa) Harus Tutup Mulut

1.1K 216 3
                                    

"SEJAK kapan sih, lo jadi betah banget diem di perpus?" tanya Disa heran melihat Irvi yang akhir-akhir ini suka sekali ke perpustakaan saat jam kosong atau setelah mata kuliah terakhir beres. Hari ini ia memutuskan untuk ikut, ingin tahu apa saja yang Irvi lakukan di perpustakaan. Cewek macam Irvi kan, tidak bersahabat dengan buku.

Irvi yang berjalan di sisinya melirik sekilas. "Nggak tau deh, Dis. Waktu itu kebetulan gue lagi nyari referensi aja buat tugas. Ternyata adem banget di sana, wifi-nya juga kenceng abis!" jelas Irvi dengan antusias.

Disa kontan memutar kedua matanya. "Bener kan, gue udah mikir, nggak mungkin banget lo yang hobinya nongkrong di kafe mendadak jadi kutu buku."

"Eh, perpus bukan tempat buat para kutu buku aja kali, Dis," balas Irvi sambil tertawa ringan. "Gue jamin lo nggak akan nyesel deh gue ajak main ke perpus."

Setelah sampai di tujuan, Irvi langsung memandu ke ruang baca dan menempati salah satu meja yang kosong. Disa yang mengekori di belakangnya sempat takjub melihat banyaknya perubahan yang terjadi. Disa lupa kapan terakhir kali ia ke perpustakaan. Seingatnya ketika gedung tersebut belum direnovasi sedemikian rupa hingga menjadi seperti sekarang. Pantas saja Irvi betah!

"Lo masih aktif di klub teater lo itu, Dis?" Irvi memulakan percakapan seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tote bag.

Disa yang duduk di hadapannya mengangguk meski tahu Irvi tidak memperhatikannya. "Masih lah, Vi. Gue nggak bisa lepas gitu aja. Secara itu udah jadi rumah kedua gue selama tiga tahun terakhir."

Irvi manggut-manggut. "Pantes aja pulang kuliah lo sering langsung cabut, ya. Padahal di Kafe Alaska suka banyak promo, sayang banget lo nggak bisa ikut."

Cengiran pun Disa terbitkan. "Sori. Weekend lo main ke kosan gue aja makanya Vi, jangan sok-sokan jadi anak rumahan, deh."

"Dih, lo sendiri yang bilang kalo weekend waktunya lo hibernasi."

"Bercanda kali. Masa gue mau disamain sama beruang?" Sejenak Disa memperhatikan deretan buku yang tersusun rapi di rak. Rasanya tidak afdal kalau datang ke perpustakaan tapi tidak membaca buku. Mungkin akan ada satu atau dua buku yang akan menarik perhatiannya. "Gue cari buku dulu ah, Vi. Siapa tau bisa bikin IPK gue mendadak naik."

"Yeee, halu banget lo!" canda Irvi yang hanya ditanggapi Disa oleh kekehan. Cewek itu pun beranjak dari kursi menuju rak-rak yang berjejer rapi, membuatnya bingung harus memulai dari mana.

Langkah kaki Disa membawanya ke rak khusus buku-buku tentang seni, di mana ia bisa menemukan buku tentang dunia peran. Namun, belum sampai pada rak yang dituju, beberapa meter di depannya terdapat sebuah binder yang sepertinya tidak sengaja terjatuh, entah milik siapa. Penasaran, Disa pun mengambilnya. Saat ini perpustakaan sedang sepi-sepinya, membuat Disa kesulitan mencari siapa pemiliknya yang kemungkinan masih berada di perpustakaan.

Disa membuka binder tersebut, berharap ada nama pemiliknya di sana. Tapi tiba-tiba saja dua buah kertas yang terselip di sana terjatuh. Disa lekas mengambilnya untuk ia taruh kembali ke dalam binder. Awalnya Disa pikir kertas tersebut hanyalah catatan tambahan yang terlepas jika melihat dari jenis kertasnya. Namun, secara tidak sengaja Disa melihat sesuatu yang membuat rasa penasarannya semakin bertambah.

Tanpa merasa bersalah karena telah mengurusi privasi orang lain, Disa membaca setiap rentetan kalimat yang tertulis di sana. Kedua matanya membelalak. Ini surat yang Irvi tulis, yang pernah diceritain ke gue, batin Disa. Sekali lagi ia melihat identitas yang tertera pada halaman pertama binder tersebut. Akhirnya semuanya terungkap. "Gue harus kasih tau Irvi," gumamnya dengan yakin.

Baru saja Disa hendak berbalik untuk kembali ke mejanya, mendadak kertas  serta binder yang dipegang Disa dirampas begitu saja oleh seseorang yang tidak Disa sadari kehadirannya. Lengannya tiba-tiba ditarik paksa menuju rak yang berada di sudut yang posisinya agak tersembunyi. Setelah tangan besar itu melepaskan lengannya, Disa hendak memaki siapa pun yang telah bertindak sekasar itu. Tapi kata-katanya tertahan ketika melihat siapa yang sedang di hadapinya.

"Elo kan--"

"Iya, gue pelayan di Kafe Alaska. Mahasiswa sini juga. Gue Reyki," potong orang tersebut yang ternyata adalah Reyki. Irvi memang pernah bercerita bahwa Reyki terlibat dalam masalah surat misterius itu. Tapi Disa tidak menyangka akan bertemu dengan Reyki dalam keadaan seperti ini.

Disa menggeleng pelan, lantas berusaha merebut kembali barang bukti yang tidak sengaja ia dapatkan tadi. "Balikin! Irvi harus tau semuanya!" Seruan tertahan Disa nyaris seperti bisikan, sebab ia masih sadar sedang berada di mana.

"Jangan," tegas Reyki, menatap Disa dengan sorot tajam. "Biarin Irvi tau dengan sendirinya. Biarin dia yang ngaku sendiri di depan Irvi. Jangan ngegagalin rencana gue."

Disa semakin dibuat bingung oleh pernyataan Reyki. "Rencana apa, sih? Kenapa semuanya jadi dipersulit?"

"Lo nggak perlu tau. Untuk sekarang, gue minta lo untuk tutup mulut. Jangan bongkar semuanya di depan Irvi sekarang."

Sosok Reyki si pelayan ganteng yang ramah dan murah senyum seolah lenyap begitu saja. Yang ini begitu lain, bikin Disa langsung bungkam dan mengangguk patuh seperti anak kecil.

Sori, Vi. Padahal gue udah tau siapa yang lo cari!

---

A/n

Cuma mau ngasih tau, penulis surat akan terungkap di chapter selanjutnya 😋

(17 Februari 2020)

Special Customer [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang