[05] :: Rupanya Bukan Kating

1.5K 261 7
                                    

AKHIR-AKHIR ini Irvi disibukkan dengan mempersiapkan sebuah event--yang merupakan salah satu program kerja dari himpunannya--yang hanya tinggal beberapa hari lagi. Peran Irvi sebagai kepala divisi dana usaha harus memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan tambahan dana selain berjualan.

Untungnya, beberapa proposal yang sebelumnya sudah diajukan kepada sponsor akhirnya diterima. Sehingga Irvi dan rekan sedivisinya hanya tinggal mencari dana untuk menutupi kekurangan-kekurangannya saja.

Beberapa hari ini Irvi selalu pulang malam dikarenakan rapat, hingga cewek itu melupakan sejenak tentang pengagum rahasianya, bahkan tidak sempat berkunjung ke Kafe Alaska lagi. Ditambah dengan tugas kuliah yang menumpuk, membuat Irvi tidak punya waktu untuk mengurusi sesuatu yang tidak terlalu penting.

Mengenai surat misterius di kafe sebenarnya merupakan sesuatu yang penting bagi Irvi, tapi untuk saat ini Irvi tidak mau terlalu memikirkannya terlebih dahulu karena ada yang harus ia prioritaskan.

"Vi, pokoknya terakhir setor ke bendahara pas H-2 acara, ya." Gian, ketua pelaksana event tersebut kembali mengingatkan Irvi. Saat ini mereka tengah mengadakan rapat internal yang hanya dihadiri oleh koordinator dari masing-masing divisi.

Irvi mengacungkan jempolnya pada Gian. "Siap, Yan. Nanti gue kasih tahu anggota gue biar makin giat cari duitnya."

Gian terkekeh. "Percaya gue sama lo," katanya, kemudian segera mengakhiri rapat tersebut agar tidak selesai sampai larut. Semua orang yang ada di sana pun langsung meninggalkan sekre. Irvi bersama beberapa teman sejurusannya segera menuju gerbang dan berpisah di sana.

Tiba-tiba saja Irvi merasa perutnya bergemuruh, baru ingat kalau ia belum sempat makan. Ingin mampir ke tempat makan terlebih dahulu, tapi malam akan semakin larut dan Irvi pasti kesulitan untuk pulang ke rumah mengingat ia tidak membawa kendaraan sendiri.

Di tengah-tengah kebingungannya, sebuah mobil yang baru saja keluar melewati gerbang kampus sekonyong-konyong berhenti tepat di dekatnya. Irvi pikir mobil tersebut hanya berhenti sejenak dan akan pergi kemudian, namun rupanya tidak. Kaca depan mobil terbuka, membuat Irvi dapat melihat siapa pengemudi mobil tersebut.

Mahardhika.

"Lo mau pulang?" tanya Dhika tanpa sapaan maupun basa-basi terlebih dahulu.

Irvi yang masih agak terkejut dengan kemunculan Dhika mengangguk kikuk. "Eh, Bang Dhika," sapa Irvi berusaha terdengar sopan. "Iya, gue baru mau pulang, nih."

"Bareng gue aja."

"Eh? Nggak usah, nanti ngerepotin, Bang."

"Pulang ke mana?"

"Kopo, Bang."

"Gue juga ke daerah sana. Ayo, bareng aja, ini udah malem."

Irvi benar-benar bingung sekarang. Haruskah ia menerima tawaran dari cowok yang baru dikenalnya ini?

"Nggak usah banyak mikir, elah. Buruan naik!" titah Dhika lagi, kali ini dengan lebih tegas, membuat Irvi tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Dhika.

Setelah menutup pintu mobil dan memasang seat belt, Irvi menatap Dhika ragu-ragu. "Beneran nih, nggak ngerepotin?" tanyanya lagi, memastikan bahwa Dhika serius dengan ajakannya. "Jam segini mah, gue masih berani naik Gojek, Bang."

Dhika tidak terlalu peduli dengan apa yang Irvi katakan. Ia kembali melajukan mobil dan fokus pada jalanan. "Asal lo tahu, gue seangkatan sama lo, jadi nggak perlu panggil 'Bang'," tukas Dhika.

Kedua mata Irvi sontak membulat. "Ih, kenapa nggak bilang dari awal, sih?" gerutunya sebal. "Tau gitu gue panggil nama aja dari tadi!"

"Siapa suruh nggak nanya?" balas Dhika dengan santai. "Emang tampang gue setua itu sampai lo langsung mengira gue kating?"

Irvi tidak menyangka bahwa orang yang ia kira adalah kakak tingkatnya ternyata semenyebalkan ini. Padahal, Dhika bisa saja langsung memberitahunya ketika cowok itu sempat bertanya Irvi itu semester berapa, atau saat Dhika memberitahukan namanya untuk pertama kali.

"Yah, gue emang gap year, sih. Udah pasti umur gue lebih tua dari lo," tambah Dhika.

Lanjutan kalimat tersebut membuat Irvi langsung bisa menjawab pertanyaan yang sebelumnya. "Nah, kan, gue bener berarti kalau sempat mengira lo kating," kata Irvi percaya diri. "Keliatan aja ada yang beda gitu."

Dhika hanya manggut-manggut, tidak memberi balasan lagi. Kini ia hanya memusatkan perhatiannya pada jalan di depan. Sampai di lampu merah, cowok itu menghela napas dan menyugar rambutnya yang sedikit gondrong itu ke belakang.

Untuk memecah keheningan, Irvi berniat untuk memulai percakapan kembali. "Anu, Bang. Gue--"

Krucuk-krucuk....

"--laper...."

Irvi melanjutkan kalimatnya dengan suara yang menciut. Ia langsung memalingkan wajah karena rasa malu yang tak tertahankan. Sial. Memang tidak sopan sekali suara gemuruh dari perutnya yang minta diisi makanan itu.

Sedangkan di sebelahnya, Dhika berusaha keras menahan tawa walaupun akhirnya lepas juga. Wajah Irvi semakin memerah karenanya.

"Oke, kita makan dulu. Kebetulan gue tahu tempat makan yang enak di daerah sini."

---

(5 Februari 2020)

Special Customer [END]Where stories live. Discover now