[13] :: Tempat yang Sama

1.1K 225 12
                                    

IRVI kira, Dhika akan membawanya ke kafe langganan cewek itu--Kafe Alaska. Namun, mobil yang dikendarai Dhika sama sekali tidak menuju ke arah sana. Irvi sempat bertanya, lalu Dhika hanya menjawab, "Kafe di Bandung bukan cuma Kafe Alaska aja." Yah, ada benarnya juga. Alasan Irvi sering datang ke kafe itu hanya karena jaraknya yang dekat dari kampus, serta yang terpenting adalah perihal surat dan penulisnya yang misterius itu.

Sepertinya, sore ini Irvi memang ditakdirkan untuk lepas sejenak dari itu semua. Irvi memutuskan kali ini saja ia tidak dulu memikirkan tentang surat, tentang siapa yang menulisnya, juga tentang siapa orang yang pernah ia temui di masa lalu. Bisa-bisa otaknya berasap karena dipaksa untuk bekerja keras.

Irvi tidak mau mengakuinya, tapi dalam hati ia sangat berterimakasih atas kehadiran Dhika yang terkadang selalu muncul di waktu yang tepat.

"Kok nggak nyampe-nyampe sih, Dhik?" keluh Irvi setelah menempuh dua puluh menit perjalanan tapi tak kunjung sampai. Namun, saat memerhatikan jalan, Irvi merasa tidak asing. Ia sering melewati jalan ini ketika pulang sekolah dulu.

"Bentar lagi," jawab Dhika singkat tanpa menoleh. Fokusnya hanya pada jalanan di depan.

"Kafe mana sih yang lo maksud?"

"Kafe Arizona. Bukan kafe besar kayak Alaska, tapi tempatnya cukup nyaman. Menu-menunya juga lumayan. Kebetulan ada temen gue yang part-time di sana."

Irvi manggut-manggut mendengar penjelasan Dhika. Rasanya Irvi cukup familiar dengan nama kafe tersebut. Tapi cewek itu tidak bisa mengingatnya dengan jelas.

Sepuluh menit berselang, akhirnya mereka sampai di tujuan.

Seperti kata Dhika, Kafe Arizona memang tidak sebesar Kafe Alaska. Ukurannya minimalis jika dilihat dari luar, namun ketika masuk, ternyata bentuknya memanjang ke dalam dan memiliki dua lantai. Sama seperti Kafe Alaska, kafe ini juga tidak kalah instagramable. Cocok untuk tempat nongkrong generasi milenial yang suka mem-posting segala kegiatannya di media sosial.

Irvi memperhatikan Dhika yang langsung mendekat ke arah kasir sekaligus tempat memesan.

"Bintang," sebut Dhika pada seorang barista yang tengah meracik kopi pesanan, sementara seorang perempuan di balik kasir memandangnya penuh tanya.

Si barista langsung mengangkat kepala dan menghentikan aktivitasnya sejenak. Matanya sedikit membelalak ketika melihat siapa yang telah menginterupsinya. "Eh, Dhik," katanya, "udah lama banget lo nggak ke sini."

Dhika tersenyum tipis. "Iya, baru sempat ke sini lagi."

Bintang mengangguk-angguk, lalu matanya terarah pada Irvi yang terdiam dengan raut kikuk di sebelah Dhika. "Pacar lo?" tanyanya dengan secuil raut penasaran di wajah.

Dhika dan Irvi sontak saling pandang dengan masing-masing ekspresi yang berbeda. Dhika tampak santai seperti biasa, sedang Irvi langsung terlihat canggung. Dhika yang pertama memutuskan kontak mata dengan Irvi, lalu kembali pada Bintang dengan senyum tipis yang masih setia terukir. "Americano buatan lo masih yang terbaik, 'kan?" tanya cowok itu, tak berminat menjawab pertanyaan dari Bintang.

Senyum miring menghiasi wajah Bintang. "Lo meragukan konsistensi rasa kopi gue?" Barista itu pun menggerakkan dagu ke arah perempuan di sebelahnya. "Udah, langsung pesan aja. Ini sepupu gue btw, sama-sama part-time juga."

Perempuan di balik kasir dengan name tag bertuliskan Biru itu langsung tersenyum ramah. "Silakan temen-temennya Bintang, mau pesan apa?" tanyanya sopan namun tetap terdengar santai.

"Lo mau apa?" tanya Dhika pada Irvi.

Sebenarnya Irvi tidak terlalu ingin minum kopi hari ini. Tapi, Dhika bilang Americano buatan Bintang adalah yang terbaik, membuat Irvi seketika penasaran dengan rasanya. "Americano aja, deh."

Dhika mengangguk, lalu beralih pada Biru. "Caffe Americano sama Caramel Macchiato."

Setelah memesan dan membayar, Dhika memilih duduk di meja bar agar memudahkan ia untuk berbincang-bincang dengan Bintang. Irvi hanya menurut saja. Bagaimana pun juga, Dhika yang mengajaknya ke sini. Dhika juga yang telah membayar kopinya. Padahal Irvi belum sempat mentraktir Dhika waktu itu.

"Gimana menurut lo?" Dhika tiba-tiba bersuara.

"Apanya?" tanya Irvi bingung.

"Kafe ini."

Barulah Irvi paham. Ia menyapu pandangan ke seluruh penjuru kafe yang saat ini tengah sepi pengunjung. Irvi tidak ingat kalau ia pernah ke sini sebelumnya atau tidak, tapi ia merasa sangat familiar dengan tempat ini. "Nggak kalah sama Alaska," aku Irvi dengan jujur. "Nggak tau kalau kopinya. Lidah gue akhir-akhir ini terbiasa sama kopi di Alaska, sih."

"Gue yakin lo bakal ketagihan. Lo harus nunggu gue dulu kalau mau ke sini lagi."

"Lah, kenapa gitu?"

"Tempatnya jauh. Kalau sama gue lebih gampang karena pake mobil."

Irvi langsung mendecih malas. "Sendiri juga gue bisa kali! Bilang aja lo mau modus, biar tetep bisa ngopi bareng gue."

Biasanya, Dhika akan menghapus ekspresi dari wajahnya jika Irvi mulai bercanda. Tapi, kali ini lain. Dhika malah memperlihatkan seringainya yang malah membuat Irvi sebal sekaligus heran.

Tak lama kemudian, pesanan mereka akhirnya datang. Irvi menatap secangkir Americano yang asapnya samar-samar terlihat mengudara. Seketika Irvi merasa deja vu. Ia merasa pernah berada di posisi ini. Bedanya, kali ini ia tidak sendirian. Ingatan tentang masa lalu sontak menyesakkan kepalanya.

Irvi baru sadar, kafe ini adalah tempat yang sama dengan kafe yang pernah didatanginya dua tahun silam. Merupakan tempat pertama kali Irvi bertemu dengan penulis surat itu.

---

(13 Februari 2020)

Special Customer [END]Where stories live. Discover now